Mongabay.co.id

Kekah, Satwa Endemik Natuna Kian Terancam Punah

 

 

 

 

Sekeliling kedua bola mata satwa ini ada lingkaran bulat berwarna putih. Bulu rambut kepala hewan ini tegak berdiri dengan dominasi warna putih dan abu-abu, hingga warna coklat.

Bagian badan seperti tubuh monyet biasa. Ia terkenal pemalu. Kekah Natuna (Presbytis natunae), itulah nama satwa endemik Natuna, Kepulauan Riau (Kepri) ini.

“Sekitar 10 tahun lalu kita masih sering melihat kekah berkeliaran di hutan belakang Kantor Bupati Natuna, sekarang tidak ada lagi,” kata Yanto, warga Natuna bercerita kepada Mongabay, baru-baru ini.

Dikutip dari Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB, kekah merupakan hewan primata langka hanya ada di Pulau Natuna, tepatnya di Bunguran Besar, Kabupaten Natuna.

Primata ini tersebar di beberapa tipe dan ketinggian hutan. Habitat yang dihuni kekah antara lain hutan primer pegunungan, hutan sekunder, kebun karet tua, dan daerah riparian. Ia juga ditemukan bersinggungan dengan hutan mangrove dan kebun campuran.

Boy Wijanarko, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Natuna, mengatakan, kekah salah satu satwa endemik Natuna dan sudah ditetapkan melalui Surat Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Universitas Indonesia (UI) sudah pernah penelitian di Natuna. Hasilnya menyebutkan, masih ada belasan ribu kekah di Pulau Natuna. “Itu penelitian 2003,” katanya.

Karakter primata ini, kata Boy, sangat pemalu. Ia akan lari kalau bertemu manusia. Berbeda daripada monyet lain yang lebih banyak mendekat kepada manusia.

 

 

Selama ini, belum ada penelitian khusus dari DLH Natuna soal satwa endemik satu ini. Dia bilang, keterbatasan anggaran.

Dari riset Universitas Indonesia pada 2003 masih ada puluhan ribu. Kini, diduga jauh menurun. Satu indikasi, sudah jarang menemukan kekah ini. “Sekarang, pengamatan saya hanya tinggal antara 5.000-7.000 saja,” prediksi Boy.

Kekah Natuna juga masuk dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN). Organisasi persatuan internasional untuk konservasi alam dan sumber daya alam ini memasukan kekah dalam status rentan punah atau vulnerable (VU).

IUCN merilis ancaman kekah antara lain, pembangunan kawasan perumahan, komersial, pertanian, akuakultur, pemburuan, dan penebangan kayu. Selain itu, tidak ada konservasi di Natuna.

IUCN menyebutkan, perlu tindakan konservasi seperti perlindungan situs, pengelolaan spesies, maupun penegakan hukum. Juga perlu penelitian populasi, sejarah, ancaman, dan penelitian tren populasi.

Penyebab ancaman punah kekah Natuna juga terdapat dalam penelitian tahun 2020 berjudul “Conservation Status of Natuna Leaf Monkey (Presbytis natunae)”. Penelitian yang didanai Primate Conservation Inc. dan Yayasan SwaraOwa ini menyebutkan, ada dua penyebab kekah Natuna terancam punah.

Pertama, hilang dan rusak hutan di Natuna. Karena hutan merupakan habitat utama kekah dan satwa liar lain. Luas hutan di Pulau Natuna mengalami penurunan, antara lain karena alih fungsi menjadi area terbangun dan lahan pertanian maupun perkebunan masyarakat.

Data Global Forest Watch menunjukkan, kurun waktu 10 tahun terakhir, Pulau Natuna kehilangan sekitar 15% tutupan hutan primer.

Kedua, penangkapan di alam untuk perdagangan sebagai binatang peliharaan. Kekah merupakan primata cantik dan lucu hingga sebagian orang tertarik memelihara. “Selama survei, setidaknya kami menjumpai empat kekah yang dipelihara masyarakat,” kata Kasih Putri Handayani, peneliti kepada Mongabay.

Selain dua penyebab itu, Putri dan dua peneliti lain, Kurnia Latifiana dan Ika Yuni Agustin menemukan sebagian masyarakat menganggap kekah sebagai hama. Saat musim buah tiba, kekah sering mendatangi kebun buah dan mendahului pemilik kebun untuk “panen” buah masak.

Kekah juga sering memasuki lahan pertanian yang berdampingan dengan hutan, dan memakan sayur dan buah petani. Bagi petani karet, kekah dianggap hama karena seringkali memakan dan merusak karet muda.

“Menyikapi itu, sebagian besar masyarakat hanya menghalau kekah menjauh dari kebun dan lahan pertanian,” kata Putri.

 

Hutan Natuna, berubah ke berbagai fungsi hingga ruang hidup kekah makin terdesak. Foto: Yogi Eka S/ Mongabay Indonesia

 

Penelitian itu juga merekomendasikan untuk mengatasi ancaman punah hewan endemik di Natuna, seperti upaya konservasi jauh lebih efektif melibatkan para-pihak baik instansi pemerintah, masyarakat, praktisi konservasi dan pihak lain.

Beberapa upaya harus dilakukan untuk konservasi kekah Natuna seperti, peningkatan kesadartahuan masyarakat akan status konservasi dan nilai penting kekah, maupun konservasi habitat eksisting.

Hingga kini, katanya, tidak ada kawasan konservasi di Natuna. “Rencana pembangunan yang berdampak pada kehilangan dan penurunan kualitas habitat, perlu menentukan area prioritas untuk konservasi habitat yang melibatkan dari berbagai pihak terkait,” kata Putri.

Dia bilang, seiring pengembangan wisata daerah, ada peluang mengembangkan wisata minat khusus yakni primate watching. Melalui primate watching ini, pengunjung diajak melihat primata asli Natuna sebagai upaya menumbuhkan perhatian dan kepedulian.

Letak geografis Natuna yang dekat dengan negara tetangga, dengan keindahan alam, serta keragaman budaya, menjadi modal dasar promosi konsep wisata minat khusus ini.

Kalau berjalan baik, katanya, primate watching dapat satu strategi konservasi kekah sekaligus sumber pendapatan masyarakat. “Tentu saja ini membutuhkan usaha lebih dan energi tidak sedikit,” kata Putri.

Boy membenarkan beberapa faktor penyebab populasi kekah makin berkurang. Dia juga menemukan, marak praktik perburuan atau penangkapan untuk dijual keluar dari Natuna. “Bahkan itu melalui jalur (ilegal) kapal-kapal kecil nelayan, saya pernah jumpa kekah di Batam dan Tanjungpinang,” kata Boy.

 

 

Kebun binatang?

DLH Natuna, katanya, sedang mengalokasikan anggaran membuat kebun binatang mini (mini zoo) untuk konservasi kekah di Natuna. Satu kawasan yang sudah tersedia adalah hutan di belakang Kantor Bupati Natuna, Jalan Bukit Arai, Sisir, Kecamatan Batu, Natuna.

“Kita bisa buat semacam ruang terbuka, jadi obyek wisata menarik. Selama ini wisatawan susah mencari kekah di Natuna.”

Rencana itu, kata Boy, diawali dengan penelitian bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). “Kita akan melihat populasi, kondisi habitat, dan lain-lain. Kita (DLH) belum bisa penelitian karena keterbatasan anggaran.”

Boy mengatakan, akan terus mengawasi perubahan peruntukan hutan seperti untuk jalan, dan lain-lain. “Saya tetap wanti-wanti kalau pembukaan jalan, daerah hutan kekah jangan dibabat.”

Kepulauan Natuna, terletak di perairan antara Semenanjung Malaysia, Kalimantan, Vietnam dan Kamboja. Di gugusan Kepulauan Natuna ini Pulau Natuna atau Bunguran Besar dengan luas sekitar 172.000 hektar, dengan panjang 65 km dan lebar 45 km.

Beberapa satwa lain juga ada di pulau ini. Ada kukang (Coucang natunae) dan kera ekor panjang (Macaca fascicularis pumila). Beberapa jenis satwa langka seperti dugong, penyu belimbing (Dermochelys coreacea), dan buaya muara (Crocodilus porosus) juga ada di Pulau Natuna.

 

 

****

Foto utama: Kekah Natuna. Foto: Yogi Eka S/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version