Mongabay.co.id

Hutan Ruang Hidup, Dorong Pengakuan Hak Perempuan Atas Tanah di Papua

Perempuan Suku Moi Kelim di Kabupaten Sorong, Papua Barat sedang menganyam dari bahan yang berada di hutan. Investasi tidak hanya berupa akumulasi modal, upaya masyarakat adat dengan menjaga hutannya dan mengembangkan kearifan lokal dan keserasian hidup itu juga sebuah investasi yang tak ternilai. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

 

 

 

Hutan-hutan adat di Papua, banyak terkapling-kapling dalam perizinan oleh pemerintah kepada perusahaan skala besar, seperti terjadi di wilayah Suku Auwyu, Distrik Mandobo, dan Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Saat ini, beberapa perusahaan sedang memproses izin di instansi pemerintah dan berusaha mendapat persetujuan pelepasan masyarakat adat. Situasi ini mendorong perempuan bergerak melakukan perlawanan.

Salah satu perusahaan yang masuk, PT Indo Asiana Lestari (IAL), sudah mendapat izin lokasi seluas 39.190 hektar di wilayah adat Suku Auwyu. Rikardaa Maa, perempuan Suku Auwyu ikut menolak pelepasan tanah kepada IAL.

Berbekal pengalaman menjadi guru sekolah dasar, Rikardaa menulis pernyataan penolakan dan menggalang tanda tangan dukungan dari sesama perempuan. Dia melakukan ini dengan segala risiko. Dia dasar, tanah itu tidak diwariskan kepadanya tetapi kepada saudara laki-lakinya.

“Perjuangan perempuan berhadapan dengan kultur patriarki yang sangat kuat dan berhadapan dengan kebijakan negara yang sangat liberal dan mengabaikan hak perempuan, ” kata Rasella Malinda, peneliti Yayasan Pusaka menggambarkan lapisan rintangan yang dihadapi perempuan seperti Rikardaa.

Menurut dia, perempuan sangat memahami konteks patriarki dalam perjuangan mereka. Perempuan-perempuan ini berupaya bernegosiasi dengan kondisi ini dan tetap terlibat dalam upaya penolakan.

Warga Suku Wambon Kenemopte juga sedang berhadapan dengan PT Merauke Rayon Jaya (MRJ) yang hendak membuka lahan seluas 206.800 hektar di wilayah mereka. Di sana, ada Mama Valentina Wonopka yang berkeras menolak perusahaan. Mama Valentina berasal dari Suku Muyu dan kawin masuk ke marga Wambon Kenemopte.

Ibu enam anak ini memikirkan nasib enam anaknya dan generasi Suku Wambon di masa mendatang kalau hutan adat dilepas. Pengalaman masyarakat sekitar yang sudah lebih dahulu melepas wilayah adat membuat mama Valentina tidak mudah percaya pada janji perusahaan.

Bersama laki-laki dari Suku Wambon Kenemopte dan Suku Auwyu, Mama Valentina keluar dari kampung dan lobi di dinas-dinas di tingkat kabupaten dan provinsi, menemui bupati, DPRD dan perwakilan lembaga adat. Tujuannya, mendesak izin perusahaan-perusahan dicabut.

Perempuan di kampung ini melakukan pemetaan wilayah adat, memasang sasi dan salib, menentukan denda adat, menjatuhkan sanksi adat kepada perusahaan, dan menggalang solidaritas di kalangan pemuda dan mahasiswa.

“Di Kampung Subur, kuat sekali mama-mamanya. Bisa dikatakan dominan dalam mempertahankan tanah, dengan menggunakan narasi-narasi bahwa mereka juga memiliki kepentingan atas hutan,” kata Rasella.

Pengalaman-pengalaman Mama Papua ini terungkap kala diskusi rilis laporan Yayasan Pusaka Belantara berjudul ‘Mama ke Hutan’, Perempuan Papua dalam Kecamuk Kontestasi Sumber Daya Alam,” pada 12 April lalu.

Laporan ini mengangkat cerita-cerita perempuan di Merauke dan Boven Digoel yang sedang menghadapi masalah perampasan tanah untuk investasi. Isinya memuat tiga hal pokok. Pertama, gambaran hubungan perempuan dan hutan, kedua, proses pengambilalihan hak masyarakat adat atas tanah dan peminggiran perempuan atas proses-proses itu. Ketiga, dampaknya terhadap perempuan.

Rasella bilang, negara saat pada posisi menjadi fasilitator pasar bebas. Melalui kebijakan, negara membuka keran investasi asing seluas-luasnya, menghilangkan regulasi penghambat, dan mempermudah apapun yang selama ini dirasa menyulitkan.

 

Suara perempuan Papua. Foto: Yayasan Pusaka

 

Undang-undang Otonomi Khusus Papua Nomor 21/2001 belum sepenuhnya melindungi hak masyarakat adat atas tanah, apalagi hak perempuan..

Di Merauke, pemerintah mencanangkan program Merauke Integrated Food and Energi Estate (MIFEE), mega proyek produksi pangan dan energi. Ada 36 perusahaan diundang berinvestasi melalui proyek ini. Sekitar 1.283.000 hektar lahan teralokasi untuk program ini, sebagian besar di kawasan hutan.

Begitu juga Boven Digoel, kabupaten yang saat ini hutan alam terbebani izin konsesi paling besar di Papua.

Data The Gecko Project dan Mongabay, menunjukkan, hingga 2019, ada 14 perusahaan perkebunan sudah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan dengan total 417.251 hektar. Hingga Desember 2018, ada sekitar 30,254 hektar sudah dibuka dan ditanami sawit.

“Investasi berbasis lahan skala masif menyingkirkan perempuan dimulai dari sejak awal proses peralihan hak hingga pada proses alih fungsi lahan,” kata Rasella.

Atnike Sigiro, pimpinan Jurnal Perempuan menyatakan, penelitian ini menunjukkan, kerja-kerja pengasuhan oleh perempuan Papua tak terlepas dari keberlangsungan ekonomi dan lingkungan komunitas. Karena peran pengasuhan, perempuan mau tidak mau harus mempertahankan hutan sebagai ruang hidup. Itu yang membedakan hubungan perempuan dengan hutan di wilayah lain.

“Karena perempuan Papua kehidupannya betul-betul bergantung hutan, maka upaya merawat hutan, upaya mengolah makanan, dan mempertahankan kesejahteraan keluarga, itu terkait satu dengan yang lain.”

Namun perubahan cara pandang melihat alam dan relasi perempuan dengan alam sebagaimana tampak dalam penelitian ini.

Els Tieneke Rieke Katmo, akademisi dari Universitas Negeri Papua mengatakan, fenomena ini tidak lepas dari sejarah panjang pemahaman kristen Ortodox tentang penaklukan terhadap alam, dan dilanjutkan dengan paham kapitalisme yang memungkinan manusia mengeksplotasi alam semaksimal mungkin menghasilkan keuntungan.

Dalam pandangan masyarakat adat, alam dan manusia itu satu. Ketika hutan akan dikonversi untuk kepentingan kapital, diciptakan defenisi baru tentang tentang alam, tentang bagaimana menjadi laki-laki atau perempuan.

Pada kenyataannya, seperti yang dia temui dalam Masyarakat Adat Kamoro dan yakin dalam masyarakat adat lain, ada kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. “Ada pembagian peran yang tidak mendominasi satu terhadap yang lain. Tetapi kepentingan ekonomi membuat satu pihak harus dikontrol oleh pihak lain untuk menunjang kegiatan ekonomi kapitalis.”

Membongkar kembali cara pandang seperti itu, katanya, bisa jadi langkah awal dalam bergerak melawan eksplotasi dan laju perampasan lahan yang banyak terjadi di Tanah Papua.

 

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

 

Hutan sebagai ruang hidup perempuan

Dalam laporan ini, Rasella menggambarkan hubungan erat perempuan dengan hutan di wilayah itu. Pengetahuan perempuan yang kaya tentang hutan tampak dari cerita perjalanan bersama mama-mama ke hutan adat Kampung Aiwat Distrik Subur, Boven. Mama-mama dengan mudah mengenali berbagai jenis tanaman di dalam hutan beserta kegunaannya.

Pohon mbiriap-mbiriap salah satunya. Wangi serat kulit pohon ini serupa minyak kayu putih. Biasa untuk mengobati bagian tubuh yang digigit ular, atau sekedar menakuti-nakuti hewan itu karena tidak suka wanginya.

“Ini membuat mereka – para perempuan – tidak pernah merasa risau apalagi takut untuk pergi ke hutan.”

Hutan jugalah yang menyediakan segala kebutuhan, termasuk pangan dan air. Ubi kayu, sagu, keladi, petatas, dan kombili menjadi makanan pokok yang selalu bisa diperoleh perempuan di hutan.

Hasil identifikasi bersama mama-mama menunjukkan ragam jenis tumbuhan dan hewan yang biasa dimanfaatkan masyarakat dalam hutan. Ada kurang lebih 24 jenis pohon antara lain pohon rotan, gambir, gnemo. Ada 15 jenis hewan darat seperti rusa, babi, kangguru. Juga enam jenis burung macam kakatua, taon-taon, beroga dan urip. Kemudian, 19 jenis hewan air seperti ikan, cumi dan kura-kura, 17 jenis hasil kebun dan buah seperti kelapa pinang, nangka, pisang. Semua kekayaan hayati ini untuk kebutuhan keluarga, ritual adat, atau dijual kalau berlebih. Mereka mengambil secukupnya sesuai kebutuhan dan itu kebiasaan turun-temurun.

Hutan juga memiliki fungsi spiritual. Mama-mama tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di hutan. Mereka mengucapkan mantra tertentu saat hendak masuk atau meninggalkan hutan, dan jadikan hutan sebagai tempat menenangkan diri dari berbagai persoalan tiap hari.

Fungsi hutan yang sedemikian banyak membuat alokasi waktu perempuan berada di hutan pun sangat besar. Dalam sehari perempuan menghabiskan waktu di hutan sekitar tujuh sampai delapan jam.

“Kami ini meski tidak punya hak kelola tapi kami punya hak milik. Pangan itu dari tangan kami. Kami memangkur sagu, kami menanam, berkebun, kami yang mencari tanaman obat,” begitu Rasella menirukan ungkapkan mama-mama.

 

Pola perampasan tanah di Papua

Catatan Yayasan Pusaka menunjukkan sepanjang 20 tahun terakhir ada 1,5 juta hektar lahan di Papua beralih dari masyarakat adat ke 62 perusahaan. “Pengambilalihan ini dilatarbelakangi beberapa konteks, misal ekspansi sawit cukup masif.”

Ekspansi sawit tidak lepas dari wacana krisis energi yang mendorong ketersediaan sumber-sumber energi terbarukan. Sawit dilihat sebagai satu bahan dasar energi terbarukan. Di Indonesia, wacana ini didukung dengan terbitnya kebijakan omnibus law untuk menggenjot investasi.

 

Perempuan Papua dan perjuangan mempertahankan ruang hidup mereka. Foto: Yayasan Pusaka

 

Di Tanah Papua, berlakuUU Otonomi Khusus Papua dengan berlatarbelakang tuntutan hak penentuan nasib sendiri. UU ini mengakui hak masyarakat hukum adat terutama hak atas tanah.

Kalau ingin berinvestasi, persetujuan pelepasan lahan oleh masyarakat adat menjadi salah satu syarat utama. Namun Yayasan Pusaka, menilai masih banyak kelemahan dalam pengakuan ini.

Untuk izin kebun sawit, misal, perusahaan harus mengurus izin dengan tahapan, yakni, izin lokasi untuk perolehan hak atas tanah, izin lingkungan, dan izin usaha perkebunan (IUP). Juga SK pelepasan kawasan hutan kalau berada di kawasan hutan, dan hak guna usaha (HGU).

Persetujuan pelepasan oleh masyarakat adat baru proses saat perusahaan hendak mendapatkan HGU. Izin-izin lain pemerintah keluarkan tanpa sepengetahuan masyarakat adat.

Saat perusahaan hendak mendapat persetujuan pelepasan, masyarakat seringkali tidak memiliki informasi cukup. Akibatnya, masyarakat adat memberi persetujuan tanpa memahami dengan benar dampaknya. Tidak jarang masyarakat menjadi terbelah antara yang menolak dan menerima. Janji-janji pembangunan dan kesejahteraan, ancaman, dan kekerasan menjadi cerita lumrah dalam proses ini.

Perusahaan juga sering menggunakan istilah-istilah lokal seperti ‘pinjam pakai’ untuk mempermudah proses pelepasan atau ‘uang ketuk pintu’, ‘uang tali asih’, ‘uang sirih pinang’, dan banyak lagi untuk membuat kompensasi atas tanah menjadi sangat kecil.

Karena sistem kekerabatan patrilineal, kelompok laki-laki memiliki kuasa dominan dalam menentukan persetujuan pelepasan hak atas tanah. ‘Stop bicara, kami tidak punya hak’, adalah kata-kata yang sering diterima perempuan ketika menyatakan sikap yang berbeda. Kadang disertai ancaman kekerasan.

Menurut Rasella, di sini letak kelemahan pengakuan hak masyarakat adat dalam otonomis khusus Papua.

“Kami lihat di Papua, oke ada pengakuan terhadap masyarakat adat. Tetapi di masyarakat adat Papua ada lapisan yang mengalami penindasan lebih lagi dan tidak menerima manfaat dari pengakuan itu, yaitu kelompok perempuan adat.”

Ketika persetujuan pelepasan sudah diberikan dan kompensasi sudah diterima, hutan sepenuhnya milik perusahaan. Perempuan kehilangan akses atas hutan dan sumber daya alam dan terlempar menjadi pekerja perkebunan dengan kondisi kerja memprihatinkan.

Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan, penelitian ini menunjukkan kepemimpinan perempuan dan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam. Laporan ini, katanya, bisa menjadi bahan kritik terutama kepada perusahaan dan negara yang fokus pada keuntungan ekonomi dan melupakan keberlanjutan alam.

“Dalam konteks perusahaan, penting memastikan konsep bisnis dan HAM betul-betul berperspektif gender dan HAM. Ini kritik kita pada perusahaan-perusahaan.”

Pendeta Magda Kafiar dari KPKC Sinode GKI di Tanah Papua menyatakan, yang ada dalam laporan ini adalah fenomena umum di Tanah Papua. “Bagaimana agar suara perempuan terdengar dan mempunyai akses yang cukup dalam pengelolaan sumberdaya alam, perlu diperjelas hingga dapat menjadi catatan arah advokasi lanjutannya.”

Rasella berharap, penelitian ini bisa mendorong pengakuan utuh atas hak masyarakat adat, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keadilan gender dalam distribusi sumber daya alam.

“Seperti apa kita bisa menempatkan perempuan dalam arena pengaturan sumber daya alam ini. Apakah karena mereka tidak punya hak milik maka mereka tidak berhak? Mungkin tidak seperti itu. Masyarakat adat, sudah mulai melihat, perempuan punya posisi penting. Mereka percaya, adat menghormati perempuan.”

 

 

Hutan Papua yang terus terancam. Foto: Nanang Sujana

*****

Foto utama:  Ilustrasi. Perempuan Papua, berjuang mempertahankan hutan adat dan berjuang mendapatkan hak atas tanah. Foto:  Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Exit mobile version