Mongabay.co.id

Ketika Bumi “Memaksa” Umat Manusia Berpuasa

Sungai Alas-Singkil memiliki potensi air dan curah hujan tinggi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Peringatan Hari Bumi tahun ini dilangsungkan saat umat muslim melaksanakan ibadah puasa selama sebulan [Ramadan]. Ibadah puasa pun dikenal juga oleh umat agama lainnya. Tujuannya sama: mengendalikan hawa nafsu.

Ini berarti sebagian besar umat manusia [beragama] mengenal dan memahami tradisi puasa yang tujuannya mendidik atau mengajarkan manusia agar mampu menahan atau mengelola hawa nafsu yang diperintahkan Tuhan.

Apa itu hawa nafsu? Secara umum, hawa nafsu dipahami sebagai sebuah kekuatan emosional dalam diri seorang manusia terhadap suatu objek atau situasi demi pemenuhan emosinya. Baik bersifat fisik maupun nonfisik.

Bumi merupakan awal dan akhir kehidupan manusia. Bumi bukan ciptaan manusia, tapi manusia dapat menentukan nasib bumi. Nasib bumi memastikan manusia bertahan selamanya atau punah.

Hadirnya pandemi COVID-19 maupun virus-virus mematikan sebelumnya, serta berbagai bencana seperti banjir, longsor, kekeringan, membuktikan manusia gagal menjaga bumi. Kegagalan tersebut pada akhirnya mengancam keberadaan manusia.

Penyebab kegagalan menjaga bumi ini karena hawa nafsu. Keinginan menguasai, keinginan mendominasi, keinginan menjadi yang terkaya [materi], keinginan hidup nyaman dengan berbagai fasilitas, yang akhirnya melukai bumi. Mulai dari merusak hutan, laut, sungai, danau, gunung, serta mengabaikan keberlanjutan makhluk hidup lainnya; termasuk sejumlah komunitas manusia yang berlomba menguasai ekonomi.

Baca: Menanam Pohon, Membangun Peradaban Manusia

 

Kawasan Ekosistem Leuser, hutan yang merupakan paru-paru dunia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

***

Hawa nafsu yang menyebabkan bumi terluka adalah penyakit. Penyakit yang melahirkan genocide, culture genoside, ertnocide, serta ecocide.

Buat mengatasi penyakit ini kita tidak perlu belajar dengan masa lampau. Sebab, masa lampau juga dipenuhi hawa nafsu untuk merusak bumi. Hanya keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat bangsa Mesopotamia, Mesir, Romawi, Yunani, Tiongkok, Viking, termasuk Sriwijaya dan Majapahit, tidak merusak bumi seperti yang terjadi pada saat ini.

Bayangkan jika Kedatuan Sriwijaya memiliki pengetahuan dan teknologi penambangan seperti milik PT. Freeport Indonesia, mungkin semua emas di Sumatera dan Jawa, sudah habis sejak belasan abad lalu. Termasuk pula Kepulauan Bangka Belitung, mungkin sudah lama tenggelam karena dikuras timah, rare earth, dan pasirnya.

Atau, jika pengelolaan minyak sawit sudah dikenal sejak belasan abad lalu. Mungkin, Kerajaan Majapahit akan mengembangkan jutaan hektar kebun sawit, seperti halnya yang terjadi pada hari ini di Indonesia.

Pada tahap ini, penyakit ini tidak memberi batasan yang tegas antara pengusaha dan penguasa. Keduanya dapat serupa atau sejalan, jika para pelaksananya dikendalikan hawa nafsu.

Baca: Merdeka! Kita Butuh Air dan Tanah yang Subur

 

Pohon tidak hanya bermanfaat bagi kehidupan manusia tetapi juga untuk kehidupan satwa, lingkungan kita, dan bumi tempat kita hidup. Lalu, kenapa manusia justru menebangnya? Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

***

Puasa merupakan perintah Tuhan dan upaya umat manusia untuk mengendalikan hawa nafsunya. Hawa nafsu ini yang melahirkan berbagai tindakan yang dinilai sebagai dosa.

Apakah merusak bumi merupakan dosa? Bagi saya adalah dosa. Meskipun ada yang berpendapat sebaliknya.

Terlepas berdosa atau tidak, tindakan merusak bumi sangat merugikan umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Puncak kerusakan bumi terjadinya pemanasan global. Pemanasan global ini menimbulkan berbagai persoalan. Mulai dari mencairnya es di kutub, kebakaran hutan, kabut asap, krisis air bersih, wabah penyakit karena menurunnya imun makhluk hidup, naiknya permukaan dan suhu air laut, serta rusaknya terumbu karang, serta krisis pangan.

Jadi, jika manusia [beragama] memahami dan mengamalkan puasa, sudah seharusnya pada saat ini manusia berpuasa terhadap bumi. Menahan hawa nafsunya untuk menghabisi hutan, laut, sungai, bukit, untuk menguras mineral dan membangun jutaan hektar lahan produksi ekonomi yang monokultur dan tidak lestari.

Baca: Rempah dan Jejak Peradaban Bahari di Kepulauan Bangka Belitung

 

Pasir timah yang potensinya banyak ditemukan di Bangka dan pulau-pulau lainnya, baik di darat maupun laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

***

Sebenarnya bumi sudah memaksa manusia untuk berpuasa. Pandemi COVID-19 merupakan contoh bagaimana bumi “memaksa” manusia berpuasa atau berhenti merusak dan mengotorinya.

Buktinya, berdasarkan penelitian, sejumlah pemerintahan di dunia terpaksa melakukan lockdown guna mencegah penyebaran corona, meskipun sangat merugikan secara ekonomi. Lockdown itu akhirnya membatasi aktivitas manusia. Dampaknya luas biasa, membuat bumi sedikit bernapas lega; membaiknya kualitas udara dan air.

European Space Agency [ESA] menyebutkan berdasarkan data melalui gambar satelit adanya penurunan nitrogen dioksida atau gas polutan udara di sejumlah kota besar di beberapa negara, seperti di Amerika Serikat, Kanada, India, China, Brasil, dan lainnya, dikutip dari Kumparan.

Kualitas air di Sungai Gangga dan Yamuna di India yang dianggap suci oleh umat Hindu, juga membaik. Ini dampak menurunnya pengunjung dan pembuangan limbah industri selama lockdown.

Centre for Research on Energy and Clean Air [CREA] menyebutkan di Kota DKI Jakarta terjadi penurunan gas polutan NO2 sebesar 40 persen dibandingkan tahun 2019 atau sebelum munculnya pandemi

 

Mengapa manusia sering membuat kerusakan di muka bumi? Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

***

Seandainya umat manusia memaknai puasa sebatas menahan lapar, haus, dan seks, tapi tidak menahan diri untuk merusak bumi, maka bumi akan terus “memaksa” manusia berpuasa.

Saya percaya, seandainya COVID-19 teratasi, akan muncul wabah penyakit baru jika manusia terus merusak bumi. Manusia dipaksa berbagai wabah penyakit untuk berdiam di rumah, menghentikan semua aktivitas yang membuat bumi terluka. Manusia diberi pilihan; punah atau menghentikan hawa nafsunya.

Sebab, pengetahuan awal dan akhir adalah hidup harmonis dengan alam semesta. Sebuah keselamatan abadi.

Saya pun percaya pada akhirnya apa yang diinginkan dari UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak akan atau hanya sebagian terwujud. Bukan karena aksi penolakan dari pegiat lingkungan, mahasiswa, pelajar, petani, buru, dan lainnya, tapi disebabkan bumi “memaksa” manusia berpuasa merusak dirinya.

Sebagai penutup, terlampir puisi saya berjudul “Tidak Cukup”.

Tubuhku penuh penyakit. Melukai hidupnya. 
Ribuan parit dari kampung kumuh dan dusun gersang, menyerang jantung, paru, hati, 
ginjal dan lambung. 

Puluhan tahun menyambut puasa. 
Berhadapan dengan jutaan karbon melukis wajahku. 
Gelap di bawah matahari.

Pikiranku melahirkan penyakit. 
Merampas hak Tuhan terhadap pasir, semut, kucing, gajah, anjing, ular, burung, 
badak, harimau, pohon, air, udara, pun ruang hidup dan pengetahuan mereka. 

Tidak cukup puasa ini. 
Tidak cukup bagi ribuan penyakit ini. 
Tidak cukup.

 

* Taufik Wijayajurnalis, penyair dan pekerja seni di komunitas Teater Potlot. Menetap di Palembang, Sumatera Selatan. Tulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version