Mongabay.co.id

Perhutanan Sosial ASEAN dan Ketahanan Ekonomi Lokal di Masa Pandemi

Negara-negara ASEAN merupakan wilayah yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup pada kawasan hutan. Ada 300 juta populasi yang tinggal di kawasan pedesaan, dengan hampir 140 juta populasi hidup bergantung pada hutan, sebagai sumber pendapatan, sumber nutrisi dan ketahanan pangan.

Besarnya ketergantungan dan luas kawasan hutan di Asia Tenggara menempatkan hutan sebagai bagian vital dalam pengembangan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.

Luas total kawasan hutan Asia Tenggara lebih dari 245 juta hektar, atau 56 persen total wilayah,  dengan 204 juta hektar merupakan kawasan tutupan hutan, atau sekitar 47 persen dari luas wilayah.

Topografi dan kondisi geografis wilayah demikian, membuat kawasan Asia Tenggara kaya akan sumber daya alam, kawasan hutan, mangrove, sungai dan lahan basah/rawa, dan tingginya tingkat biodiversiti (FAO, 2011).

Hutan ASEAN merupakan rumah bagi produk ekonomi potensial hasil hutan bukan kayu terbesar di Asia, meliputi rotan dan bambu, tanaman obat, minyak esensial, resin, kacang pinus, jamur, rempah-rempah dan tumbuhan (terutama kapulaga dan kayu manis), pakan ternak, produk hewani, dan madu.

Meski demikian, namun faktanya negara-negara ASEAN tengah menuju arah sebaliknya. ASEAN dihadapkan pada persoalan pertumbuhan ekonomi yang meningkat cepat, tingginya pembukaan lahan pertanian dan eksploitasi sumber daya alam, peningkatan populasi, yang berkontribusi terhadap deforestasi dan degradasi hutan di seluruh kawasan ASEAN (FAO, 2011).

Baca juga: Hasil Studi Banding: Potensi Rotan Melimpah, Keterampilan Rendah

Produk kerajinan rotan yang diolah menjadi bahan kerajinan. Rotan adalah tanaman hutan yang selama ribuan tahun dibudidayakan oleh masyarakat di Asia Tenggara. Dok: Jusupta Tarigan

 

Perhutanan Sosial di ASEAN

Kebijakan populis yang berkembang di negara-negara ASEAN adalah untuk mendukung pengelolaan hutan dan peningkatan ekonomi masyarakat melalui skema perhutanan sosial atau hutan kemasyarakatan (social forestry/community forest).

Skema Perhutanan Sosial sendiri di ASEAN berawal dari tahun 1970-an. Saat ini, negara-negara ASEAN yang telah mengadopsi penuh skema perhutanan sosial di dalam kebijakan nasional masing-masing negara, adalah Kamboja, Indonesia, Myanmar, Philipina dan Vietnam.

Adapun negara-negara seperti Laos, Malaysia, dan Thailand belum mengakomodir regulasi dalam kebijakan nasional. Malaysia menerapkan model partisipasi komunitas di wilayah konsensi perusahaan, sementara Laos dan Thailand memberi mandat pada masing-masing kementerian untuk memasukkan program pengelolaan hutan pada rencana kerja.

Secara institusional negara-negara ASEAN telah membentuk Kelompok Kerja Perhutanan Sosial ASEAN (AWG-SF) yang berfokus pada pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan berkelanjutan. Idealnya, kuatnya daya soliditas dan rencana aksi ini dapat menjadi modal sosial peningkatan ekonomi komunitas dalam menjaga hutan, dan meminimalisir dampak dari perubahan iklim.

Pada perkembangan terkini, pertumbuhan luas kawasan perhutanan sosial ASEAN hingga tahun 2017 telah mencapai 10.078.435 ha (RECOFTC & AWG-SF, 2017). Selain kebijakan negara, maka NGOs dan lembaga donor sangat berperan penting untuk memacu pertumbuhan luas perhutanan sosial di ASEAN.

Baca juga:  Ada Gairah Budidaya Jernang di Kaki Leuser

Mangrove di pesisir Pantura Cirebon. Menjaga hutan lewat perhutanan sosil mendukung resilensi warga lokal. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Perhutanan Sosial di Masa Pandemi

Tak bisa diabaikan, Pandemi COVID-19 telah menjadi pukulan telak bagi seluruh negara di dunia. Di tataran masyarakat ia menjadi pukulan telak bagi komunitas masyarakat lokal. Tidak terkecuali masyarakat pengelola perhutanan sosial.

Pembatasan skala besar, dan kebijakan lockdown membuat arus dan aliran masuk produk sumber daya hutan menjadi terhambat. Kegiatan usaha dan ekonomi masyarakat tidak bisa dilakukan secara masif, ada pembatasan, dan aturan.

Dalam rilis hasil penelitian oleh RECOFTC (The Regional Community Forestry Training Center for Asia and the Pacific) selama Juni-Juli 2020, di Kamboja, Indonesia, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam, dan Nepal, diketahui bahwa kondisi pandemi adalah kondisi sulit dalam mengembangkan potensi dan bisnis komoditi berbasis hasil hutan.

Tiga juta masyarakat di wilayah hilir Sungai Mekong dapat bertahan selama fase pertama lockdown, dengan menggantungkan pada tabungan penjualan hasil hutan kayu dan non-kayu. Namun, sebagian besar merasakan kesulitan, karena adanya penurunan mata pencaharian dan ketahanan pangan, akibat pembatasan besar-besaran selama masa lockdown.

Dalam hal ini, dukungan dari negara, khususnya sektor keuangan dianggap sebagai solusi untuk mengatasi dan membangun kehidupan yang lebih baik pasca pandemi.

Mengacu kepada penelitian RECOFTC & AWG-SF (2017), sebenarnya negara-negara ASEAN telah memiliki visi besar tentang sektor pangan, pertanian dan perhutanan di tahun 2015. Namun, hal ini belum mampu menjawab bagaimana bentuk resiliensinya terhadap dukungan bagi komunitas lokal.

Di masa pandemi hal ini, integrasi ekonomi regional melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC) belum menjawab kemudahan akses pasar bagi komunitas lokal.

Hal ini didorong dari implikasi dari AEC pada sektor kehutanan, perikanan dan sektor pertanian yang sangat kompleks. Terbukanya pasar ASEAN secara bebas membuka peluang meningkatnya impor produk-produk murah. Kebijakan ini berdampak pada petani skala kecil dan komunitas masyarakat pengelola perhutanan sosial yang mesti berjuang menghadapi serbuan produk impor yang lebih murah.

Padahal seharusnya inisiatif AEC perlu dibarengi dengan adanya insentif baru bagi komunitas untuk menguatkan produksi komoditas pertanian, seperti kopi, coklat, sayuran dan buah-buahan, begitupun dengan komoditi hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu.

Dalam kondisi terbatasnya arus perdagangan akibat pandemi COVID-19, stimulus keuangan yang difokuskan pada program padat karya di tiap negara menjadi salah satu pilihan rasional bagi negara ASEAN untuk mendukung rencana strategis sektor pertanian, perhutanan, dan pangan.

Indonesia misalnya, KLHK telah menganggarkan Rp1,01 trilyun yang ditujukan untuk membantu pengelolaan kawasan Perhutanan Sosial di tingkat komunitas. Dana ini juga ditujukan untuk meredam dampak di tingkat komunitas pengelolaan terhadap pandemi yang terjadi. Semoga langkah ini juga diikuti oleh negara ASEAN lainnya.

 

Referensi:

RECOFTC and AWG-SF. 2017. Social forestry and climate change in the ASEAN region: Situational analysis 2016. Bangkok, RECOFTC – The Center for People and Forests.

FAO. 2011. Southeast Asian forests and forestry to 2020. Subregional report of the Second Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Rome.

 

* Nabhan Aiqani, penulis adalah Spesialis Pengelola Pengetahuan KKI Warsi. Artikel ini adalah opini penulis.

 

Exit mobile version