Mongabay.co.id

Mengkaji Etnoekologi Ruang Hidup Orang Tepra di Pegunungan Cycloop Papua

Pada hakekatnya, manusia akan selalu melakukan interaksi dan beradaptasi dengan alam sekitarnya. Puluhan bahkan ratusan tahun, manusia mampu untuk beradaptasi di lingkungan ekosistem yang berbeda-beda seperti daerah tropis, sub-tropis, lingkaran kutub, daerah berawa, pegunungan tinggi, pulau-pulai dan pantai.

Hasil budaya yang ditampilkan pun cenderung merupakan hasil adaptasi yang mengikuti kondisi lingkungan alam dimana manusia itu berinteraksi dan berhubungan erat dengan sesama mahluk hidup di lingkungan tempat dia berada.

Bentuk-bentuk hubungan yang terjalin itu juga dapat dilihat sebagai bentuk untuk mempertahankan eksistensinya. Dengan demikian, itu wujud dari proses interaksi yang amat bervariasi dengan ekosistem ruang hidupnya.

Secara khusus, tulisan ini bermaksud untuk melihat bagaimana Orang Tepa yang bermukim di Pegunungan Cycloop (Cyclops, Dobonsolo, Robhong Holo), Kabupaten Jayapura berinteraksi dengan alam lingkungannya lewat kajian etnoekologi.

Baca juga: Amos Ondi, Pegunungan Cycloop Seperti Ibu yang Sedang Sakit

 

Manusia memiliki relasi dengan lingkungannya. Lukisan kulit kayu, kesenian tradisional dari Pulau Asei, Danau Sentani. Masyarakat melukis hubungan manusia dengan alam, dan mahluk hidup di sekitar mereka. Salah satunya adalah ikan hiu gergaji. Foto: Chris Paino/Mongabay Indonesia

 

Tipe Ekologi Utama Pegunungan Cycloop

Walker dan Mansoben (1990) membedakan 4 zona ekologi utama yang ada di Papua, pertama zona ekologi rawa (swampy areas), daerah pantai dan muara sungai (coastal and riverine areas). Kedua adalah zona ekologi dataran pantai (coastal lowland areas), ketiga adalah zona ekologi kaki-kaki gunung serta lembah-lembah kecil (foothills and small valleys) dan keempat adalah zona ekologi Dataran Tinggi (Highlands).

Berdasarkan tipe ekosistem utama di Papua, Kartikasari et al. (2012)  menyebut terdapat 12 tipe lingkungan utama di Pulau Papua. Dimana di Pegunungan Cycloop terdapat tujuh lingkungan utama, yaitu: hutan mangrove, rawa, hutan rawa, hutan hujan dataran rendah, hutan hujan pegunungan bawah, hutan hujan pegunungan atas, semak dan savana.

Untuk hutan, menurut JB Ratchliffe kawasan Pegunungan Cycloop didominasi oleh hutan hujan primer yang bervariasi berdasarkan ketinggian dalam struktur komposisinya. Yaitu: hutan dataran rendah (di bawah 100 mdpl), hutan dataran tinggi  (200 mdpl), hutan daerah perbukitan  (600 mdpl) dan hutan pegunungan (di atas 800 mdpl)

Sedangkan Geoffrey Hope dan Jim Tulip, mengemukakan bahwa ada 4 tipe ekosistem utama disamping beberapa tipe ekosistem kecil lainnya, yaitu: Upper Montane, Montane, Forest.dan Grassland.  Untuk vegetasi di Pegunungan Cycloop, penulis sendiri cenderung mengacu pada hasil penelitian Hope & Tulip ini.

Baca juga: Melacak Ekidna, Satwa Keramat Orang Papua di Cycloop

 

Cendrawasih botak jantan. Foto: Fransisca N Tirtaningtyas/Mongabay Indonesia

 

Zona Ekologi Tradisional Orang Tepra

Pandangan Orang Tepra terhadap lingkungan alam disekitarnya, terangkum dalam filosofi adatnya yang berbunyi: Kani nekewena delrei Nameng. Nau  su plre Dalri supre, nemeng nei kong bwo. De dalrite telrena de walri, de naute telrena de wari. (Tanah adalah ibuku. Laut dan Darat adalah kedua belah susu Ibu. Aku pergi ke Laut aku hidup, aku pergi ke Darat aku hidup.)

Dengan demikian, pandangan Orang Tepra terhadap lingkungan alam sekitarnya dimanifestasikan sebagai seorang Ibu, dan sumber daya alam adalah “Air susu ibu” yang terus-menerus memberi hidup bagi Orang Tepra.

Dunia Orang Tepra sendiri terdiri dari empat wilayah zona ekologi tradisional, yaitu: Sena, Sena Seke, Yo, dan Nau Seascape. Dunia kosmologi Orang Tepra zona ini adalah bentuk representasi dari tubuh seorang Ibu.

Zona Sena adalah kepala seorang Ibu. Seperti adat ketimuran maka kepala seorang Ibu merupakan area yang tabu untuk dipegang atau dielus oleh anak-anak.

Orang Tepra terlarang untuk melakukan aktivitas apapun di zona ini. Tabu untuk dimasuki, karena nyawa taruhannya. Wilayah ini juga dipercaya sebagai tempat atau rumah para leluhur yang disebut Deutro Depon Way  (Tuan Penjaga Gunung Deponsero).

Secara ekologis, zona Sena terletak pada ketinggian 750-1.000 mdpl. Ia banyak ditumbuhi jenis tumbuhan dengan cirri daun yang ukurannya lebih kecil seperti Nothofagus flaviramea, Quercus sp. Dan species Myrtaceae.

Jenis-jenis cemara mulai menjadi lebih dominan seperti Dacrydium, Papuacerdrus dan Phyllocladus. Sementara satwa yang dominan seperti burung-burung pemakan serangga Sericornis spilodera dan  Ripidura rufidorsa, kakatua jambul kunian (Cacatua galerita), kakatua raja (Probosciger atterimus, nuri berpipih merah (Geoffroyus geoffroyi), nuri kepala hitam (Lorius lorri), nuri kelabu senja (Pseudos fuscata), dan nuri pelangi (Trichoglossus haematodus),

Juga tempat hidup cenderawasih kuning kecil (Paradisea minor), cenderawasih bergaris dua belas (Seleucides melanoleuca), burung perisai seperti logam di dadanya (Ptiloris magnificus) juga burung langka dengan paruh putih berbentuk arit (Epimachus bruijnii).

Jenis mamalia yang ditemukan seperti marsupial, jenis codot (Dobsonia minor, Dobsonia moluccensis, Macroglossus minimus, Nyctimene aello Nyctimene albiventer, Paranyctimene sp., Pteropus macrotis, Pteropusneohibernicus, Rousettus amplexicaudatus dan Syconycteris australis), babi hutan (Sus scorfa). kanguru pohon  (Dendrologus inustus), walabi (Dorcopsis hageni), kuskus (Phalanger, spp.), bandikut kaki panjang (Echymipera ciara) dan spesies kalelawar.

Berikutnya, zona Sena Seke, merupakan bagian badan seorang ibu, terdapat payudara dan rahim kandungan. Hal ini pertanda, bahwa zona ini merupakan zona yang ideal untuk melangsungkan kehidupan, karena dekat dengan air susu dan kandungan. Pada zona ini, merupakan zona perladangan dan perburuan. Tanah yang subur untuk dusun-dusun dengan satwa buruan yang cukup banyak. Secara ekologis, letak zona ekologi ini pada ketinggian 200-750 mdpl.

Beberapa istilah dalam bahasa lokal untuk zona ini diantaranya Sena Seke (Hutan Sekunder), Seke (Bekas Kebun lama), Emi Seke (Bekas Kebun), Buzo (Bekas Kebun Baru), Yo Sena (Kampung Tua), Pauw (Dusun), Ayenekayenanou (Tempat Keramat).

Selanjutnya, zona Yo, berada pada bagian badan seorang ibu yang dekat dengan payudara dan kandungan. Zona ini merupakan zona yang ideal bagi Orang Tepra untuk melangsungkan kehidupan bersama kerabat keluarga sekampung dan meneruskan keturunan mereka. Zona ini terletak di tingkat elevasi yang lebih rendah dari zona Sena Seke, dimana terkadang bentang alam masih bersambung dengan zona sebelumnya.

Yo terletak pada ketinggian wilayah 0-200 mdpl, dimana terdapat pemukiman, Emi Seke, Pau, Buzo, Yo Sena, Pauw, Ayenekayenanou (Tempat Keramat), dan Kampung.

Zona terakhir adalah Nau, berada pada bagian pinggul hingga ke telapak kaki seorang ibu. Bagian ini merupakan bagian tabu dari seorang ibu, namun tempat ideal mencari makan. Orang Tepra diperkenankan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di zona ini untuk kebutuhan sehari-hari, tapi teralarang untuk menetap permanen di wilayah ini.

Pada zona ini tersedia lokasi menangkap ikan, udang dan lokasi mengumpulkan kerang-kerangan seperti Kepou, Yemo, Yepa Tu, Sena Sena, Kotu, Baiskalre, Muso Kotu, Dim Dim – Dam Dam, Ayenekayenanou (Tiyatiki).

Baca juga: Tarian Memikat Cendrawasih Botak Menaklukkan Pasangan

 

Ilustrasi Pembagian Zona Ekologi Tradisional Orang Tepra, studi kasus Kampung Dormena-Yewena di bagian utara Pegunungan Cycloop. Ref dok Richard Kalilago

 

Kesimpulan

Terdapat korelasi yang sangat kuat antara Orang Tepra dengan lingkungan alam di sekitarnya di Pegunungan Cycloop. Dari filosofi adat yang ada, Orang Tepra membagi zona wilayah adat menjadi ruang kelola sumberdaya alam.

Ruang kelola Orang Tepra mencakup 4 zona ekologi tradisional, yaitu Sena, Sena Seke, Yo dan Nau. Jika dicermati maka zona ekologi tradisional Sena, identik dengan zona perlindungan habitat bagi beragam jenis satwa.

Bagi Orang Tepra di ketinggian 800-1.000 mdpl memang tak bisa membangun pemukiman, dikarenakan tak ada area yang luas, sumber air yang sulit, dan kemungkinan bahaya longsoran cukup tinggi.

Begitu pula dengan area ketinggian 600-800 mdpl, Orang Tepra mengenal pembatasan. Meski di sini sumber air tersedia, namun wilayahnya tidak luas dan akses ke wilayah sulit.

Zona ekologi yang ideal untuk berkebun, dusun dan perkampungan berada di ketinggian 0-600 mdpl, di  zona ini, tersedia area yang luas, tanah yang subur, sumber air yang lebih mudah untuk diakses dan juga akses ke laut akan lebih gampang.

 

REFERENSI

  1. R. Mansoben, Essay dalam Jurnal Antropologi Papua, 2003. Konservasi Sumber Daya Alam Papua Ditinjau Dari Aspek Budaya
  2. R. Mansoben, Disertasi, 1995. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, LIPI Jakarta
  3. Malcolm Walker & J.R. Mansoben, Irian Jaya Cultures, An Overview, Dalam Bulletin Irian, Volume XVIII, 1990.
  4. Sri Nurani Kartikasari, Andrew J. Marshall dan Bruce M. Beehler, (Editor ): 2012. Seri Ekologi Indonesia, Jilid VI Ekologi Papua, Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Conservation International Jakarta, 2012
  5. Rudi Hilmanto Etnoekologi, Universitas Lampung, Bandar Lampung 2010
  6. Geoffrey Hope, January 2007. Palaeoecology and palaeoenvironments of Papua, Australian National University. 134 PUBLICATIONS 4,604 CITATIONS See discussions, stats, and author profiles for this publication at:
  7. Monnier l, J. Girardeau, M. Pubellier, M. Polvfi, H. Permana, and H. Bellon Petrology and geochemistry of the Cyclops ophiolites. (Irian Jaya, East Indonesia): consequences for the Cenozoic evolution of the north Australian margin. Mineralogy and Petrology (1999) 65:1-28
  8. Stephen J. Richards and Suer Suryadi Editors, 2002. Biodiversity Assessment of Yongsu – Cyclops Mountains and the Southern Mamberamo Basin, Papua, Indonesia, Conservation International
  9. Geoffrey Hope & Jim Tulip, 1994. A long vegetation history from lowland Irian Jaya, Indonesia Dalam Buletin Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology 109 (1994) 385-398.
  10. Heddy Shri Ahimsa Putra, 1994. Antropologi Ekologi : Beberapa Teori dan Perkembangannya, dalam Buletin Masyarakat Indonesia Tahun XX, No. 4 Universitas Gajah Mada
  11. USAID – LESTARI Landscape Cycloop, 2016. Survey dan Pemetaan Partisipatif Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Adat Pada Masyarakat Adat Tepra ( Tidak diterbitkan ).
  12. B Ratcliffe, 1984. Cagar Alam Pegunungan Cyclop / Dafonsoro Management Plan-WWF Irian Jaya.

 

 

* Richard Kalilago, penulis adalah peneliti independen dan pemerhati isu pengelolaan sumber daya alam berbasis adat. Penulis tinggal di Jayapura. In memoriam: Tulisan ini adalah bentuk penghargaan kepada mendiang istri penulis Maria F Suwae yang membangun pemahaman penulis pada zona ekologi tradisional Masyarakat Tepra di batas utara Cagar Alam Cycloop, Kabupaten Jayapura. Papua.

 

***

Foto utama: Pegunungan Cycloop, dilihat dari Kampung Nechiebe yang berada di pesisir Samudera Pasifik. Foto drone INFIS

 

Exit mobile version