Mongabay.co.id

Petani Sawit di Lampung Mulai Beralih ke Tanaman Beragam

Buruh tani perempuan sedang bersihkan tanaman singkong. Dulu kebun ini tanaman sawit. Foto: Dian Wahyu Kusuma

 

 

 

 

Perempuan-perempuan paruh baya ini siapkan caping, sarung tangan dan masker. Mereka sedang mengecek tanaman singkong di Desa Gunung Sugih Baru, Kecamatan Tegineneng, Kabupaten Pesawaran, Lampung, penghujung Maret lalu.

Kelima ibu-ibu ini kompak mencabut cabang tunas singkong yang banyak tumbuh, dan menyisakan satu batang saja. “Kalau cabangnya dicabut, nanti hasil bisa lebih banyak,” kata Purwati. Lahan ini dulu bekas tanaman sawit.

Wulan, Purwati, Heni, Katmiyati, dan Rebi, merupakan buruh tani perempuan. Setengah hari, mereka mendapat upah Rp30.000. Bila seharian bekerja, mereka mendapat Rp60.000, termasuk dapat snack dan kopi atau teh.

Untuk makan siang, para ibu ini membawa bekal sendiri dari rumah. Jarak lahan dari rumah mereka terbilang jauh. Mereka harus berkendara motor. Upah yang mereka dapat harus dikurangi biaya bensin.

Selama belum musim tanam padi, buruh tani perempuan bekerja di ladang, bersama suami mereka. Untuk penyiangan singkong seluas dua hektar seperti hari ini misal, mereka perlu waktu lima hari kerja.

Siang itu, Sigit Wahyudi, pemilik kebun mengawasi pekerjaan buruh perempuan tani ini. Sudah setahun ini, Sigit mengganti tanaman sawit jadi singkong di lahan dua hektar itu. Sigit juga mengganti sawit menjadi jagung.

Jagung yang dia tanam untuk pakan sapi ini bisa panen dalam dua bulan. Dalam 1,5 hektar, dia bisa mendapat keuntungan bersih Rp15 juta.

Sigit memutuskan menebang sawit karena perawatan kurang intensif menyebabkan produksi tidak lagi bagus. Pada 2018, tahun terakhir dia memanen sawit. Sekarang, Sigit fokus menanam jagung dan singkong.

 

Baca juga: Jalan Panjang Menuju Sawit Swadaya Berkelanjutan di Sintang

Sawit terserang jamur. Foto: Dian Wahyu Kusuma

 

Belum lagi, katanya, tanaman sawit sudah terserang jamur ganoderma. Dia pun memilih mengganti sawit yang berusia 24 tahun itu dengan jagung.

Radix Suharjo, peneliti hama dan penyakit dari Universitas Lampung, menuturkan, ganoderma ini sulit dikendalikan. Hingga kini belum ada metode yang benar-benar mampu mengendalikan jamur ganoderma ini.

“Jamur ini ibaratnya seperti kanker, sangat sulit terdeteksi pada saat serangan awal karena tanaman masih keliatan baik-baik saja,” katanya.

Saat gejala sudah muncul, katanya, biasa serangan sudah lanjut. “Kalau muncul di badan buah, serangan sudah sangat parah. Sangat sulit dikendalikan walaupun menggunakan fungisida dan kemungkinan besar tanaman akan mati.”

Sejalan dengan itu, data BPS Lampung menunjukkan produksi sawit terus menurun. Apakah ada korelasi dengan serangan jamur? Radix tak bisa memastikan. Meskipun begitu, untuk beberapa perkebunan perusahaan di Lampung, serangan ganoderma ini menimbulkan kerusakan dan kehilangan hasil cukup signifikan.

 

Nikmati hasil selain sawit

Harmi, bersama suaminya Kemis juga memutuskan menebang sawit dan ganti jagung. “Gak ada buahnya, sedikit, rak payu [tidak laku],” kata Harni, petani di Dusun 6, Desa Sidoluhur, Bangun Rejo, Lampung Tengah.

Di lahan setengah hektar itu, dia tanam 100 batang sawit. Dia jual batang sawit berumur 15 tahun kepada pembuat gula merah sawit. Sawit dihargai Rp20.000 per batang, atau Rp2 juta per 100 batang. Kala itu, harga sawit mencapai titik rendah Rp400 mendorong mereka beralih ke tanaman lain.

“Kadang dapat Rp70.000, Rp50.000 per 20 hari, jengkel.”

 

Baca juga: Gugat Aturan, SPKS Minta Tingkatkan Pemberdayaan Petani Sawit

Tanam sawit dan jagung. Foto: Dian Wahyu Kusuma

 

Harmi dan Kemis pernah mendapat harga baik saat sawit Rp1.500 per kg. Dia menikmati sampai rentang waktu satu tahun.

Kini, harga sawit kembali melonjak. Harmi tak ambil pusing. Dia bilang, tanaman jagung juga bisa menghasilkan rupiah. Kini, harga jagung pipilan kering Rp4.500 per kg. “Nyaman gak nyaman, ya nanam jagung.”

Dia juga tanam kacang hijau saat pergantian musim. Kalau lingkungan mendukung atau curah hujan baik, kacang hijau akan berbuah lebat.

Harga jual kacang hijau Rp15.000 per kg. Dia perkirakan bisa hasilkan sekitar Rp1 juta dari kacang hijau. Kalau kacang hijau tak berbuah, dia manfaatkan untuk pakan sapi.

Serupa dengan Hadi Susanto, Ketua Gapoktan Bangun Tani, Desa Bangun Sari, Kecamatan Bekri, Lampung Tengah. Sejak November 2020, kebun sawit seluas 2,5 hektar dia ganti dengan tebu. Sawit berumur sembilan tahun pun dia tebas.

Menurut Hadi, panen tebu bisa dalam 10 bulan sekali.

Dia sudah merencanakan panen tebu bisa jual untuk produksi gula merah tebu, atau bisa ke pabrik tebu lain di Bunga Mayang, Lampung Utara.

Hadi dapat informasi dari kawannya, produksi tebu bisa 70-120 ton per hektar dengan harga jual Rp500 per kg. “Pasarnya jelas dibandingkan sawit,” katanya.

Soal petani beralih komoditas dari sawit ini, kata Hadi, lebih melihat harga sebagai perbandingan.

Hadi masih punya 1,5 hektar kebun sawit di Rengas, Lampung Tengah, tak jauh dari rumahnya. Dia berharap, harga sawit stabil.

Ada yang mengganti kebun sawit dengan tanaman lain, ada juga yang sebagian tetap sawit dan lahan lain tanaman beda. Ada juga yang bertahan dengan sawit dengan berbagai masalah. Seperti Bambang, anggota Kelompok Tani Tani Mulya, Dusun 6, Desa Sidoluhur, masih menimbang antara menebang atau meneruskan sawit. Harga sawit saat ini lebih Rp2.000 per kg membua dia bimbang.

Selama ini, dia jarang rawat sawit insentif. Kini, dia mulai memberi pupuk dua kali setahun di kebun sawit seluas 2,25 hektar itu. Sekali pemupukan dan menebas rumput tanaman sawit berumur 15 tahun itu, dia menghabiskan dana Rp2,5 juta.

 

Sawit tua ditebang dan akan ganti tanaman lain. Foto: Lutfi Yulisa

 

Awalnya, dia ingin mengikuti program peremajaan sawit tetapi belum terealisasi. “Masih bertahan sawit karena kalau jagung perlu banyak tenaga,” katanya.

Dia pernah panen tiga ton sawit, paling rendah satu ton. Bambang juga sempat mengalami sawit terserang jamur, hingga tanaman ambruk.

Surono, Ketua Gapoktan Budiluhur Desa Sidoluhur, Kecamatan Bangun Rejo, Lampung Tengah menuturkan, rata-rata umur sawit sudah tua hingga produksi mulai menurun. Di desa itu, sawit mulai pada 1995.

Sebanyak 20 kelompok tani bernaung di Gapoktan Budiluhur. Di Desa Sidoluhur tercatat ada 35 hektar kebun sawit rakyat, Kecamatan Bangun Rejo sekitar 87 hektar.

Saat ini, program pemerintah peremajaan mulai tahap bajak lahan periode pertama. “Rencana bibit datang paling Agustus-September tahun ini.”

Petani berharap, dapat bibit sawit yang memiliki jenis pelepah lebih pendek. Bibit sawit pelepah pendek buah tak besar tetapi jumlah tandan lebih banyak. Sementara sawit berpelepah panjang buah bisa besar, tetapi tandan sedikit.

Dari data gapoktan, ada tiga petani beralih dari sawit ke tanaman lain. Alasan mereka, harga tak jelas, juga jamur sawit. Belyn lagi, katanya, obat pembasmi jamur ini belum ada yang efektif. Petani sawit ini berharap, harga sawit stabil pada kisaran Rp1.500-Rp2.000 per kg.

“Itu sudah sudah cukup asal jangan Rp1.000 ke bawah. Pernah dulu Rp300 per kg, gak masuk harganya sama biaya (tanam),” kata Surono.

 

 

Belum sejahtera

Irfan Tri Mursi, Direktur Eksekutif Walhi Lampung mengatakan, selama beberapa dekade ini belum tampak kesejahteraan bagi petani sawit rakyat.

Mereka yang sejahtera dari sawit itu, katanya, yang punya lahan 5-10 hektar. Petani sawit dengan lahan 1-2 hektar, hasil panen tidak sesuai biaya tanam.

Hasil pengamatannya, masalah sawit pada skala besar meliputi konflik lahan. Lalu, kedua lahan sawit yang besar mengganggu ekosistem karena boros air, satu batang sawit bisa mengonsumsi 15-20 liter air per hari. Bahkan, di wilayah konsesi membuka lahan sawit dengan dibakar.

“Ini jelas mengganggu kesehatan, dampak kebakaran,” katanya.

 

Sawit dinilai tak menjanjikan, ganti tebu. Foto: Dian Wakyu Kusuma

 

Buka kebun sawit skala besar dengan cara menbakar, katanya, jelas mengganggu kesehatan dan rawan kebakaran. Belum lagi, katanya, konversi hutan jadi sawit mendorong deforestasi dan mengancam kehilangan kekayaan hayati.

Selain persoalan di kebun, pabrik sawit juga berpotensi muncul masalah. Dia bilang, dari aktivitas pabrik sawit, ada indikasi pencemaran limbah penyulingan atau spent bleaching earth (SBE) yang masuk bahan berbahaya dan beracun (B3).

Dia bilang, monokultur bukan jawaban mencari sumber penghidupan tetapi dengan konsep agroforestri.

Dengan agroforestri, katanya, ada pengkayaan tanaman. Jadi petani tidak hanya berharap satu kali panen dari satu tanaman tetapi bisa beberapa kali dari beragam jenis.

Irfan menambahkan, saat ini perkebunan besar ada banyak problem. Pertama, konsesi skala besar banyak berkonflik dengan masyarakat. Kedua, sawit boros air mencapai 15-20 liter air per hari.

 

*Dian Wahyu Kusuma, jurnalis Lampung Post. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

 

******

Foto utama:  Buruh tani perempuan sedang bersihkan tanaman singkong. Dulu kebun ini tanaman sawit. Foto: Dian Wahyu Kusuma

Exit mobile version