Mongabay.co.id

Elang Jawa, Penguasa Langit yang Menghadapi Risiko Kepunahan

Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) di kandang edukasi Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK), Kabupaten Garut, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

 

Dalam sunyi rimba Taman Nasional Gunung Halimun Salak [TNGHS], Sukabumi, Jawa Barat, Prabu dan Ratu mendapatkan keturunan penguasa langit Jawa, awal April 2021 lalu.

Prabu dan Ratu adalah sepasang elang Jawa [Nisaetus bartelsi]. Anak dari sepasang garuda itu diberi nama Prawara, dalam Bahasa Sansekerta artinya paling terkemuka, sebagaimana dikutip dari situs KLHK.

Di TNGHS, sejak tahun 2015 hingga 2021 tercatat ditemukan 12 sarang aktif burung ini, yaitu 9 sarang di kawasan Gunung Salak dan 3 sarang di kawasan Gunung Halimun.

Elang jawa merupakan satwa endemik Pulau Jawa. Posisinya dalam siklus rantai makanan berada pada kategori pemangsa puncak. Hal ini mengindikasikan pentingnya fungsi elang jawa sebagai penjaga keseimbangan ekosistem alam.

Baca: Elang Jawa, Inilah Sosok Asli Sang Garuda

 

Elang Jawa. Foto: Harry Kartiwa/ Burung Indonesia

 

Berdasarkan penelitian Fadila Tamnge, Ida Ayu Ari Janiawati, dan Dini Ayu Lestari berjudul “Pendugaan Kelas Umur dan Parameter Demografi Populasi Elang Jawa” yang diterbitkan Institut Pertanian Bogor, dijelaskan bahwa elang jawa memiliki tiga kategori umur, yaitu juvenile [anak], sub adult/immature [remaja], dan adult [dewasa].

Umur membedakan ciri morfologinya. Pada anakan, cirinya warna kepala dan mahkota cokelat kayu manis, lingkaran mata abu kebiru-biruan, berbeda saat baru dilahirkan yaitu cokelat tua.

Elang jawa muda memiliki jambul, bulunya cokelat kemerahan pada wajah, dada, dan perut.

“Tengkuk, sayap, punggung, dan ekornya cokelat gelap. Matanya biru kemudian secara bertahap warnanya akan memudar menjadi kuning muda,” tulis Fadila dan kolega.

Elang jawa dewasa memiliki jambul cokelat kehitaman dengan warna putih pada ujungnya. Matanya berwarna kuning, sedangkan punggung, kepala, dan ekornya cokelat tua dengan ujung krem.

Uniknya, elang jawa dewasa betina memiliki ukuran tubuh lebih besar dan kekar dibandingkan jantannya.

Baca: Pertama Kalinya di Garuda Ini Dipasang Satelite Tracking

 

Elang jawa di kandang edukasi Pusat Konservasi Elang Kamojang [PKEK], Kabupaten Garut, Jabar. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Satu pasangan setiap kawin

Elang jawa memiliki laju reproduksi rendah dan proses dewasa kelamin yang lambat. Ia hanya bertelur satu butir setiap dua tahun sekali. Hal ini disebabkan masa pengeraman, perawatan anak di sarang, dan ketergantungan burung muda terhadap induk cukup lama.

Uniknya dalam urusan kawin, penguasa langit Jawa ini dikenal monogami, yaitu satwa yang hanya memiliki satu pasangan dalam setiap musim kawin.

Ia juga salah satu satwa yang memiliki sifat antagonistik dengan manusia. Hal tersebut terbukti dengan kecenderungan elang jawa dalam memilih preferensi habitat.

“Pada umumnya, habitat elang jawa sukar dicapai meski tidak selalu jauh dari lokasi manusia. Jenis ini sangat tergantung dengan keberadaan hutan primer sebagai tempat hidupnya,” tulis penelitian itu.

Walaupun demikian, beberapa kali ditemukan jenis ini menggunakan hutan sekunder untuk berburu mangsa. Namun, sering letak hutan sekunder tersebut dekat dengan hutan primer yang luas.

“Satwa ini soliter sehingga jarang ditemukan dalam kelompok besar. Elang jawa memiliki daya jelajah hingga 20-30 kilometer, sehingga penentuan jumlah populasinya cukup sulit dilakukan.”

Baca: Penurunan Populasi Satwa Dilindungi: Suramnya Nasib Penghuni Hutan Jawa

 

Elang Jawa. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Risiko kepunahan

Di Jawa Tengah, Gunung Merapi merupakan habitat elang jawa. Dari Jurnal Ilmu Kehutanan berjudul “Risiko Kepunahan Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional Gunung Merapi: Tinjauan Spasial” yang dibuat oleh Hero Marhaento, Lies Rahayu Wijayanti Faida [2015] dijelaskan bahwa, tingginya aktivitas vulkanik Gunung Merapi dan besarnya tekanan masyarakat terhadap kawasan menyebabkan keanekaragaman hayati di sekitar kawasan ini berisiko terancam punah. Termasuk burung endemik jawa tersebut.

Hero dan kolega melakukan analisis risiko menggunakan analisis spasial dengan perangkat lunak ArcGIS 10.1. Hasilnya diketahui bahwa kawasan Taman Nasional Gunung Merapi [TNGP] memiliki kawasan dengan tingkat risiko tinggi seluas 2185.6 ha [35, 6%], risiko sedang seluas 3910, 1 ha [63, 6%], dan risiko rendah seluas 49, 8 ha [0, 8%].

“Wilayah yang berisiko tinggi berada di wilayah Resort Pengelolaan Taman Nasional [RPTN] Dukun Kabupaten Magelang, RPTN Turi-Pakem Kabupaten Sleman, dan RPTN Kemalang Kabupaten Klaten,” tulis mereka.

Sementara itu, dari segi interaksi sosial elang jawa tergolong satwa yang rentan terhadap gangguan manusia. Terutama faktor perburuan liar dan perubahan alih fungsi hutan.

Tentu hal itu selain karena faktor alam erupsi Gunung Merapi yang menjadi ancaman bagi kelestarian keanekaragaman hayatinya.

“Penataan zonasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan pengelola taman nasional untuk melindungi potensi keanekaragaman hayati yang ada,” tulis laporan itu.

 

Elang jawa yang dipasangi satellite tracking dan dilepasliarkan kembali di Cagar Alam Gunung Picis, Ponorogo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Foto : Randy Kusuma

 

Zonasi merupakan pengaturan ruang-ruang di taman nasional yang memperhatikan aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. “Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membuat kantong-kantong pelarian satwa liar [refugee] termasuk jalur [koridor] pelariannya.”

Lokasi kantong-kantong satwa dapat dipilih pada habitat yang sesuai dan memiliki tingkat risiko kepunahan keanekaragaman hayati rendah. Blok hutan Gunung Bibi dan blok hutan Turgo merupakan dua lokasi yang direkomendasikan sebagai lokasi pelarian satwa liar.

Di lokasi tersebut juga dapat ditunjuk sebagai lokasi pengembangan tanaman koleksi yang bernilai konservasi tinggi untuk menjaga eksistensi keanekaragaman hayati di TNGM.

Elang jawa merupakan jenis satwa liar dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Berdasarkan IUCN, statusnya Genting [Endangered]. Berdasarkan data BirdLife International, populasinya diperkirakan sebanyak 300-500 individu dengan tren mengalami penurunan.

 

 

Exit mobile version