Mongabay.co.id

Deddy Madjmoe, Penekun Kemanusiaan Dari Pinggir Sungai Cisanggarung

 

Deddy Madjmoe (53) berperawakan sedang. Fisiknya menampakkan orang yang biasa berkegiatan di alam. Di usianya saat ini, dia tampak sehat.

Siang itu, dia menggunakan kaus oblong hitam dengan tulisan mencolok, “Datang teu diondang, balik teu diongkosan” [Datang tak diundang, pulang tak diongkosi].

Tulisan itu seperti nujum baginya ketika memutuskan berkiprah sebagai penekun kemanusiaan. Saat dijumpai, Deddy sibuk menyiapkan alat pemantau tinggi muka banjir di kediamannya, Desa Ciledug, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Memang begini-begini saja kegiatan saya mah,” katanya melempar senyum saat ditemui beberapa waktu lalu.

Separuh usianya dia dedikasikan untuk misi mitigasi mengatasi banjir di kampung halamannya. Di tiang bambu sederhana itu, dia menorehkan cat, sebagai penanda batas puncak air.

Deddy tidak mengklaim bahwa kampungnya telah bebas dari banjir. Sebaliknya, banjir kerap melanda. Sejak awal tahun ini saja, banjir sudah datang 6 kali merendam ratusan rumah warga.

Kampung di ujung timur Kota Udang ini, ia gambarkan sebagai ceruk yang tenang tapi gersang, berisik tapi sunyi, gemerlap tapi muram. Agaknya, ia berkesimpulan begitu atas perubahan lingkungan yang terjadi.

Ada banyak soal yang mendekam di ini kampung: terabaikan, tumbal pembangunan tanpa perencanaan yang serius. Deddy risau dengan pelbagai masalah yang ada, saat gunung dan bukit dipangkas untuk proyek, hutan dibabat dan akibatnya terjadi salah urus dan banjir.

 

Deddy Madjmoe di rumahnya yang sederhana di Desa Ciledug, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sejak aktif di Perkumpulan Pecinta Kelestarian Alam (Petakala) Grage Cirebon, Deddy adalah saksi mata perubahan bentang alam yang dulu kerap dia jelajahi sebagai “tempat bermain.”

Kini bukit-bukit telah gundul, mata air di hutan-hutan kering beriringan. Ini seperti membenarkan adagium “kota sebuah lansekap yang asing” dari Raymond Williams, budayawan Inggris.

Namun, alih-alih hanya mengutuk atau berkeluh kesah, Deddy memilih jalan sebagai penekun kemanusiaan.

Awal langkahnya berbalik adalah di tahun 2010 lalu, banjir besar mengepung Cirebon. Dia berefleksi, lalu memutuskan mengabaikan pekerjaannya sebagai herbalis. “Saya ingin totalitas,” katanya.

Setelah itu, Deddy makin aktif dalam aksi-aksi sosial. Telah berkali-kali dia mengadukan kepada pemerintah tentang derita warga.

“Tetapi, menaruh harapan pada penguasa ternyata tak menghasilkan apa-apa,” tuturnya.

Akhirnya bersama Petakala Grage, Deddy memutuskan bergerak. Bermodal tenaga, tekad dan udunan (patungan), dia mendorong warga agar mulai membangun jalur evakuasi, pembuatan tanggul sempaan sampai jembatan darurat secara swadaya.

Tujuannya tentu saja bersiasat dengan alam. Sebab tiada yang mencemaskan selain bencana yang bakal terjadi saat alam rusak. Di situlah, Deddy mulai terpaut dengan situasi yang terjadi di Ciledug.

 

Potret banjir besar pada 2018 lalu akibat luapan Sungai Cisanggarung di Kabupaten Cirebon. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Deddy dan komunitasnya juga pernah lakukan protes pertambangan illegal yang lokasinya 7 kilometer dari kampung mereka. Sekalipun hal itu kerap berurusan dengan pihak-pihak yang tak suka dengan tindakannya. Deddy tak ambil pusing.

Dia tak bosan protes atas hilangnya tutupan hutan di hulu Sungai Cisanggarung. Akibat hilangnya catchment area vegetasi, banjir dan kekeringan seperti menjadi bagian dari elegi penduduk di sana.

“Tiga tahun belakangan saya hanya melihat dari segi ekologinya dan merasa ada yang tidak beres. Apakah ada salah pencernaan atau bagaimana?” kali ini ia bertanya tapi tak mengharapkan jawaban.

Alih fungsi lahan agaknya bakal menjadi persoalan baru.

Pabrik-pabrik di pesisir Pantura mulai mengokupasi lahan-lahan pertanian. Setelah adanya Tol Trans Jawa, banjir makin kian menggila. Pun turut berkontribusi, sampah rumah tangga, dan sedimen lumpur yang terbawa dari hulu yang makin membuat sungai menjadi semakin dangkal.

“Setelah perubahan lansekap terjadi pula perubahan sosial dimana nyaris separuh orang desa sudah kehilangan nilai mencintai lingkungan. Padahal dulunya nilai itu begitu lekat dengan orang desa.”

 

Warga melintas tanggul yang pernah jebol beberapa waktu lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menyalakan Kepedulian

Karena sadar banyak warga tak punya cukup bekal ilmu pengetahuan untuk menghadapi dampak perubahan lingkungan, Deddy menolak pasrah. Deddy ingin warga semakin tangguh hidup di daerah rawan bencana.

Demi menjauhkan mereka dari ancaman bencana. Deddy bersama Petakala Grage mulai memanfaatkan media sosial sebagai sarana informasi mitigasi. Tujuannya agar warga di tepi Sungai Cisanggarung dapat waspada.

“Kami mulai mengelola beberapa grup WhatsApp dan Facebook. Grup itu berkolaborasi dengan BBWS Cisanggarung. Mereka menginformasikan tinggi muka air di bendung,” terang Deddy.

Selain itu warga juga turut merespons mengabarkan informasi cuaca yang terjadi di tempat tinggal mereka. Solidaritas muncul tatkala banjir datang. Warga sukarela bergerak untuk membantu evakuasi hingga saling berbagi makanan. Dari sini, mitigasi seperti memiliki nafas panjang.

“Kita ini sukarelawan bukan pekerja sosial,” sebut Deddy. Saat ditanya apa motif yang hendak dia cari dari aktivitasnya itu.

Sejak awal, dia tak berniat mencari rupiah. Deddy juga tak mencari sanjungan. Sebutnya, urusan kemanusian dapat menjadi tautan jembatan antar insan. Karena itu, bekerja untuk perbaikan ruang hidup amat penting diperjuangkan. Sekalipun artinya bekerja tanpa imbalan.

Ada pepatah dalam bahasa Sunda, “hirup mah ngan ukur heuheuy jeung deudeuh”. Hidup itu cuma tawa dan duka, tergantung cara kita melihatnya.

Deddy dan para relawan bekerja menjungkirbalikkan logika umum yang kadung dianggap sebagai nilai-nilai adiluhung.

 

Deddy mengajak warga untuk pantungan membikin alat pemantau banjir. Alat ini digunakan untuk mengukur kenaikan air saat banjir. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sore itu datang kembali gerimis, pemantau banjir segera dipasang di gapura desa. Katanya, alat ini berguna untuk menentukan titik evakuasi prioritas bagi warga. Di sepanjang jalan, jejak lumpur setinggi 1 meter hingga 1,5 meter masih menempel di dinding rumah.

Kecemasan Deddy dan warga DAS Cisanggarung adalah kecemasan setiap orang pada kondisi alam yang berubah. Seperti kecemasan kita hari-hari ini, resah ketika musim basah dan gusar selama musim kering.

Mereka adalah kita, ada di sekitar kita. Yang mungkin merasa asing di tempat tinggal sendiri.

“Berbagi bahagia, tak lupa bencana,” ucap Deddy.

 

***

Foto utama: Deddy Madjmoe mengajak  warga untuk peduli dan tanggap bencana di wilayah mereka. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version