Mongabay.co.id

Kasus Izin Perusahaan Sawit di Papua, Yayasan Pusaka Ajukan Amicus Curiae

Hutan Papua yang terus terancam. Foto: Nanang Sujana

 

 

 

 

Bertepatan pada Hari Bumi, 22 April 2021, berlangsung persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Ini sidang permohonan dua perusahaan sawit dari grup Tadmax, PT Trimegah Karya Utama (TKU) dan PT Manunggal Sukses Mandiri (MSM). Permohonan ini bertujuan membatalkan keputusan Bupati Boven Digoel yang mencabut izin usaha perkebunan kedua perusahaan ini.

TKU dan MSM mengantongi izin usaha perkebunan melalui Surat Keputusan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Papua pada 2011. Pada 2014, Lembaga Masyarakat Adat Boven Digoel meminta pencabutan izin usaha perkebunan atas nama tiga perusahaan termasuk kedua perusahaan ini. Alasannya, izin keluar tanpa sepengetahuan masyarakat adat.

Pada 1 Oktober 2015, Bupati Yesaya Merasi mencabut izin-izin ini. Konsesi beralih ke PT Perkebunan Boven Digoel Sejahtera (PBDP) dan PT Boven Digoel Budidaya Sentosa (BDBS), milik Politisi Demokrat Ventje Rumangkang, lalu diakuisisi PT Digoel Agri Group (DAG), perusahaan modal asing.

Selanjutnya, pada 2017 Bupati Boven Digoel menyurati Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Isinya berupa pemberitahuan PT Menara group tidak memberikan dampak kepada masyarakat. Masyarakat ingin mengganti perusahaan baru. Masyarakat yang dimaksud adalah Lembaga Masyarakat Adat di Boven Digoel.

Pada tahun sama Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Papua Jhoni Way, memperkuat keputusan bupati. Dia mengeluarkan No 24/2017 tentang pencabutan izin usaha perkebunan TKU dan No 25/2017 tentang pencabutan izin usaha perkebunan MSM.

Pada 25 Maret 2021, kedua perusahaan mengajukan permohonan fiktif ke PTUN Jayapura.

Sidang perkara Nomor 3/P/FP/2021/PTUN.JPR dipimpin Hakim Ketua Muhammad A. Bimasakti, dan dua hakim anggota, Spyendik Bernadus Blegur dan Aditya Permana Putra. Pada 22 April itu sidang kelima dengan agenda pemeriksaan saksi pemohon. Dalam persidangan, pengacara dua perusahaan dan Pemerintah Boven Digoel bergantian memeriksa saksi. Ini sidang terakhir sebelum putusan.

Saat hendak menutup sidang, hakim menyampaikan ada dokumen Amicus Curiae yang diterima hakim dari Yayasan Pusaka Belantara.

Pengacara kedua perusahaan sempat hendak menanggapi Amicus Curiae ini namun dihentikan hakim ketua Hakim Ketua Muhammad A. Bimasakti.

“Untuk Amicus Curiae memang tidak perlu ditanggapi. Kedudukan Amicus Curiae sebetulnya di hukum acara Indonesia itu sebenarnya tidak ada. Tapi ia bisa jadi informasi tambahan untuk hakim, karena salah satu alat bukti dalam Pasal 100 Undang-undang No. 5/1986 adalah pengetahuan hakim. Jadi, untuk unsur pengetahuan hakim bisa digunakan.”

 

Baca juga: Pemain Baru Mulai Babat Hutan dalam Proyek Kebun Sawit Raksasa di Papua

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

 

 

Amicus Curiae Yayasan Pusaka

Franky Simparante, Direktur Yayasan Pusaka menyatakan, ini pertama kali lembaganya mengajukan amicus curiae.

Amicus curiae merupakan istilah Latin yang diartikan sebagai friend of the court atau sahabat peradilan. Amicus curiae diajukan oleh seseorang yang bukan merupakan pihak yang terlibat dalam suatu perkara di suatu proses peradilan dan tidak memiliki hubungan atau kepentingan dengan pihak yang bersengketa. Pihak yang tidak terlibat dalam suatu perkara mengajukan amicus curiae dalam suatu brief singkat dengan kepercayaan bahwa putusan pengadilan akan berpengaruh pada kepentingannya.

“Yayasan Pusaka memiliki kepentingan terkait masalah lingkungan hidup, masyarakat adat, kehutanan, dan advokasi pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia,” katanya.

Yayasan Pusaka mengkritik kebijakan bupati yang kemudian mengeluarkan izin baru untuk perusahaan lain tanpa sepengetahuan masyarakat adat. Namun, untuk perkara ini, Yayasan Pusaka menguatkan keputusan Bupati Boven Digoel.

Dalam dokumen setebal 25 halaman itu, Yayasan Pusaka menyatakan keputusan Bupati Boven Digoel mencabut izin TKU dan MSM sudah tepat. Ada berbagai alasan cukup kuat di balik keputusan pencabutan itu.

Dia sebutkan, penerbitan IUP kedua perusahaan di lahan milik masyarakat adat. Dengan demikian, katanya, melanggar peraturan perundang-undangan karena tidak menghormati hak-hak masyarakat adat di Boven Digoel.

Pemberian izin ini juga melanggar UU Otonomi Khusus Papua. Masyarakat adat Suku Awyu, pemilik tanah adat yang menjadi sasaran proyek mengaku tidak dilibatkan sebagaimana mestinya.

Mereka, katanya, belum memiliki keputusan apapun, tetapi izin telah terbit, diperpanjang dan diperbaharui, tanpa konsultasi dan tanpa ada kesepakatan dengan masyarakat. Bahwa, tiga perusahaan yang izin dicabut sudah beroperasi menggusur hutan tanpa ada persetujuan seluruh masyarakat adat sebagai pemilik ulayat. Masyarakat pun tidak punya salinan dokumen izin.

 

Baca juga: Investigasi Ungkap Korindo Babat Hutan Papua dan Malut jadi Sawit, Beragam Masalah Muncul

Sawit dan hutan hujan Papua. Foto oleh Nanang Sujana

 

TKU dan MSM juga tidak melaksanakan kewajiban sesuai Permentan 26/2007. Kewajiban-kewajiban itu antara lain,   menyelesaikan hak atas tanah selambat-Iambatnya dua tahun sejak IUP-B, IUP-P, atau IUP terbit, merealisasikan pembangunan kebun atau pengolahan sesuai studi kelayakan, baku teknis, dan ketentuan berlaku. Juga menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat/koperasi setempat.

Penerbitan izin juga tidak sesuai prosedur. Temuan Yayasan Pusaka menunjukkan, kedua perusahaan belum memenuhi persyaratan lengkap atau tanpa dokumen lingkungan, yakni analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), dan UKL-UPL, sebagaimana syarat ketentuan yang diatur.

Proses penerbitan izin diduga melanggar asas-asas umum menyelenggaraan negara dan menutup peran serta masyarakat dalam proses perizinan. Masyarakat adat, tidak dilibatkan dalam memutuskan pemanfaatan wilayah ulayat mereka sebagai perkebunan sawit oleh pemerintah dan pemohon perkara.

Permohonan fiktif positif ini juga kurang pihak. Seharusnya, permohonan juga diajukan kepada Gubenur Papua Cq Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Papua yang mencabut izin keduanya pada 2017.

Yayasan Pusaka juga menilai permohonan fiktif kedua perusahaan ini salah prosedur. PTUN, katanya, tidak berwenang memeriksa permohonan fiktif positif ini.

Istilah fiktif digunakan, kata Angky, karena tidak ada keputusan yang keluar oleh pejabat negara atas sebuah permohonan, tetapi dianggap telah mengeluarkan. Fiktif positif berarti permohonan yang dimohon “dikabulkan” oleh pejabat pemerintah.

Kalau fiktif negatif berarti permohonan “ditolak” oleh pejabat negara, pemohon dapat melakukan gugatan atas penolakan ini ke PTUN. Fiktif negatif diatur dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara.

 

Hutan Papua. Orang Papua, atau masyarakat adat Papua, banyak tinggal di kawasan hutan negara–secara adat itu hak ulayat–, apakah mereka akan kehilangan hak pilih? Data Bawaslu RI di Papua, ada 600.000 calon pemilih non- KTP-el yang tak terakomodir di daftar pemilih. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Alternatif advokasi

Emanuel Gobay, pengacara dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menyatakan, amicus curiae bisa digunakan aktivis dan organisasi masyarakat sipil di Tanah Papua untuk mengadvokasi proses peradilan kasus-kasus kejahatan lingkungan. Apalagi, katanya, setelah banyak putusan kasus kejahatan lingkungan di Papua yang tak memenuhi rasa keadilan.

“Dalam kasus illegal logging di Papua Barat, misal, saya rasa aneh, hampir semua putusan pengadilan itu memvonis bebas. Padahal, jelas dia curi kayu. Setelah saya telusuri, rupanya salah satu persoalan, hakim yang memeriksa tidak punya lisensi hakim lingkungan hidup.”

Menurut dia, putusan-putusan itu sebenarnya melanggar kode etik hakim namun sering diabaikan Komisi Yudisial. Sisi lain, gerakan masyarakat sipil juga masih kurang memanfaatkan skema advokasi pemantauan sidang.

“Fakta itu membuat saya berpikir, wah apa yang kurang dari kami. Kami yang saya maksud aktivis dan LSM yang konsen di isu lingkungan. Dugaan saya, yang kurang kita tidak punya skema advokasi pemantauan sidang.”

Pemantauan sidang, katanya, bisa dalam bentuk dokumentasi foto, audio, dan video, menyelenggarakan siaran pers untuk menarik perhatian publik pada kasus itu, sembari mengawasi kinerja hakim, panitera, maupun pengacara.

Gerakan masyarakat sipil juga bisa menyusun dokumen amicus curiae. Isinya, bisa berupa pertimbangan sosiologis, filosofis maupun yuridis. Terlepas dari fakta yang muncul di persidangan, dampak terhadap masyarakat dan lingkungan hidup yang timbul dari masalah yang sedang disidangkan bisa masuk dalam dokumen amicus curiae hingga bisa jadi pertimbangan hakim.

Ketentuan amicus curiae dalam sistem hukum Indonesia, katanya, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal itu menyatakan, “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Sebelumnya, amicus curiae dipakai dalam persidangan para Tapol Papua. Amicus curiae dari berbagai pihak, katanya, berpengaruh pada sangat keringanan vonis hakim bahkan kejaksaan akhirnya tidak banding.

“Semoga ini jadi satu skema advokasi pengawalan sidang yang bisa kita bagikan ke teman-teman lain dalam kasus-kasus yang lain. Ketika kami tidak berkaitan, tetapi isu yang disidangkan berkaitan sekali dengan kami, maka kami bisa memakai amicus curiae.”

 

***

Foto utama:

 

 

 

 

Exit mobile version