Mongabay.co.id

Usai Degradasi, Terbitlah Hutan Belajar Desa

 

Belasan anak muda yang mukim di pesisir sejumlah desa di Jembrana, Bali, naik ke kawasan hulu untuk belajar dari hutan, pada Mingggu (11/4/2021). Mereka merefleksikan sejumlah peristiwa bencana alam yang pernah dialami.

Kendaraan roda empat harus melewati jalan tanah berbatu sekitar satu kilometer setelah papan informasi tentang hutan di bawah Kesatuan Pengelolaan Hutan Bali Barat. Sebuah lahan terbuka terlihat, lokasi Pura Khayangan Jagat Giri Putri. Sebuah tempat persembahyangan akulturasi etnis Bali dan Tionghoa.

Di halaman depan pura, ada sebuah bale jadi tempat rehat dan diskusi. Susur hutan di hutan belajar ini dipandu kelompok Bisnis Alternatif Sosial Ekologi (BASE) Bali, gerakan anak muda desa yang ingin belajar dari hutan untuk mengurangi degradasi hutan dan perbaikannya.

Desa Yehembang Kauh di Kabupaten Jembrana akhirnya mendapatkan hak untuk mengelola empat hektar hutan yang dijadikan hutan belajar. Ini adalah siasat untuk program konservasi jangka panjang di tengah degradasi hutan di kawasan hulu dan daerah aliran sungai penting di Bali Barat.

Jembrana berasal dari kata Jimbar (luas) dan Wana (hutan), artinya hutan yang luas. Namun perambahan hutan diperkirakan mulai marak setelah krisis moneter 1998.

Unit Pelaksana Teknis Daerah Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPTD KPH) Bali Barat akhirnya memberi dukungan pada Hutan Belajar yang diresmikan 20 Maret 2021. Salah satu dasar hukumnya adalah Permen LHK No. P49/MENLHK/SETJEN/KUM 1/2017 pada 7 September 2017 tentang Kerjasama Pemanfaatan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan.

baca : Mengingat Banjir Bandang, Menengok Hutan Jembrana [1]

 

Sebuah pura di tengah hutan Desa Yehembang ini terasa sangat teduh karena pepohona besar masih berdiri. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Peta Tata Batas Kelompok Hutan Bali Barat Kelompok Hutan Belajar Yehembang dipasang dengan jelas untuk menujukkan area jalan, polygon, dan vegetasi hutan belajar ini. Terbagi jadi 3 area yakni hutan lindung, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas.

Upaya hak kelola hutan belajar ini melalui jalan panjang, dimulai dari pembuatan kelompok dari sejumlah anak muda desa yang merintisnya pada 2004. Hingga akhirnya penandatanganan kerjasama kelompok tani hutan dengan Dinas Kehutanan dan LH Pengelolaan Hutan Bali Barat.

Salah satu anggota BASE Bali, Gus Westnawa mulai berkisah tentang hutan di desanya. Ia mengingat sejarah buruk krisis serius Bali barat sekitar tahun 2000-2004, ketika banjir rutin tiap tahun. “Rezim bencana yang susah dituntaskan, yang disalahkan perusak hutan,” ujarnya. Namun, setelah dipetakan, penyebab lain adalah kebijakan negara zero visit forest saat itu, tak boleh masuk ke hutan, seolah area steril. “Seperti barang khusus yang tak boleh disentuh. Padahal ada komunitas yang menggantungkan hidup pada hutan, bercocok tanam dengan merambah, atau alasan spiritual,” lanjutnya.

Namun ia heran, dengan status hutan negara kenapa hutan lindung tidak membaik? “Jangan sok ngatur hutan, lebih baik belajar dari hutan. Bisa dikomunikasikan dengan melibatkan warga dan tempat bangun kesadaran baru bersama,” lanjut Gus Wes, panggilannya.

Mereka mulai dengan memanfaatkan apa yang sudah ada. Misalnya ada pipa dari sumber air yang kelebihan dan airnya terbuang. Mereka membuat kolam ikan untuk menampung air. “Bukan desa yang mau buat apa, tapi apa yang dilakukan dari yang sudah ada?” tanyanya.

Untuk menambah tutupan hutan akibat perambahan, mereka membuat bibit baru dari benih yang dijumpai di hutan. Warga setempat menyebut perambahan ini dengan istilah ngawen. Membuka hutan untuk berkebun seperti pisang, vanili, dan kopi. Dari benih yang disemai, lahir ratusan bibit untuk ditanam bersama warga dan anak sekolah sekitar desa.

baca juga : Menjaga Hutan, Memastikan Keberlangsungan Sumber Air Warga Jembrana [2]

 

BASE Bali memandu susur hutan di Hutan Belajar untuk belajar dari hutan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Hutan belajar ini diharapkan jadi perpustakaan hidup. Sebagai jembatan terputusnya transfer pengetahuan dari orang tua ke anak-anak dan cucunya yang membuat mereka berjarak dengan hutan. Tidak tahu apa isinya, sehingga kurang peduli.

Belasan anak muda dari Kelas Jurnalisme Warga Balebengong di Jembrana ini memulai susur hutan dengan rute pendek. Mereka memulai dari sebuah titik lapang yang memperlihatkan hamparan hutan di Kabupaten Jembrana. Putu Bawa, pemandu dari BASE Bali menunjukkan beberapa bagian yang tutupannya jauh berkurang atau botak. Hanya beberapa pohon terlihat mencuat.

Suara kicau burung makin ramai. Mereka mendata masih ada burung siong, istilah lokal untuk burung hantu, beo Bali, dan rangkong. Banyak hal menarik lain yang ditemukan dari pembelajaran di hutan. Misalnya beo Bali senang bermain di pohon majegau dan makan bijinya.

Hal lainnya, ada pohon endemik yakni kwanitan, istiah lokalnya pohon demulih, yang kerap jadi bahan baku sanggah, pura kecil di rumah karena kuat dan tidak dimakan rayap. Mereka berhasil membibitkan kwanitan dari biji yang dimakan burung rangkong.

Ceritanya, saat anak muda BASE Bali dan warga menelusuri hutan selama 18 jam, menemukan sebuah pohon kwanitan yang diidentifikasi sebagai induknya. Mereka dipandu burung rangkong yang terbang mengelilingi pohon ini. Diameternya sekitar empat meter, dan para burung rangkong pun mengeluarkan kotoran berisi biji kwanitan. Biji ini diolah, dibersihkan kulitnya sebelum jadi benih siap semai. Puluhan bibit kwanitan yang berhasil tumbuh akhirnya siap ditanam kembali.

Anggota BASE Bali lainnya, Sayu Komang Sri Mahayuni, mengingat, ada peneliti yang mengatakan sulit mengembangbiakkan pohon pala Bali. Namun di hutan ini, pala Bali tumbuh subur, bisa jadi karena area endemiknya. Saat menyusuri hutan, tak sulit menemukan pohon ini dengan buahnya. Nampak sejumlah pohon sudah berbuah matang dengan biji warna merah, muncul dari rekahan buah. Aroma rempah ini menyegarkan. Istilah lokalnya di Bali adalah jebugarum, bumbu aromatik yang menghangatkan tubuh.

Saat susur hutan, Putu Bawa terus mengingatkan untuk mewaspadai tumbuhan lateng yang bisa membuat gatal, panas, bahkan menggigil jika memiliki alergi khusus. Tanaman ini berbeda dengan lateng kebun yang hanya membuat gatal sesaat di kulit dan tingginya kurang dari 30 cm. Sementara di hutan, tingginya bisa lebih dari satu meter, tekstur daun dan bentuknya juga berbeda dengan lateng kebun. Bentuknya seperti tanaman liar, yang khas hanya bercak-bercak putih di daunnya.

Lateng hutan ini bak ranjau penjaga hutan, karena bisa mengurangi akses warga. Tanaman ini disebut cakap menyimpan air sehingga permukaan hutan yang berhumus tebal ini tetap lembab dan subur. Jika mengalami gatal hebat atau nyeri, bisa diobati dari zat dalam kambiumnya.

perlu dibaca : Transformasi Petani Bunga Wanagiri, demi Mengurangi Perambahan Hutan Lindung

 

Bibit pohon kwanitan, endemik hutan di Jembrana ini disemai dari biji dari kotoran burung rangkong dalam hutan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Konsep hutan ideal adalah jika masuk, harusnya manusia bisa hidup. Hutan juga tak memerlukan pupuk dan penanggulangan hama tapi bisa berkelanjutan. Ini karena ekosistemnya masih terjaga.

Bawa mengingat, sebelum hutan belajar diresmikan, warga desa yang berkebun di dalam hutan tidak suka melihat orang asing masuk. Ia menyebut anggota kelompok tani hutan berjumlah sekitar 400an.

BASE Bali terbentuk dari keresahan masalah di desa sendiri. Sementara sejumlah anggota perintisnya sibuk bekerja sampai luar Bali. Misalnya, Sayu dan Bawa kerap keliling Indonesia menjadi mentor permakultur dan mitigasi bencana bersama Yayasan IDEP. Gus Wes sudah 18 tahun berlayar bersama Greenpeace, organisasi lingkungan global yang kerap buat kampanye heroik.

Lalu, ada masalah di desa, apa yang bisa dilakukan?

Sejak 2004, mereka mulai menanam kesadaran, tak hanya tanam kayu. Nama desa mereka juga terkait dengan kelimpahan air, tapi kenapa kini mulai krisis air? Yeh embang maknanya air besar atau Sanghyang embang, sebutan untuk penguasa alam.

“Dulu magpag toya (menyambut air), hebat, tapi sekarang magpag toya di minimarket,” seloroh Gus Wes tentang kebutuhan beli air saat ini di desa gemah ripah air di masa lalu.

“Apa yang terjadi semua berhubungan. Hutannya bisa jadi tidak bermasalah, tapi jalurnya. Misal daerah aliran sungai, saat banjir bisa menggerus jalan dan jembatan putus. Ini karena pohon bambu di pinggir sungai dibabat agar pisang tumbuh,” refleksi Sayu ketika peserta susur hutan melanjutkan perjalanan dengan susur sungai setelah susur hutan.

Nampak beberapa titik sempadan sungai longsor, walau sudah dipasang krib batu yang diikat dengan tali besi dan jaring. Kebun pisang tampak mendominasi sempadan, hanya beberapa bagian yang masih lebat ditumbuhi bambu. Rumpun hebat yang mampu mengikat air dan tanah untuk mencegah erosi.

“Bukan karena alam tapi manusia. Tanam pohon yang tak sesuai habitatnya,” lanjut Sayu sambil terus berjalan di pinggir sungai. Mereka sudah merencanakan rehabilitasi sempadan.

Saat volume air hujan tinggi, sejumlah sungai menghanyutkan batang kayu dan pohon pisang sampai ke muara sungai. Bahkan, tahun 2020 lalu, air bah menghanyutkan sejumlah sapi, hewan ternak yang digembalakan dekat sungai dan pantai.

baca juga : Jelajah Hutan Desa, Uji Nyali dengan Fun Trail

 

Anak muda Kelas Jurnalisme Warga Balebengong dari pesisir Jembrana menelusuri DAS untuk merefleksikan bencana banjir. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Negoisasi Kelompok Tani Hutan

Melarang warga berkebun di hutan dinilai bukan jalan terbaik. Mereka menata semacam zona pemanfaatan untuk kelompok tani hutan. Namun ada sejumlah syarat dan kesepakatan.

Misalnya, menanami lahan kosong dengan tanaman asli dari kebun bibit seperti pala Bali, kwanitan, dan lainnya. Ini syarat layer pohon tegakan tinggi.

Untuk layer tanaman penutup tanah diijinkan seperti porang dan umbi. Untuk layer semak ada kopi dan kakao. Namun perlu pemangkasan agar tak masalah dengan pohon tegakan tinggi.

Warga pengawen tidak boleh tanam kelapa dan cengkeh, karena biasanya monokultur, dan menebang pohon lain. Untuk vanili bisa ditanam di tegakan pohon yang sudah ada agar tak membabat pohon.

Pengelola hutan belajar juga berencana menangkarkan burung dengan jaring untuk perbanyakan dan rehabilitasi satwa sitaan. Pilihannya adalah siung dan beo Bali. Sementara jalak Bali yang jadi maskot pemerintah dan Taman Nasional Bali Barat tidak jadi pilihan karena sudah banyak ditangkarkan dan hutan ini bukan daerah endemiknya.

Tantangan yang masih ada adalah pengawasan bersama agar tak ada lagi kasus meracun pohon untuk membuka lahan. Dengan uang sekitar Rp80 ribu, sudah cukup beli karbit untuk meracun 100-200 pohon. Ada juga yang menyuntik ke pohon atau mengiris batangnya lalu diisi racun agar lebih cepat mati.

Tiap anggota kelompok tani hutan mendapat akses berkebun di satu petak dengan luas sekitar 50 are. Syarat lain adalah harus ada pohon tiang pancang tiang minimal 5 jenis tanaman hutan.

Salah satu petani hutan adalah Made Widnyana, ia sudah lama berkebun yang isinya vanili, pisang, kopi, kakao, cabai, dan lainnya kebutuhan sendiri. Namun ia harus melestarikan pohon tegakan tinggi seperti bunut, mahoni, cempaka, dan lainnya.

Ia saat ini juga jadi jero sapuh atau petugas yang mendedikasikan diri membersihkan kawasan pura di lokasi hutan belajar. “Dulu takut melihat orang lain seperti petugas hutan. Sekarang bisa karena ada hutan belajar,” katanya. Ketika peserta susur hutan menanam bibit pohon tegakan tinggi, dengan tangkas Widnyana menunjukkan areal tanam.

baca juga : Ada Ratu Hutan Bakau di Tahura Ngurah Rai

 

Salah satu pohon yang sekarat karena diracun warga perambah hutan, karena itu Hutan Belajar diharapkan jadi siasat mengurangi degradasi dan konservasi. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Blok pemanfaatan hutan

Kewajiban dalam tata ruang adalah minimal 30% melestarikan kawasan hutan. Namun, diperkirakan hanya dipenuhi sekitar 20% saja.

Hutan juga memberikan identitas budaya, misalnya Jembrana terkenal dengan seni Kendang Mebarung. Alat musik dari kayu besar, tanda berkah kesuburan hutan. Ada juga Jegog, dari bambu petung besar, yang suaranya keras.

Agus Sugiyanto, Kepala Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Barat meyakini kondisi hutan di Jembrana mulai membaik, hutan kini juga dialokasikan untuk pemanfaatan. Dalam hutan lindung ada blok pemanfaatan, misalnya untuk perhutanan sosial. Ini akses legal dengan masyarakat yang hidup disekitar hutan. Ada 5 skema pemanfaatkan ini yakni hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat.

Bagaimana membedakan pemanfaatan dengan perambahan?

Ia mengatakan dilihat dari surat keputusan (SK) pemanfaatan, ada yang sudah keluar dan belum. “Blok pemanfaatan akan dikelola bersama masyarakat, investor, atau koperasi. Kawasan hutan dijaga kelestarian juga berkontribusi kesejahteraan masyarakat dan PAD,” urainya.

Bagaimana mengontrol? Menurutnya dilihat dari dokumen rencana pengelolaan jangka panjang dan target tanam misalnya duren, manggis, pala, sejenisnya. Ini masuk hasil hutan bukan kayu. Namun, di lapangan, masih banyak perambahan dengan pohon pisang.

Sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2018 tentang penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung di Bali, luasnya 105.400 hektar (Ha). Terdiri dari Hutan Lindung 96.505 Ha (90%), Hutan Produksi Tetap 2000 Ha, dan Hutan Produksi Terbatas 6895 Ha.

Hutan KPH Bali Barat terbentang dari Gilimanuk sampai Pengeragoan, luasnya 38.537 Ha. Terbagi dalam 5 resort pengelolaan, yakni resort Penginuman-Melaya (hutan produksi terbatas/penyangga Taman Nasional Bali Barat), resort Candikusuma (hutan lindung dan hutan produksi), resort Tegalcangkring, resort Yehembang, dan resort Pulukan. Ada 29 desa penyanding, serta akses kelola bersama masyarakat di 9 hutan desa dan 11 kemitraan kehutanan.

Luas hutan di Jembrana saat ini berkurang dibanding Data Dinas Kelautan dan Kehutanan Kabupaten Jembrana pada 2015, yang menyebutkan luas kawasan hutan adalah 41.351,27 Ha atau sekitar 7% dari luas Pulau Bali. Penurunan luasannya hampir 3000 hektar selama 3 tahun saja. Padahal kawasan hutan Jembrana ini lebih dari 30% dari seluruh kawasan hutan di Bali.

Menurut Agus, luasan hutan di KPH Bali Barat tetap, namun ada pengalihan sebagian ke KPH Bali Selatan. Saat ini, banyak pihak yang mengalokasikan dana ke pemanfaatan hutan, ada dinas pariwisata, pekerjaan umum, dan dana desa.

 

 

Exit mobile version