Mongabay.co.id

Banjir Bandang dan Pembalakan Liar di Pesisir Selatan

Kayu-kayu yang berserakan di pemukiman warga pada saat terjadi banjir. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

Kayu-kayu yang berserakan di pemukiman warga pada saat terjadi banjir. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Banjir bandang melanda dua kecamatan di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, penghujung Maret lalu. Banjir tak hanya limpahan air tetapi membawa balok-balok kayu yang menghantam apapun yang ada di hadapannya.

Dari data BPBD Pesisir Selatan, banjir bandang di Kecamatan Ranah Ampek Hulu Tapan dan Basa Ampek Balai Tapan ini, merendam 1.131 rumah, 60 hektar lahan pertanian rusak serta merendan 44 hektar lebih jagung dan palawija siap panen.

Tidak hanya itu, banjir yang datang tiba-tiba ini merendam lima sekolah, dan satu SMK di Ranah Ampek Hulum terpaksa menunda ujian berbasis komputer (computer assisted test/CAT) karena 60 komputer rusak terendam banjir.

Di kedua kecamatan, banjir juga merusak lahan perkebunan, sarana dan prasarana umum serta infrastruktur maupun fasilitas umum lain.

Berdasarkan data pemerintah kecamatan, perkebunan dan pertanian warga yang berisi padi dan jagung juga terendam. Tinggi air mulai 80 sentimeter hingga dua meter. Banjir ini membuat satu jembatan putus, dan merusak jaringan pipa PDAM hingga masyarakat kesulitan mengakses air bersih.

Saat banjir, katanya, banyak kayu-kayu balok berserakan diduga buntut pembalakan liar di bagian hulu terutama di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Syafei, Wali Nagari Kampuang Tangah, mengatakan, banjir datang tiba-tiba hingga warga tak sempat menyelamatkan harta benda. “Air naik Minggu sore 29 Maret, padahal saat itu hujan tak terlalu deras.”

Dia duga hujan deras terjadi hulu hingga tiba-tiba air datang. Kala itu, katanya, terjadi banjir dengan ketinggian air mencapai 1-2 meter.

“Banyak baju basah, beras tidak bisa diselamatkan karena tidak diduga air tiba. Sawah, ladang jagung terendam,” katanya.

Dia menyebut, banjir ini terparah sejak 2018. Kala bandang itu, banyak kayu berserakan dan diduga dari mudiak (hulu).

Bobi Ofriadi, Komandan Pos TRC BPBD Pesisir Selatan, mengatakan, banjir akhir maret lalu karena curah hujan tinggi di hulu hingga mengakibatkan tiga hulu sungai yaitu Batang Sungai Gambir, Sako dan Tapan, meluap. Sungai-sungai meluap menyebabkan tanggul panahan di batang air Binjai jebol.

 

Warga sedang gotong royong membersihkan jalan Lintas Tapan Via Sungai Penuh KM 20 yang tertimbun lumpur akibat banjir Rabu 28 Maret. Foto: Vinolia/Mongabay Indonesia

 

Selain rumah dan sekolah terendam, banjir kali ini menyebabkan infrasruktur umum seperti jembatan pipa-pipa PDAM juga banyak rusak.

Bobi bilang, terpenting mengantisipasi agar bencana tidak terulang. Kontribusi banjir dari hulu sungai kemarin, katanya, jelas dari kerusakan hutan karena perambahan ilegal.

“Kemarin itu waktu kami hitung cepat saat terjadi banjir, banyak kayu-kayu balok berserakan terbawa arus hingga ke pemukiman warga. Artinya, masyarakat atau beberapa oknum masih pembalakan di hutan,” katanya.

Tidak hanya itu, sewaktu dia dan tim melakukan perjalanan ke hutan banyak menemukan lahan-lahan baru terbuka. “Hutan dibuka kemudian ditinggal, hanya untuk mengambil kayu.”

Kondisi ini, kata Bobi, meluas hingga ke Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), lanjut ke perbatasan Sumbar-Jambi dan kawasan hutan di sekitar hulu Sungai Sako.

Dari hasil evaluasi dan peninjauan BPBD Sumbar bekerjasama dengan BNPB dan Dinas Kehutanan menggunakan helikopter terlihat tutupan hutan di Sako, hulu Sungai Tapan sangat parah. Bahkan, lebih parah dari hutan Kambang, di sebelahnya.

Hingga kini, kata Bobi, pembalakan liar masih terjadi. “Sepertinya kawan-kawan yang bertugas untuk resort (TNKS) tidak bekerja.”

Dia bilang, upaya penghijauan kembali yang dilakukan dinas untuk pemulihan hutan belum banyak membantu.

“Setau saya kemarin itu dari pihak-pihak terkait cuma pembinaan-pembinaan, perbaikan ekosistem hutan dibuat kelompok-kelompok, lahan-lahan terbuka diganti dengan tanaman durian, jengkol. Tapi sampai sekarang realisasi belum.”

Malah, katanya, saat mereka investigasi satu kontribusi banjir juga dari pembukaan lahan tetapi belum ada penanaman kembali. “Mereka sudah membakar, akibat dari itu ada enam titik longsor sampai di Kerinci.”

Pernyataan BPBD ini diperkuat Yaparudin, pegiat konservasi di Tapan. Dia membenarkan kalau kayu-kayu balok berserakan di pemukiman warga saat banjir bandang merupakan kayu perambahan dari (TNKS, tepatnya di hulu air batang Sungai Gambir.

Kayu jenis meranti sudah berbentuk balok ini seyogianya dihanyutkan dari TNKS melalui Sungai Batang Betungm Kecamatan Basa Ampek Balai Tapan menuju titik labuhan. Karena hujan lebat di hulu yang meyebabkan air sungai meluap, kayu-kayu ini malah berserakan ke pemukiman warga bahkan ada yang sampai menghantam dapur di Nagari Kampuang Tangah.

Kayu-kayu ini ditemukan warga di Nagari Binjai, Kampuang Tangah, juga di Nagari Tapan Induk, Kampung Alang Rambah. Diperkirakan ada sekitar 20 kubik kayu berserakan di lokasi ini dan sudah dikumpulkan warga.

 

Sebuah sekolah dasar (SD) di Nagari Kampuang Tangah, Tapan yang terendam lumpur akibat banjir. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Terus berlangsung

Pembalakan ilegal terus berlangsung di TNKS. Dari informasi yang dikumpulkan Mongabay, untuk mengambil kayu di kawasan konservasi, biasa para cukong dibantu para pekerja tiga atau lima orang, satu orang bertindak sebagai tukang potong kayu, sisanya mengangkut dan menggiring kayu hingga ke titik labuhan. Setidaknya, ada tujuh titik labuhan atau biasa disebut sarkel milik para cukong kayu ini.

Kayu-kayu yang diambil dari TNKS ini dipotong dalam bentuk balok-balok petak di hutan, dengan jenis meranti, surian, dan medang.

Setelah terpotong-potong, kayu ini dirakit dan dihanyutkan melalui tiga hulu sungai, berdasarkan titik labuhan yakni hulu Sungai Batang Betung dan hulu Sungai Batang Panadah, di Kecamatan Basa Ampek Balai Tapan. Juga hulu Sungai Batang Gambir di Kecamatan Ranah Ampek Hulu Tapan. Para pekerja menggiring dan memastikan kayu-kayu ini sampai di titik labuhan.

Aktivitas mereka membawa kayu ini terang-terangan. Setelah kayu dihanyutkan, lalu diangkut dengan truk melewati rute jalan raya simpang empat Tapan dan depan Polsek Tapan.

Yozarwardi, Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, menyebut ada beberapa hal yang menyebabkan banjir, tidak serta merta perambahan hutan.

“Setiap ada banjir memang dikonotasikan ada illegal logging, saya tidak mengatakan itu salah tetapi harus lakukan identifikasi dulu. Jika benar, itu hanya salah satu faktor saja,” katanya.

Faktor lain penyebab banjir, kata Yoza, juga curah hujan tinggi, pendangkalan sungai hingga kebiasaan buang sampah sembarangan.

Atas dugaan pembalakan liar, dinas akan melakukan pengcekan. “Kita lakukan identifikasi dulu ke lapangan, apakah betul itu ilegal logging. Kalau itu dari illegal logging nanti upaya penyelidikan dan penyidikan, kita tindak pelakunya.”

Yoza mengatakan, pernah mendapat laporan dari masyarakat terkait dugaan pembalakan liar di kawasan ini dan sudah menyampaikan ke TNKS.

“Saya ada beberapa kali dapat laporan dari masyarakat. Saya teruskan kepada BTNKS, karena kawasan konservasi bukan kewenangan provinsi, itu kewenangan pusat.”

Beth Vendri, Komandan Brigade Hariamu Jambi, Gakkum Wilayah Sumatera melalui pesan menyebut, sudah tiga kali operasi dan penyidikan kasus pembalakan liar di sana, namun jarak dan tidak ada personil seringkali menjadi hambatan.

Ahmad Darwis, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah II Sumbar, mengatakan, TNKS berbatasan langsung dengan hutan produksi terbatas (HPT) dan areal penggunaan lain (APL).

Di kawasan HPT, katanya, terjadi perubahan sangat signifikan, tadinya hutan berubah jadi sawah dan perkebunan.

“Banjir ini akumulasi dari kegiatan lama (perambahan hutan), bukan datang tiba-tiba. Illegal logging di TNKS memang tidak menutup kemungkinan, tapi itu hanya sekian persen, tidak menimbulkan perubahan signifikan di kawasan, tegakan masih bagus, ” kara Darwis ditemui di kantornya beberapa waktu lalu.

Dia bilang, kalau mau bersinergi antar instansi, perlu pendataan lagi berapa banyak sebaran industri pengolahan kayu di luar TNKS, berapa banyak pula kayu dari luar TNKS. Nanti sama-sama bisa lihat data dari citra satelit.

“Bagaimana kondisi TNKS dan kondisi kawasan luar TNKS.”

 

Sarkel milik salah satu cukong di Nagari tapan Induk. Foto:  Yaparudin.

 

Banjir di Tapan beberapa waktu lalu, katanya, tidak serta merta terjadi. Pembukaan lahan besar-besaran di luar maupun dalam kawasan. “Justru yang membuat banjir bandang ini pembukaan lahan secara besar-besaran.”

Darwis mengatakan, pembukaan lahan di TNKS itu kejadian sekitar 5-7 tahun ke belakang. “Tidak ada pembukaan baru, kalaupun pembukaan baru itu kecil, itupun sedang kita data hanya nol sekian persen. Kalau sudah besar akan kita proses, jadi memang kita harus melihat, kayu itu berasal darimana? Kawasan TNKS atau pinggiran TNKS, sebelum ke TNKS kita ketemu HPT dulu, dan itu wewenang Dinas Kehutanan provinsi.”

Saat ditanya asal-muasal kayu-kayu balok yang berserakan saat banjir, TNKS mengaku itu bukan dari kawasan mereka.

“Hasil penelusuran petugas Resort Lunang I, kayu-kayu bukan dari dalam kawasan. Kita sudah telusuri bukan dalam kawasan, kalau memang dari kawasan, akan kelihatan bekas tebangan baru. Itu tidak ada.”

Meskipun begitu, ketika mereka patroli, katanya, memang masih ada pembalakan liar tetapi skala kecil. Jadi, ketika mereka ada tangkapan saat patroli lalu lakukan pembinaan kepada masyarakat.

“Sesuai arahan dari presiden juga, karena yang kita lihat itu hanya sebatang dua batang untuk konsumsi rumah tangga. Langkah selanjutnya kita edukasi.”

Ada juga ketika mereka akan lakukan patroli pelaku sudah lari. Mereka hanya bertemu barang bukti berupa gergaji potong kayu. Terakhir penangkapan, pada 2017 bersama Balai Penegakan Hukum.

“Kita sudah koordinasi dengan Gakkum supaya pemetaan terkait kasus-kasus di dalam kawasan, ada beberapa kali Gakkum juga turun.”

Ke depan, katanya, juga akan minta dari Dinas Kehutanan Sumbar untuk mengendalikan mesin-mesin pengolah kayu itu, maupun gudang kayu. “Harus ada pengecekan kayu mereka itu dari mana.”

Pasca banjir, TNKS mengaku sudah mendata lahan-lahan garapan masyarakat di dalam kawasan. Setelah pendataan kalau ada kerusakan akan dilakukan penanaman tanaman produktif di zona-zona pemanfaatan.

Begitupula kalau lokasi masyarakat berada di zona rehabilitasi, akan penanaman, misal, kalau menanam kopi, tetap diizinkan dengan syarat jarak 10 meter ada tanaman berkayu. Begitupun, kalau tanaman palawija, diselingi tanaman keras seperti petai, jengkol, kemiri, dan lain-lain.

“Ini teman-teman sedang turun ke lapangan untuk mengidentifikasi, kemudian kita akan pendekatan budaya untuk direkrut menjadi mitra konservasi, tujuan apa? Supaya bersama-sama antara TNKS dan masyarakat menjaga kawasan.” Dengan catatan, katanya, setelah jadi mitra tak boleh lagi ada perluasan pemanfataan kawasan.

Untuk pengamanan kawasan, mereka melakukan, pertama,   patroli rutin tiap bulan antara petugas resort dengan masyarakat mitra Polhut. “Bahkan kita patroli sinergiritas bersama instansi terkait dengan teman-teman di kepolisian maupun koramil,” katanya.

Kedua, sosialisasi hukum terkait pengelolaan taman nasional dan ketiga, mitra konservasi bagi masyarakat yang sudah tinggal di kawasan.

Tujuannya, pemulihan ekosistem dengan bisa menanam lahan dengan tanaman bernilai ekonomi tetapi tetap ada tanaman kayu termasuk jenis endemik.

 

Kayu-kayu yang sudah dikumpulkan di Nagari Limau Purut, Tapan, usai banjir bandang. Kayu-kayu ini terbawa air bandang yang menghantam daerah itu.  Foto: Yaparudin.

 

Daerah rawan, jaga hutan

Isril Berd, ahli lingkungan mengatakan, topografi Pesisir Selatan termasuk Tapan ini daerah pinggir pantai yang landai. Letak antara Bukit Barisan dengan pantai tidak berapa jauh, jadi landaian itu cepat sekali sampai.

“Kalau hujan di hutan TNKS atau lereng-lereng Bukit Barisan, air akan cepat saja sampai memasuki sungai dan terus ke hilir.”

Keadaan ini, tambah parah kala hutan sudah terbuka, badan sungai tidak mampu menampung volume aliran, maka terjadi banjir di kiri kanan sungai. Ada banyak sungai disana, Silaut, Tapan dan anak sungai lain.

Jadi, katanya, sekarang harus data seberapa luas alih fungsi lahan atau perambahan hutan dan perlu lihat juga itu liar atau izin-izin konsesi dari pemerintah.

Berdasarkan informasi lapangan, satu penyebab utama banjir di daerah ini karena kerusakan hutan. “Kalau itu yang terjadi, artinya ada lahan yang terbuka, lahan terbuka ketika hujan dengan intensitas tinggi tentu air larian bisa saja terjadi.”

Dari informasi lapangan, katanya, kayu-kayu yang berserakan saat banjir bukan terbongkar sampai akar melainkan bekas dipotong. “Ini membuktikan peristiwa ini murni karena ulah manusia, bukan semata faktor alam,” katanya.

Saat ini, upaya pencegahan adalah pemulihan kembali hutan gundul dan tindakan struktural pemasangan Bronjong atau terasering.

“Langkah cepat yang bisa dilakukan adalah reboisasi, penghijauan kembali. Kemudian daerah-daerah rawan longsor harus dibuat bronjong-bronjong atau terasering.”

Dia bilang, harus ada penanaman kemudian tindakan struktural. Kalau tanam dengan bibit-bibit kecil pun, tanaman belum mampu menahan daya longsor atau daya gelincir dari tanah. Jadi lahan yang terbuka itu, katanya, harus lakukan modifikasi agar bisa mematahkan aliran permukaan dan longsor.

“Ini harus dilakukan dinas terkait.”

Selain itu, juga tindakan struktural dan nonstruktural. Struktural, katanya, dengan memperbaiki anak-anak sungai. Untuk non struktural, katanya, dengan membuat peraturan.

“Yang terjadi selama ini kok pemerintah seperti tidak tau, mestinya kalau banjir seperti itu pemerintah harus melakukan cek dan ricek, bupati harus menginstruksikan jajaran turun tangan.”

Dia menilai, manajemen daerah lupa menyikapi kalau wilayah itu rawan bencana. Sumbar, katanya, merupakan etalase bencana, seperti banjir, longsor, gunung berapi, patahan, gempa vulkanik, gempa tektonik dan lain-lain.

 

 

 

*****

Foto utama:

Kayu-kayu yang berserakan di pemukiman warga pada saat terjadi banjir. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version