Mongabay.co.id

Aksi Warga Jaga Hutan Mangrove Pulau Bintan

 

 

 

 

Iwan Winarto, memperlihatkan bibit-bibit mangrove yang baru ditanam berwarna hitam. Tidak hanya bagian batang juga daun. “Yang hitam di mangrove itu minyak hitam yang dibuang dari kapal besar di perairan internasional,” kata Iwan Winarto, pengelola Desa Pengudang, baru-baru ini.

Beberapa bibit tanaman Iwan bersama masyarakat sekitar mati karena limbah minyak itu. Padahal untuk menanam bibit mangrove hingga besar perlu waktu puluhan tahun. “Ini salah satu tantangan,” katanya.

Iwan tinggal di Desa Pengudang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Desa ini ada di pesisir pantai Pulau Bintan. Kawasan ini sudah terkenal dengan keasrian hutan mangrove. Banyak wisatawan dalam negeri dan luar negeri berkunjung ke daerah ini.

Di sepanjang pantai menuju hutan mangrove ada kelapa menjulang tinggi. Hanya beberapa rumah warga di sepanjang pantai yang berbatasan dengan laut China Selatan itu.

Dari kejauhan, sudah terlihat pohon mangrove nan rindang. Sebagian ada yang menyelimuti rumah warga sekitar. Di tepi pantai, bebatuan besar dan deburan ombak sungguh pemandangan sangat indah.

Di kawasan ini, siang hari wisatawan diajak berkeliling di hutan mangrove dengan speedboat. Paket wisata ini disebut “tour hutan mangrove”.

Selama tur, pengunjung akan disuguhkan ekosistem masih terjaga. Mulai dari berbagai jenis mangrove seperti Rhizophora, Bruguiera, Xylocarpus dan lain-lain. Sepanjang perjalanan tur mangrove juga ditemukan monyet, biawak, maupun kicauan berbagai jenis burung.

Setelah itu, di sepanjang pantai terdapat batu-batu besar disebut wisata “Batu Junjung Beach”. Pada sore hari pengunjung bisa menikmati pemandangan sunset yang menawan.

 

Baca juga: Menanti Bibit-Bibit dari Mangrove Center untuk Hijaukan Pesisir Indonesia

Hutan mangrove terjaga. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Lebih unik lagi, pada malam hari pohon-pohon mangrove Desa Pengudang berhias cahaya kunang-kunang. Obyek wisata satu ini juga menjadi primadona di Desa Pengudang. Mereka menyebutnya “Tour Mangrove Fireflies”.

Pengunjung akan keliling hutan mangrove melihat cahaya kunang-kunang. “Biasa mereka (kunang-kunang) saat setelah hujan bertaburan, malam hari sangat indah,” ujar Iwan.

Tidak banyak di Kepulauan Riau, mangrove masih lestari bersama kunang-kunang. Menurut Iwan, itu membuktikan mangrove di Desa Pengudang, masih asri. “Ada kunang-kunang berarti mangrove sehat,” katanya.

Selain masih hidup kunang-kunang, di pohon mangrove ada karang yang menempel. Kondisi itu juga disebut indikator air di Desa Pengudang sangat bersih. “Kalau banyak penimbunan dan perusakan lingkungan lain, karang tidak akan menempel.”

Rantai makanan lingkungan tidak hanya terjadi di hutan mangrove. Di bagian pesisir pantai, selain memiliki pasir putih, desa ini masih menjadi tempat bertahan dugong dan lamun yang hampir punah.

Dugong Seagrass Center Project (DSCP) bahkan menjadikan desa ini proyek percontohan penelitian dugong dan lamun. Hasil penelitian mereka menyebutkan, lamun lebih banyak tersedia di kawasan ini daripada tempat lain. “Kadang-kadang dugong sering tersesat di tepi pantai,” kata Iwan.

Replika kerangka dugong juga bisa dilihat di kantor desa setempat.

 

Baca juga:  Mangrove yang Semakin Menjauh dari Kehidupan Masyarakat Bangka


Jaga keseimbangan alam

Keberadaan ekosistem ini jadi gambaran kecil bagaimana rantai kehidupan antara manusia, hewan dan tumbuhan masih berlangsung. Kondisi itu khawatir tidak akan langgeng di trngah banyak perusak lingkungan.

Iwan bercerita bagaimana dia bersama masyarakat mempunyai visi dan misi melindungi kawasan ini. Upaya ini, mereka mulai lakukan pada 2009.

Dia melihat Desa Pengudang memiliki alam masih asri dan alami. Dia pun putar arah, dari bekerja di sebuah resort di Bintan jadi seorang pengelola Desa Pengudang.

Potensi desa pengudang, lanjut Iwan, bisa jadi desa wisata berbasis masyarakat lokal. Dari situ, dia membuat festival kebudayaan, kuliner, hingga wisata. “Acara itu rutin kita lakukan, saat pandemi terhenti,” katanya.

Seiring berjalan waktu, Iwan melakukan edukasi lingkungan hidup kepada masyarakat. “Adakan edukasi menanam mangrove, membuat kerajinan dan lain-lain.”

Tidak hanya edukasi masyarakat pesisir Desa Pengudang, Iwan juga edukasi di sekolah-sekolah, komunitas dan lain-lain.

Iwan menyadari, kerusakan bisa terjadi dengan pengembangan kawasan menjadi destinasi wisata. Tetapi, dia yakin dengan edukasi menjaga lingkungan ketakutan itu tidak akan terjadi. “Titik berat di edukasi dan konservasi,” katanya.

Meskipun mempunyai tekad kuat, ancaman kerusakan terus masyarakat Desa Pengudang. Menyelamatkan 22 hektar mangrove dan menjaga lingkungan sekitar tidaklah mudah bagi mereka.

Salah satu, ancaman limbah minyak hitam yang setiap tahun mencemari pesisir Desa Pengudang. Hampir setiap kejadian, masyarakat Desa Pengudang melaporkan kepada pemerintah. “Sampai sekarang belum ada solusi,” kata Iwan.

Belum lagi, katanya, sampah internasional yang bermuara di pesisir Pulau Bintan. Sampah di pesisir pantai Bintan kebanyakan sampah internasional, hanya 20% sampah lokal. “Itu yang kita hadapi.”

Iwan bilang, pemanasan global juga memperburuk kondisi ekosistem yang mereka jaga. Saat ini, tangkapan nelayan, seperti ikan dan udang makin berkurang.

 

 

 

*****

Foto utama:  Warga Desa Pengudang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau dipelopori Iwan Winarto, berupaya menjaga hutan mangrove di pulau mereka. Di pulau itu juga jadi tempat dugong dan lamun. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version