Mongabay.co.id

Ridwan dan Cerita di Balik Rimbun Mangrove Pantura di Ambulu

 

Bagi Ridwan (47) bekerja bukan hanya buat memenuhi kehidupan sehari-hari, tapi bagian dari refleksi tentang kehidupan itu sendiri. Dari kediamannya di Desa Ambulu, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, Ridwan mencoba mencapai asa yang dia cita-citakan.

“Kemiskinan bukan karena malas, tak mau kerja keras, atau tak mempunyai etos kerja. Kemiskinan di negara ini lebih karena faktor struktur eksploitatif yang dibuat manusia, baik struktur ekonomi, sosial, maupun politik,” ungkap Ketua Pembela Tanah Ambulu ini, saat ditemui Mongabay-Indonesia beberapa waktu lalu.

Lahir, tumbuh dan berkembang di wilayah pesisir Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat, dia amat mafhum kerasnya kehidupan sebagai wong pesisir. Apalagi soal hitung-hitungan pendapatan. Tapi, patokannya bukan untung rugi.

“Di sini ngikut falsah Jawa, nguripi urip (menghidupkan hidup),” tuturnya.

 

Ridwan (47), Ketua Pembela Tanah Ambulu di Desa Ambulu, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. Dia berjuang untuk merawat dan melestarikan mangrove yang ada. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

 

Di Balik Kekhawatiran Derap Perubahan

Dia lalu cerita bagaimana budaya lokal telah membentuk karakter masyarakat. Di setiap musim tandur padi, pemilik sawah tak perlu pusing mencari tenaga. Orang sekampung akan berebut membantu, karena saat panen mereka tahu akan punya jatah padi yang mereka telah tanam. Dengan cara seperti ini, buruh tani yang tak punya sawah terjamin bisa punya beras.

Semua berkah ini, jelas Ridwan tak lepas karena ekologi di Ambulu. “Kami punya mangrove yang cukup baik. Intrusi air laut tak begitu dominan.”

Hasil laut pun jadi rezeki buat orang-orang pesisir ini. Saat musim angin barat tiba, para nelayan Ambulu bisa melaut dan pulang membawa uang minimal Rp 150.000 per hari.

Di desa ini ada pengupasan rajungan beromzet Rp 1,2 milyar per minggu. Rajungan diekspor ke luar negeri.

Ada juga petambak bandeng yang bisa panen 600 kilogram per hektar. Sisanya adalah usaha petani garam, yang jika dikumpulkan dari gubuk-gubuk garam milik mereka bakal mampu menghasilkan 5.000 ton garam tiap tahunnya.

Dari semua hitungan kasar itu, Ridwan menyebut, semua mematahkan anggapan ekonomi orang-orang yang bilang kalau Ambulu adalah wilayah terbelakang. Dia menentang dalih jika industrialiasasi adalah jawaban, karena dari data ekonomi versi pemerintah desa-desa di 4 kecamatan, termasuk Ambulu ,masuk zona tak produktif.

“Di situ kadang saya heran,” katanya menggelengkan kepala,

“Kok mereka punya data yang gak sesuai faktanya. Mbok ya mestine wajib bener sesuai realitas karena iki menyangkut penghidupan rakyatnya, gitu loh.

Kini Ambula diperhadapkan dengan perubahan. Bukan tentang cuaca, paceklik, dan seterusnya. Melainkan industrialisasi di wilayah Cirebon Timur seluas 10.000 hektar. Pikir Ridwan, ini bakal mengorbankan merugikan lingkungan.

 

Foto udara kawasan mangrove di Desa Ambulu, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Paradigma pembangunan yang mengejar ekonomi yang mungkin buat para pembuat kebijakan seakan lupa saat memutuskan mana yang terbaik buat penghidupan rakyat.

Wilayah pesisir memang tempat paling strategis sedari dulu kala. Mazhab ekonomi pertumbuhan, -yang dianut sejak era Orde Baru, lebih kerap menampilkan muka penggusuran bagi aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat lokal.

Wajah modernisasi lebih memilih industrialisasi berskala korporasi, alih-alih berbasis ekonomi kerakyatan.

Berdasarkan data yang dihimpun, dari total 54 kilometer panjang pesisir Cirebon yang membentang hingga ke perbatasan Brebes, Jawa Tengah, kini hanya tersisa 4,5 kilometer yang masih tertanami mangrove. Dari jumlah itu, sekitar 2 kilometer di antaranya ada di kawasan Desa Ambulu.

Isu ekosistem pesisir sebetulnya tak lagi sekadar manfaat fisik ekosistem mangrove. Tak lagi sekadar peningkatan ekonomi lokal atau bagaimana mangrove menahan erosi dan ancaman gelombang tinggi serta tsunami. Namun, ekosistem ini diketengahkan seiring isu perubahan iklim. Ada komitmen negara di sana.

Ridwan berteori, karena lokasi Ambulu yang dekat dengan poros utama jalan Pantura, agaknya ini menarik Pemerintah untuk menghidupkan kembali kota-kota sepanjang eks De Grote Postweg (Jalan Raya Pos) yang diawali oleh Daendels ini. “Infrastrukturnya sudah siap,” cetusnya.

Semua ekonomi sekarang didorong ke wilayah bekas Karesidenan Cirebon dan sekitarnya. Pembangunan Bandara Kertajati dan Pelabuhan Patimban menjadi bukti. Kehadiran proyek berlabel strategis nasional itu lalu digadang-gadang bakal menciptakan kawasan metropolitan baru.

 

Ridwan tak segan untuk terjun merawat tanaman mangrove untuk menghijaukan pesisir pantura Cirebon. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Berjuang untuk Mempertahankan Ruang Hidup

Cerita warga Ambulu adalah cerita tentang perjuangan memperjuangankan ruang hidup. Tanah bukan hanya sepetak pekarangan atau material semata. Tanah dan lingkungan  dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya prinsipil. Harga diri.

Luas Desa Ambulu 1.200 hektar. Dimana 800 hektar merupakan area penghidupan warga. Sisanya, 400 hektar adalah permukiman. Adapun luasan hutan mangrove di Ambulu tak lebih dari 20 hektar. Meski kecil, masyarakat secara swadaya konsiten menanam bakau. Menanam sebagai bentuk eksistensi jati diri.

Ketakutan dan kekhawatiran akan kehilangan wilayah kelola sebagai ruang hidup ini yang lalu mendorong warga saling menguatkan. Warga enggan terusir dari tanah ulayatnya sendiri.

Terlebih, -nyaris 8 tahun, mereka diteror makelar mencari tanah di sana. Kadang mengitimidasi warga agar mau menjual tanah mereka.

“Kami jelas menolak industrialisasi [yang merugikan warga lokal] di pesisir,” kata Ridwan.

Ridwan lalu menunjuk Kabupaten Karawang yang memiliki kesamaan geografis. Setelah industrialisasi di sana, yang luasnya sekitar sepertiga luas kabupaten, kemiskinan tak juga beranjak. Padahal wilayah itu menyandang titel lumbung pangan nasional.

Pemiskinan masyarakat di sekitar area industri adalah potret nyata yang tak bisa diingkari, katanya. Begitu juga dengan acuan standar kemakmuran yang acapkali semu.

Padahal instrumen ekonomi hanya salah satu bentuk indikator. Masih banyak yang lain. Semisal, keterkaitan kehidupan sosial, spiritual, agama, dan kultural seperti yang telah dihayati masyarakat asli.

Alam lingkungan juga harusnya tak lalu diabaikan. Sebab, kehidupan manusia ditopang oleh alam. Tanpa alam yang sehat mustahil manusia masih bisa terus membangun dan berkembang.

Bicara dengan Ridwan, memang seakan kita diajak melakukan refleksi atas struktur ekonomi yang membentuk masyarakat.

 

Saung Literasi yang didirikan oleh Ridwan sebagai pendidikan non formal bagi anak usia dini. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Milan Kundera, dalam buku The Book of Laughter and Forgetting, mengingatkan bahwa, “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.”

Mungkin karena itu, Ridwan lalu memutuskan mengundurkan diri dari perangkat desa. Dia memilih menjadi warga biasa.

Setelah itu dia tergerak mendirikan sekolah mangrove. Ia berkeinginan anak-anak mencintai lingkungan sedini mungkin. Bersama mitra kerjanya Jabo (27), dia menginisiasi Saung Literasi. Tujuannya agar generasi milenial di desanya paham akan pentingnya berbudaya.

“Karena hilangnya budaya berawal dari kehilangan ruang hidup,” imbuhnya.

Ridwan menolak diam. Makanya, dia tetap kukuh menafsirkan ilmu ekonomi sebagai ilmu yang absurd. Kalkulasinya tidak hanya bikin pusing tapi, memang bikin murung.

Agaknya, -benar kata Ridwan. Kemiskinan di negara ini lebih karena faktor struktur eksploitatif yang dibuat manusia, baik struktur ekonomi, sosial, maupun politik. Mungkin karena itu dia memilih berjuang.

 

***

Foto utama: Ridwan di tengah rimbunan mangrove. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version