Mongabay.co.id

Lada yang Pernah Menjadi Andalan Petani Lampung

 

 

Masmui [54] berangkat menuju kebunnya yang berjarak empat kilometer dari rumahnya, di Desa Sukadamai, Kecamatan Gunung Alif, Kabupaten Tanggamus, Lampung, Kamis pagi [15/4/2021]. Desa ini berada sekitar satu jam dari pusat Kota Bandar Lampung.

Dengan cangkul dan parang, dia langsung beraktivitas di kebunnya seluas satu hektar. Masmui menuturkan, kesehariannya ia menanam lada hitam dan tanaman lainya. Dia menerapkan sistem agroforestri.

“Untuk tanaman saya tidak fokus lada. Ada komoditas lain seperti kopi, kakao, dan pepaya. Lumayan untuk keseharian. Jika harga lada turun bisa ditutupi dengan tanaman lainnya,” ujarnya.

Masmui menjelaskan mengapa lada hitam di Lampung saat ini kurang diminati, terlebih di daerahnya dalam lima tahun terakhir, karena penyakit yang terus menyerang. Seperti, penyakit kuning dan akar busuk yang menyebabkan pohon mati.

“Selain itu, gangguan cuaca sangat berpengaruh. Kopi yang lebih tahan terhadap penyakit membuat petani beralih ke tanaman ini dan pastinya lebih menguntungkan.”

Terkait harga, Masmui mengatakan terus mengalami penurunan. Panen tahun lalu harganya hanya 25 ribu Rupiah per kilogram.

Senada, Sofwan [50] petani Desa Sukadamai menceritakan produksi ladanya yang berkurang akibat penyakit.

“Sejak umur 14 tahun, saya sudah menanam lada bersama bapak saya.”

Dia mengatakan, harga lada menurun tajam dari kisaran 100 ribu Rupiah hingga 25 ribu Rupiah per kilogram. “Harga jual tanaman yang lain bisa kembali naik tetapi lada tidak, ini yang membuat kami sedih,” ujarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik [BPS] Kabupaten Tanggamus, tahun 2019 tercatat 1.188 penduduk mendiami Desa Sukadamai yang sebagian besar mereka adalah petani lada dan kopi.

Baca: Perubahan Iklim Ancam Masa Depan Kopi Indonesia

 

Tanaman lada yang pernah berjaya di Lampung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Langkah Pemerintah Tanggamus

Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan [Kadisbun] Kabupaten Tanggamus, Dhani Riza Efriansyah mengatakan, pihaknya mempunyai program Melada. Tujuannya, mengatasi permasalahan utama usaha tani lada akibat penyakit busuk pangkal batang. Harapannya, untuk mengembalikan kejayaan lada Lampung itu sendiri.

“Kami sudah merencanakan 5 program, hanya baru ini yang berjalan,” katanya, Rabu [14/4/2021].

Dia mengatakan, programnya itu memperbaiki infrastruktur transportasi dengan membuat jalan perkebunan dan membangun embung untuk irigasi. Ini tidak terlepas dari visi misi Bupati dan Wakil Bupati Tanggamus, yakni pengembangan inovatif sektor pertanian dan kelautan dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Serta, dukungan pemerintah provinsi melalui program kartu petani berjaya [KPB].

“Kita harus bersinergi dan juga tidak jauh-jauh dari programnya Menteri Pertanian juga,” jelasnya.

Baca: Petani Kopi Itu Penjaga Lingkungan dan Intelektualitas

 

Tanaman lada yang rentan terhadap penyakit membuat petani di Lampung tidak menjadikannya andalan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dilansir dari kompas.id pada artikel berjudul “Menanti Kembali Kejayaan Lada Lampung” dijelaskan bahwa ada sejumlah program yang dilakukan Pemerintah Provinsi Lampung untuk mengembalikan kejayaan lada.

Program itu adalah menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi, badan penelitian, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi [BPPT] untuk menyusun model usaha budidaya lada yang baik. Selain itu, tenaga penyuluh pendamping petani juga diperbanyak guna memberikan pengetahuan kepada petani tentang cara budidaya lada yang baik.

Data Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung menunjukkan, tiga tahun terakhir luas areal lada di Lampung menurun. Pada 2013, luas lahan tercatat 62.000 hektar dan mampu menghasilkan 24.600 ton lada hitam. Pada 2015, luas lahan menyusut menjadi 45.000 hektar dengan produksi sebesar 14.800 ton, atau turun hampir 10.000 ton.

Bila melihat data produksi Perkebunan Rakyat Kabupaten Tanggamus, berdasarkan BPS Kabupaten Tanggamus, produksi lada hitam per ton mengalami naik turun pada 2018, 2019, dan 2020.

Tahun 2018, produksi lada hitam 3.140 ton, di tahun 2019 [3.115 ton], dan 2020 [4.623 ton]. Jumlah arealnya turun, pada 2018 [12.622 hektar], 2019 [7.915 hektar], dan 2020 [7.861 hektar].

Dan juga ada penurunan jumlah petani lada yang dihitung per kartu keluarga [KK], dari 9.502 KK [2109] menjadi 9.438 KK [2020].

Baca: Kopi Indonesia, Bukan Hanya untuk Dunia tapi juga Benteng Konservasi

 

Lada hitam yang merupakan komoditas andalan Provinsi Lampung, tengah lesu produksinya. Foto: Andre Prasetyo Nugroho

 

Lada menurun

Ketua Dewan Rempah Indonesia [KDRI] Wilayah Lampung Untung Sugiyatno mengatakan, penyakit bukan satu-satunya penyebab lesunya lada. Faktor lain adalah komoditas ekspor yang harganya tergantung pasar dunia.

Supply and demand berpengaruh, selain itu petani juga sampai saat ini masih memproduksi biji lada yang kualitasnya belum maksimal. Rata-rata petani menghasilkan kurang 500 kilogram lada hitam per tahun,” ujarnya, Sabtu [24/4/2021].

Permasalahan yang terjadi membuat banyak petani melakukan pengalihan [diversifikasi] tanaman, dari lada ke komoditas lain.

“Lahan yang sebelumnya untuk lada kini ditanami kopi, singkong, juga kakao.”

Untung mengingatkan, Pemerintah Lampung memiliki tanggung jawab moral untuk mengembalikan kejayaan lada. “Komitmen harus ada.”

Data BPS Provinsi Lampung 2017 menunjukan, ada 4 komoditas utama yang menjadi andalan Lampung. Karet menduduki peringkat pertama [149.000 ton], lalu kopi robusta [107.000 ton], diikuti lada [15.000 ton], serta cengkeh [1.300 ton].

Baca juga: Rempah dan Jejak Peradaban Bahari di Kepulauan Bangka Belitung

 

Tanaman lada yang merambat di pohon cempaka. Belum terlihat buah lada dikarenakan baru selesai dipanen. Foto: Andre Prasetyo Nugroho

 

Kacamata sejarah

Arman A.Z, sejarawan Lampung mengatakan, kejayaan lada bisa diulang. Namun, jangan dijadikan seremonial saja, perlu komitmen seluruh pihak dan pemerintah untuk mewujudkannya.

”Perlu niat seluruh pihak di Lampung, dari hulu sampai hilir. Pertanyaannya, demi kepentingan apakah mengembalikan kejayaan lada? Demi nostalgia, identitas, strategi ekonomi masa depan, atau apa?” ujarnya, Senin [12/4/2021].

Menurut Arman, kebijakan yang membuat lada menjadi suram harus dilacak kembali. “Saya hanya menduga, kebijakan Hindia Belanda untuk perkebunan kopi dan karet di Lampung, memberi pengaruh pada petani lada pada masa itu. Kira-kira seperti sekarang, semua berbondong menanam singkong, karet, atau sawit. Sejarah berulang saja dalam versi berbeda, dengan pola yang serupa,” jelasnya.

Menurut dia, tergantikannya lada dengan komoditas lain seperti kopi, bisa diakibatkan kebutuhan pasar global. Khususnya, di Tanggamus dan sekitarnya pada era Hindia Belanda.

“Banyak bukti fisik perkebunan Hindia Belanda di Pesawaran sampai Tanggamus yang bisa kita telusuri,” paparnya.

 

Andre Prasetyo Nugroho, Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung. Tertarik menulis isu lingkungan, mendapatkan program liputan fellowship tahun 2020 yang diselenggarakan Mongabay Indonesia.

 

 

Exit mobile version