Mongabay.co.id

Suratimin, Sonokeling, dan Hitung Karbon Hutan Rakyat Desa Semoyo

 

Suratimin (62) membuka sebuah kotak beludru berwarna hijau. Perlahan dia keluarkan isinya. Ada kotak kaca dengan benda berwarna kuning emas yang ikonik karya Markus Djajadiningrat.

Di bagian bawah tertulis KALPATARU. Penghargaan Presiden Republik Indonesia bagi PERINTIS LINGKUNGAN. SURATIMIN.

Di situ tertulis alamatnya: Jalan Patuk Semoyo Km 2 RT 03 RW 02 Desa Semoyo Kawasan Konservasi Kecamatan Patuk Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta, Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2013.

Itu adalah tanda penghargaan tertinggi yang diberikan oleh pemerintah kepadanya.

 

Suratimin dengan penghargaan Kalpataru yang diterimanya. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

“Saya prihatin. Waktu saya kecil dulu air itu melimpah, ragam burung banyak, ikan juga banyak di sungai,” kenang Suratimin menceritakan alasan mengapa dia bertekad menghijaukan desanya hingga dianugerahi Kalpataru.

Meski sekarang dikenal sebagai sosok peduli lingkungan, perubahan itu tidak terjadi sekejap. Dia pernah bekerja di pabrik olahan kayu di Teluk Bintuni, Papua Barat selama 12 tahun. Setelah itu dia pindah ke Malinau, Kalimantan Utara selama 3 tahun.

Pengalamannya belasan tahun bekerja di sektor kehutanan membuatnya menyaksikan sendiri bagaimana hutan menjadi rusak. Misalnya, ada perusahaan yang mendapat konsesi penebangan dengan luas batasan yang dilanggar.

“Hutan dibabati, sementara Gunungkidul kering kerontang. Setiap tahun saya pulang [dari pesawat] pasti lihat dari udara. Awal keprihatinannya dari situ sebenarnya.”

 

 

Pulihkan Mata Air

Akhir Maret 2021 lalu, Suratimin mengajak Mongabay Indonesia berkeliling Desa Semoyo. Sejak 18 Agustus 2007 desa ini telah ditetapkan sebagai Desa Kawasan Konservasi oleh Bupati Bantul waktu itu, Suharto.

“Dulu gersang. Sekarang sudah ijo royo-royo,” tuturnya.

Kawasan konservasi Semoyo dibagi ke dalam zona inti, zona resapan, dan zona penyangga. Masing-masing zona ditanami pohon tertentu. Misalnya zona inti ditanami pohon buah-buahan agar tidak mudah ditebang.

Kami sampai pada salah satu mata air yang cukup besar di Semoyo bernama Ngrawu, ada bangunan sederhana untuk warga mencuci dan mandi. Selain untuk minum, air yang melimpah juga dimanfaatkan oleh warga untuk mengairi sawah seluas 3 hektar.

Hanya berjarak beberapa langkah dari situ tumbuh sebuah pohon beringin besar yang melindungi mata air ini.

Suratimin dan kawan-kawan pernah memetakan keberadaan mata air di Desa Semoyo. Setidaknya ada 20 titik mata air yang ditemukan. Mereka menandainya dengan GPS.

 

Hutan Rakyat Desa Semoyo diambil dari angkasa, Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Desa Semoyo memiliki luas 575 hektar atau kira-kira dua kali luas kompleks Gelora Bung Karno. Seluas 492,2 hektar adalah hutan rakyat. Lokasi itu ditutupi tajuk tanaman kayu lebih dari 50 persen, jenisnya ada jati, mahoni, akasia, sonokeling, dan sengon.

“Hitung-hitungan secara nasional hutan rakyat itu memberikan sumbangsih yang sangat besar. Kalau hanya mengandalkan Perhutani saja tidak akan bisa. Seperti sengon, Perhutani kan tidak mengembangkan,” kata Suratimin.

Meski keberadaan hutan rakyat penting, namun sebagian kalangan dan pejabat masih dianggapnya menganaktirikan keberadaannya. Padahal sebut Suratimin, para pelaku hutan rakyat memberikan sumbangsih ke negara yang besar.

Pertama adalah produksi kayu, kedua berupa cadangan karbon. “Mbok diberikan kebijakan yang berpihak kepada petani kecil. Padahal tidak harus uang, berbentuk program juga bisa,” ungkapnya.

 

Kayu sonokeling. corak kayu ini indah dan diminati oleh para pembeli dari luar negeri. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sonokeling, Kayu Bernilai Ekonomis

Seakan ingin memberi bukti dia mengajak kami ke sebuah rumah milik warga. Rumahnya kecil, tapi halamannya luas. Ada sebuah mobil jenis MVP yang terparkir di sebelah rumah. Tukijan, sang pemilik rumah, sebut Suratimin dapat membeli mobil itu berkat jualan kayu sonokeling. Kayu itu sendiri adalah jenis kayu yang kini jadi buruan pedagang kayu.

Suratimin menunjuk sebatang pohon yang tumbuh di dekat kandang kambing. Diameter pokok kayunya lumayan besar. Ditaksir umur pohonnya sekitar 100 tahun.

“Ini kalau ditawarkan sama yang punya ke pedagang, harganya pasti di atas seratus juta. Dijual enam puluh sampai tujuh puluh juta pasti laku,” ungkapnya menaksir.

Dulu kayu sonokeling (Dalbergia latifolia) dianggap kurang berharga karena kayunya keras. Dengan teknologi pengolahan kayu, sekarang pohon ini dianggap sebagai kayu berharga.

Kayu ini diminati oleh pasar luar negeri karena corak warnanya yang indah, dikenal dengan nama java palisander atau east indian rosewood. Sebelum dibudidayakan masyarakat, dulu ia tumbuh liar di hutan-hutan Pulau Jawa.

Peredaran sonokeling sendiri sekarang harus mengikuti tata cara perdagangan yang mengacu pada CITES atau The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Untuk ekspor kayu, sejak tahun 2017 harus menyertakan dokumen Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Ke Luar Negeri.

Sonokeling masuk dalam daftar Appendix II CITES,  spesies yang tidak terancam punah, namun bisa terancam punah jika perdagangannya tidak terkontrol. Agar tidak punah, Suratimin menjadikan sonokeling sebagai salah satu pohon yang dibudidayakan di Semoyo. Suratimin pernah pula diminta untuk mengirim bibit sonokeling ke LIPI guna penelitian.

“Ya memang tidak punah. Karena anakan banyak. Tapi bagaimana masyarakat giat untuk merawatnya. Tumbuh dari akar. Bisanya dari akar lalu dimasukan polybag. Stek nggak mau.”

 

Suratimin dengan pohon-pohon yang ditanam bersama warga Desa Semoyo. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Selain dalam bentuk log, sonokeling juga laku keras dijual dalam bentuk bahan setengah jadi. Satu kubik papan sonokeling bisa mencapai lima belas juta hingga dua puluh juta rupiah di tingkat petani.

Di Desa Semoyo ada aturan, pohon sonokeling baru bisa dipanen minimal setelah berumur delapan tahun. Sementara sengon setelah berumur tujuh tahun, dan jati setelah berumur lima belas tahun.

“Jadi petani itu memang harus kreatif. Harus bisa tentukan mana tanaman jangka pendek, menengah, panjang yang mungkin dinikmati anak cucu. Seperti kayu sonokeling yang diameter di atas 60 centimeter, yang menanam sudah tidak ada (meninggal).”

Banyaknya pepohonan di Desa Semoyo, memunculkan peluang baru pengembangan hasil hutan non kayu. Sebagian warga mengembangkan madu hutan jenis klanceng.

Salah satunya adalah Sunardi. Meski mengaku masih coba-coba, beberapa tahun terakhir ini dia sudah mampu memetik hasilnya. Sarang lebah klanceng di kendil dan ruas bambu yang tersebar di sekeliling rumah dan pekarangannya. Perawatannya tidaklah sulit.

“Tiap bulan September sampai Desember saya ambil madunya. Belum empat bulan sekali,” katanya ketika ditemui di rumahnya.

Lebah klanceng (Trigona sp.) berbeda dengan lebah yang dibudidayakan oleh peternak pada umumya. Lebahnya tidak memiliki sengat, bentuk sarangnya seperti pot bukan heksagonal.

Dibanding madu lebah biasa, harga madunya lebih mahal, meski produksinya lebih sedikit. Lebah klanceng diketahui menyukai madu dari bunga seruni, beberapa buah-buahan, dan kaliandra yang banyak dibudidayakan petani Semoyo untuk pakan ternak.

 

Suratimin dengan beragam produk kerajinan kayu yang dihasilkan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menghitung Karbon dari Hutan Rakyat

“Dulu di sini ramai banget,” jelas Suratimin sambil menunjukkan sebuah ruangan yang terletak di bagian belakang rumahnya.

Bangunan sederhana berdinding bata ekspos itu menjadi ruang belajar warga mengenai isu-isu lingkungan, seperti perubahan iklim, cara menghitung karbon dan pesan konservasi lainnya.

Suratimin memang sengaja membuat fasilitas sosial dan lapangan bulutangkis di halaman rumahnya, tujuannya agar warga kumpul, ngobrol dan saling belajar.  Sekarang ruangan itu sepi. Sejak merebaknya pandemi COVID-19 tak banyak orang yang datang ke sini.

Tempat ini jadi saksi terbentuknya kelompok Masyarakat Peduli Pertanian (MPP) sebagai wadah warga yang peduli lingkungan Desa Semoyo. Pada tanggal 13 Mei 2007, ia berganti nama menjadi Serikat Petani Pembaharu atau SPP.

“Pertemuan seminggu sekali. Kami menanam, nggaleng dan bikin rollag-rollag.”

Setahun kemudian dia mendirikan Sekolah Anak Petani (SAP) yang muridnya anak-anak Desa Semoyo. Mereka diajari cara membuat kompos, insektisida alami, dan meracik pakan ternak. Untuk kaum muda dan dewasa ada Sekolah Pertanian Rakyat (SPR). Semuanya dilakukan secara gratis.

Pengajarnya para petani sendiri, tetamu, mahasiswa, atau pegiat LSM yang kadang menyambangi kediamannya. Suratimin suka berteman. Ilmu yang berharga bisa didapat lewat jaringan pertemanan.

Hasilnya, pada 2010 Desa Semoyo menjadi desa inventarisasi kandungan karbon pertama di Indonesia. Hasilnya kandungan karbon di Hutan Rakyat Semoyo setiap satu hektar mencapai 30 ton karbon.

Pada 2011 ia meningkat jadi 32 ton karbon atau bertambah 2 ton/hektar/tahun. Jika dihitung untuk seluruh hutan rakyat di Semoyo yang luasnya 492,2 hektar, total ia mampu menyerap 14.766 ton karbon.

Suratimin pun hafal cara perhitungan karbon. Karbon yang diserap di Semoyo, sebutnya dapat diperdagangkan di pasar karbon internasional.

“Kalau dikompensasikan nilainya 10 dolar AS. Kalau lewat broker 7-8 dolar. Kalau dihitung itu bisa dapat 1,5 milyar hingga 2,5 milyar rupiah per tahun.”

Pada 2017 lalu sejumlah pegiat lingkungan dari negara-negara Asia belajar menghitung karbon di Desa Semoyo. Mereka datang dari India, Vietnam, China, Thailand, Malaysia, Brunei, dan Filipina.

 

Untuk menjangkau warga, di Desa Semoyo telah berdiri radio komunitas. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sepak terjang Suratimin melestarikan lingkungan juga dikenal lewat radio komunitas bernama Radekka, kependekan dari Radio Desa Kawasan Konservasi yang berdiri sejak 2008, ia mengudara sejak pukul 7 pagi hingga 9 malam.

Radio ini mengudara pada saluran 107,8 FM. Sebagai radio komunitas, radius siarannya 2,5 km. Itu sudah cukup agar warga mendapat beragam informasi tentang pertanian, hutan, dan konservasi.

“Dulu ceritanya, ketika kita bangun kelompok ini, setelah jalan 6-7 tahun kita merasa lelah. Padahal kita merasa belum apa-apa, masih jauh. Lalu saya tawarkan ke teman-teman, apakah butuh media lain, bagaimana kalau radio. Usul itu lalu disetujui anggota kelompok.”

Sayangnya belakangan radio ini berhenti mengudara, karena ada kerusakan di alat pemancar.

Meski banyak tantangan, Suratimin merasa tak pernah bosan dengan apa yang saat ini dia kerjakan. Menurutnya, perlu terus menumbuhkan kesadaran menjaga bumi.

“Bagi saya yang penting aksi. Terus bekerja, berhentinya sampai mati,” tutupnya.

 

 

 

Exit mobile version