Mongabay.co.id

Nasib Pesisir Demak, Hadapi Sampah Plastik, Kerusakan Mangrove dan Abrasi

Sampah dan abrasi di pesisir Demak. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Rosipan, nelayan Bedono ini memperlihatkan karung berisi sampah yang dia kumpulkan dari pinggir laut dan muara sungai. Serpihan-serpihan kecil itu berwarna hitam seperti humus. Nelayan di Demak, Jawa Tengah, biasa menyebut itu daduk dari asal kata diaduk-aduk.

Sampah dari laut itu diaduk alami oleh arus menjadi serpihan kecil yang lalu terseret ke pinggir. Nelayan Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Demak ini sudah biasa, selain membawa pulang ikan, kadang menyempatkan menaikkan lima hingga 10 karung daduk ke atas sampan kecilnya.

“Saya kumpulkan kemudian saya jual. Satu karung laku Tp15.000. Bisa untuk pupuk tanaman,” katanya, awal April lalu.

Rumah Rosipan hanya berjarak sekitar 10 meter dari Sungai Pengarakan. Sungai itu berada di depan rumah, hanya terpisah jalan selebar tiga meter. Tepat di seberang sungai itu, hanya menyisakan sekitar satu deretan rumah ke samping kanan kiri, adalah daratan yang kini jadi laut.

Rosipan beruntung. Di belakang rumahnya ada vegetasi mangrove yang melindungi dari deraan arus laut.

 

Pemukiman tenggelam

Desa Bedono, terbagi dalam tujuh pedukuhan yaitu Bedono, Mondoliko, Rejosari Senik, Pandansari, Tambaksari, Morosari, dan Tonosari. Dua dukuh sudah tenggelam.

Warga Tambaksari pada 2006 direlokasi, menyisakan belasan warga masih bertahan. Di Rejosari Senik relokasi pada 2007, kini tinggal satu keluarga.

Rejosari Senik, lima dekade lalu masih berjarak sekitar tujuh kilometer dari garis pantai. Kini, dukuh itu sepenuhya terendam air. Satu-satunya akses menuju dukuh itu menggunakan perahu. Beberapa rumah yang ditinggalkan warga tersembunyi di kelebatan mangrove.

Rosipan yang besar di Bedono mengenang desanya dulu sebagai gemah ripah loh jinawi. Di sana, masih bisa ditemukan kebun, sawah, dan tambak yang menjadi sumber pendapatan warga.

“Sawah terakhir 1995, setelah itu hilang kena abrasi. Saya terpaksa pindah ke Riau ikut transmigrasi. Pada 2005, saya pulang dari Riau, tanggul di sini hancur. Tahun 2010, semua sudah jadi laut. Sebelah utara karena ada tanah, lalu tumbuh mangrove agak mendingan,” ceritanya.

Baca juga : Mencari Solusi Selamatkan Pulau Bengkalis dari Abrasi

Sampah plastik di sela-sela akar mangrove. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Arus kuat mengikis garis pantai di bagian selatan. Air laut menelan sawah, tambak, pekarangan, dan sebagian jalan serta jembatan.

“Dulu, sebelum ada (proyek) Tanjung Mas, di sini ada tanah karet namanya. Bisa bertambah bisa berkurang. Sejak Tanjung Mas ada bangunan yang menjorok ke laut, arus ke sini makin kuat, tanah karet berkurang terus.”

Saat rob tinggi, air laut kerap memasuki rumah Rosipan. Dia beberapa kali harus meninggikan lantai rumah dengan kayu. Kalau rob datang, sampah ikut terhanyut. Botol-botol air mineral mengapung bersama sampah plastik di sekitar rumahnya.

Selain mencari daduk, dia juga mengumpulkan sampah plastik yang mudah dia temukan di mana-mana itu. Sampah plastik lalu dia setorkan ke bank sampah. Satu kilogram botol plastik Rp2.500. Plastik kemasan dan kresek Rp1.500 perkg.

Begitu banyak sampah menyulitkan aktivitasnya mencari ikan. Terlebih Rosipan hanya menangkap ikan di perairan dangkal dengan menjaring. Kebanyakan sampah di tempat dia biasa mencari ikan.

“Sampah plastik mengganggu saat mencari ikan. Kalau musim gelombang sampah lari ke tepian semua. Kalau kita menjaring ikan, penuh sampah.”

Sejauh yang dia ingat, sampah plastik di laut sudah ada sejak 1980-an walau jumlah tak sebanyak tahun-tahun terakhir ini. Pada Desember-April, bulan-bulan banyak sampah di laut. Arus laut yang kuat membawa sampah dari sungai kembali ke daratan.

“Kadang-kadang satu minggu, satu orang bisa mengambil lima sak atau tujuh sak sampah plastik maupun botol-botol aqua. Bosnya pas mengambil dua mingguan kadang-kadang bisa mencapai empat ton, lima ton, enam ton,” katanya, menceritakan sebagian warga Bedono akhirnya jadikan sampah sebagai sumber pendapatan.

Mereka mengumpulkan sampah plastik yang hanyut di sungai. Setelah terkumpul sampah lalu dibeli pengepul.

“Karena rob membawa sampah naik ke desa, sampah-sampahnya lalu bisa dimanfaatkan. Itu dari Dukuh Bedono saja. Kalau mengambil juga dari luar saya rasa lebih banyak.”

 

 Tekan mangrove

Peneliti bernama Celine E.J. van Bijsterveldt, membuat kajian mengenai dampak sampah plastik pada pertumbuhan mangrove di pesisir Demak. Sebagian hasil penelitian lalu ditulis dalam jurnal Science of the Total Environment, yang terbit online November 2020.

Dari tulisan yang disajikan itu diketahui Celine menggunakan delapan titik penelitian di pesisir utara Jawa Tengah, sebagian besar di Demak. Vegetasi mangrove di Bedono jadi salah satu titik yang diamati.

Dalam konklusinya, tulisan itu menyebut sampah plastik terjebak di hutan mangrove dan jumlah sangat tinggi baik di permukaan maupun sedimen. Lapisan plastik yang terjebak di atas akar udara mangrove direspon pohon itu lewat pertumbuhan akar untuk mengatasi kondisi anoksik atau tanpa udara.

Pohon mangrove yang sebagian tertutup plastik menunjukkan respons pertumbuhan akar dan tampak stres, namun mampu bertahan dari situasi mati lemas. Pohon mangrove yang bagian akar tertutup plastik akan mati.

Temuan lain, pohon mangrove mengalami stres akibat tingkat polusi plastik, terutama di dekat sumber plastik yang salah kelola.

Dengan begitu, proyek restorasi mangrove perlu memperhitungkan manajemen penggunaan plastik di samping meneruskan upaya restorasi yang sudah dilakukan seperti penanaman atau rehabilitasi habitat.

Rudhi Pribadi, pakar mangrove dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Diponegoro Semarang yang turut disebut dalam penelitian ini, menjelaskan, Celine adalah mahasiswa doktoral di bawah bimbingannya. Celine ingin melihat pengaruh tekanan yang diberikan oleh aktivitas manusia terhadap mangrove, antara lain pembukaan tambak, land subsidence, dan sampah plastik.

“Celine itu PhD student di Utrect University di Belanda. Karena penelitiannya mangrove di Demak, kalau di Belanda juga tidak ada mangrove, kemudian saya dijadikan salah satu pembimbing,” katanya saat dihubungi Mongabay.

 

Baca juga : Hutan Mangrove Pesisir Utara Jawa Tengah Terancam Sampah Plastik

 

Kesimpulan secara umum, katanya, ternyata plastik di mangrove ini ada pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman itu. “Dia meneliti berbagai versi tutupan. Kalau misal mangrove bersih tidak ada plastik seperti apa. Kalau yang tertutup 50% seperti apa. Kalau yang tertutup lebih dari 50% seperti apa.”

Rudhi cukup lama mengamati mangrove di berbagai lokasi di Indonesia sejak 1992. Dia berpendapat, ancaman plastik kepada vegetasi mangrove bukan hanya di Demak. Hampir di seluruh pesisir, sampah plastik menjadi ancaman serius.

Apalagi, katanya, sekitar 80% sampah yang masuk ke laut berasal dari daratan. Manusia, katanya, banyak tidak sadar dari cara membuang sampah sehari-hari ternyata berpengaruh kepada lautan.

Kalau melihat perbandingan antara kawasan masih utuh dengan yang rusak, vegetasi mangrove di Jawa, paling rentan. Terlebih, kata Rudhi, di Pantura Jawa, sejak beberapa dekade lalu kawasan mangrove telah berubah jadi pertambakan.

Dari segi luasan, hutan mangrove di Jawa masih lebih kecil dibanding luar Jawa. Dia mencontohkan, kawasan mangrove di Papua, yang diperkirakan sekitar 60% dari total mangrove di Indonesia.

“Kalau di Jawa, tekanan memang sudah dari dulu. Bukan hanya konversi, sekarang ada land subsidence yang berdampak terhadap mangrove, lalu naiknya permukaan laut juga.”

 

Rumah warga di Bedono, Demak, yang sering terkena rob. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Merestorasi mangrove sebagai sabuk hijau di pesisir Jawa, katanya, menjadi pilihan masuk akal saat melihat fungsi luar biasa dari ekosistem yang dibentuk tumbuhan ini. Meskipun, luasan mangrove di jawa, tidak begitu besar dibanding luar Jawa.

“Daya simpan karbon atau carbon stock hutan mangrove itu lebih besar dibanding hutan darat. Kalau kita berpikir, dulu kawasan di pantai utara Jawa memang domain ekosistem mangrove, mestinya kalau menginginkan kembali fungsi itu harus menanam kembali atau restorasi.”

Banyak kajian yang menghubungkan luasan mangrove terhadap produktivitas tangkapan nelayan. Mangrove menjadi tempat biota laut dan darat berkembang biak hingga secara ekologis sangat bermanfaat bagi kesejahteraan nelayan.

Mangrove juga pelindung pesisir dari dari ancaman tsunami, peredam gelombang, dan abrasi. Secara ekologis, katanya, mangrove jadi penangkap polutan, terutama logam berat, hingga pencemar dari darat tidak sampai ke laut.

Menurut Rudhi, kalau ingin merestorasi sabuk hijau di Pantai Utara Jawa Tengah terutama Demak, pertama, harus mengkaji seperti apa vegetasi mangrove di Demak masa lalu.

“Kalau kita lihat mangrove di Pantura Jawa, hampir sebagian besar hasil rehabilitasi, ditanam hanya jenis sama. Karena berbagai alasan, mungkin dari sisi kemudahan, keamanan proyek dan lain-lain. Hingga yang ditanam boleh dikatakan hanya dua jenis, Rhizopora mucronata dan Avicennia marina.”

Padahal, menurut survei yang pernah dia lakukan, di Pantura Jawa, terdapat aneka jenis mangrove, baik mayor, minor, maupun asosiasi. Jadi, katanya, bagaimanapun ekosistem yang berisi sedikit jenis bahkan monokultur lebih rentan dibanding polikultur.

Kedua, restorasi seharusnya berdasar masalah yang ada (problem based). Salah satu sebab mangrove rusak di Pantura Jawa, karena land subsidence atau penurunan muka tanah. Solusi masalah ini, katanya, jarang disentuh.

“Harusnya cari tahu dulu yang menyebabkan penurunan tanah itu apa. Salah satu dugaan, penggunaan air bawah tanah atau ground water. Aktivitasnya tidak mencoba menghentikan pengambilan air tanah tapi lebih ke penanaman. Ya, artinya sebanyak apapun kalau tanah turun kan percuma, tetap akan tergenang.”

Rudhi mengurai, antara lain penyebab abrasi yang luar biasa di beberapa lokasi seperti di Bedono itu karena pembuatan bangunan pantai. Menurut teori, dalam satu coastal sediment cell terutama teluk akan bergerak gaya yang dinamis sekaligus statis. Saat musim baratan, akan ada gaya yang menyebabkan perpindahan sedimen dari barat ke timur. Musim timuran, terjadi sebaliknya.

Karena, misal, ada aktivitas pembangunan pelabuhan, maka terjadilah perubahan pola arus. Perubahan ini, katanya, menyebabkan sedimentasi dan abrasi seperti kerusakan mangrove di beberapa desa di Kecamatan Sayung diduga karena Pelabuhan Tanjung Mas.

Untuk kerusakan mangrove di pesisir barat Semarang di Kecamatan Tugu, diduga karena ada kolam kapal sebuah perusahaan kayu lapis.

“Kita tahu penyebab dari abrasinya itu adalah karena ada bangunan pantai. Tetapi kita tidak mencoba mencari solusi untuk mengurangi itu dulu. Kita melihat, oh mangrovenya rusak karena abrasi, ayo ditanam. Itu tidak akan bisa mengatasi karena sebabnya sendiri masih eksis.”

 

 

Upaya warga

Sekitar lima tahun lalu, sekelompok warga Bedono mengembangkan hutan mangrove di Dukuh Bedono menjadi tujuan wisata. Mereka membangun mangrove track terbuat dari kayu dan bambu di kawasan itu. Tinggi satu setengah meter dan panjang 300 meter. Di ujung mangrove track ada dermaga kecil, tempat sampan bersandar siap mengantar pengunjung yang hendak menikmati rerimbunan mangrove.

Dari mangrove track itu akar napas Avicenia alba tampak memenuhi hampir seluruh lantai hutan. Pada jam tertentu permukaan terendam air laut. Ombak membawa sampah plastik masuk ke daratan. Saat rob surut sampah tertinggal di akar mangrove.

Warga pun secara berkala membersihkan sampah-sampah ini agar tidak mengganggu pemandangan. Di ujung jalur yang berbatasan dengan laut, siapapun bisa melihat ganasnya empasan ombak. Sepanjang kanan dan kiri pantai mangrove roboh. Sebagian mati.

Sutrisno, pegiat lingkungan yang aktif di Forum Silaturahmi Lingkungan (Fosil) Demak mengatakan, abrasi menjadi persoalan utama beberapa wilayah pesisir Demak, termasuk Bedono.

Abrasi terjadi sebagai dampak tambahan bangunan Tanjung Mas Semarang yang menjorok ke laut. Pola arus berubah. Gelombang menggerus pantai-pantai pesisir. Kalau tarik garis lurus, jarak Pelabuhan Tanjung Mas ke Bedono, hanya sekitar 10 kilometer.

“Ombaknya mengarah ke sampingnya yaitu Desa Bedono, juga Timbulsloko. Setiap ada abrasi pasti terjadi akresi di sekitarnya. Akresinya terjadi di sekitar Pantai Tambakbulusan,” kata Trisno, yang beberapa kali pendampingan warga terdampak, juga penanaman mangrove di pesisir Demak.

Penelusuran data dari Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan, abrasi di Kecamatan Sayung selama 20 tahun terakhir diperkirakan merupakan terbesar di Indonesia. Luas kawasan terkena abrasi mencapai 2.116,54 hektar, dan garis pantai mundur hingga 5,1 kilometer dari pengukuran 1994.

Garis pantai mundur periode 2008-2018, terjadi pada seperdelapan garis pantai Bedono, seluruh Timbulsloko, dan 90% wilayah Surodadi. Laju abrasi paling besar terjadi di Bedono, terkecil di Timbulsloko. Sementara akresi terjadi di Sriwulan, Bedono, dan Tambakbulusan.

Soal sampah plastik, masalah ini sudah lama jadi keluhan pecinta lingkungan di Demak. Membuang sampah di sungai, masih menjadi kebiasaan.

Setidaknya ada 14 sungai melewati Demak, beberapa sungai besar adalah Wulan dan Buyaran. Sampah dari hulu menumpuk di dekat laut. Rob dan gelombang kembali mengantar sampah ke daratan. Sebagian terjebak di akar mangrove.

Untuk penanganan sampah, katanya, memang belum bisa maksimal. Walaupun mereka sudah mencoba kerjasama dengan beberapa pihak untuk membeli sampah-sampah jenis apapun dari sungai dekat laut, dua kilometer dari bibir pantai ke arah darat. “Sebelum ada kerja sama semacam ini, bank sampah per 10 hari rata-rata mengumpulkan hampir 1,5 ton.”

Satu contoh, Bank Sampah Lestari Alamku di Bedono dalam satu bulan bisa mengumpulkan empat ton sampah plastik. Supratno, Ketua Bank Sampah Lestari Alamku tak henti- mengajak warga sekitar sungai tidak membuang sampah sembarangan.

“Saya sosialisasi sama masyarakat, sampah jangan sampai dibuang ke kali. Ditampung di sini, saya kasih bagor satu-satu. Kalau sampah plasik saya hargai Rp1.500 per kilo. Botol plastik Rp2.500 perkilo.”

Awal April lalu beberapa sungai di Demak terlihat telah dikeruk hingga sampah-sampah sementara tidak terlihat. Salah satu, di Sungai Buyaran, sebagian mengarah ke obyek wisata Pantai Glagah Wangi di Tambakbulusan. Saat mendekat ke tanah kerukan, sampah plastik jelas terlihat bercampur sedimen.

Demak memiliki tiga Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah yaitu di Kalikondang, Candisari, dan Berahan Kulon. Dua TPA yang disebut pertama sudah dinyatakan overload, hingga pemerintah Demak membangun TPA Berahan Kulon pada tahun ini untuk menampung produksi sampah Demak yang perhari diperkirakan mencapai 695 ton.

“Cuma yang jadi masalah ketika wilayah hilir sudah antisipasi dengan upaya pengambilan, di wilayah hulu dan tengah belum ada gerakan yang signifikan. Akhirnya, sampah plastik kembali menumpuk di hilir sungai,” kata Sutrisno.

 

 

*****

Foto utama: Sampah plastik, mangrove rusak  dan abrasi pantai hantui pesisir Demak, . Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version