Mongabay.co.id

Pulihkan Bumi Harus dengan Aksi Nyata

Pohon tidak hanya bermanfaat bagi kehidupan manusia tetapi juga untuk kehidupan satwa, lingkungan kita, dan alam semesta. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Usia Planet Bumi yang kita tinggali ini diperkirakan mencapai 4,5 miliar tahun. Namun, baru pada 1970 lahir inisiatif untuk memperingati Hari Bumi. Sementara itu, lebih dari tiga dekade terakhir bumi mengalami berbagai tekanan. Mulai ancaman perang nuklir, polusi, deforestasi, pandemi, hingga perubahan iklim.

Para ahli telah memperingatkan semua pihak, bersama-sama menjaga bumi agar tidak mengalami kenaikan suhu, sekitar 1,5 derajat Celcius. Target itu bakal menjadi salah satu yang dibahas pada United Nations Climate Change Conference [COP26] November mendatang di Glasgow, Skotlandia.

Bersamaan dengan Hari Bumi, pada 22 hingga 23 April lalu diselenggarakan Pertemuan Para Pemimpin Dunia untuk Iklim yang diselenggarakan secara virtual. Bertindak sebagai tuan rumah adalah Presiden Amerika Joe Biden. Pertemuan itu disiarkan langsung melalui internet yang bisa disaksikan semua pihak.

Ada 40 pemimpin dunia diundang, Presiden Indonesia Joko Widodo menjadi salah satu di antaranya. Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi menyampaikan tiga pemikiran terkait masalah perubahan iklim.

Pertama, keseriusan Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia melakukan aksi-aksi nyata. Kedua, Presiden mengajak para pemimpin untuk memajukan pembangunan hijau. Ketiga, Presiden memandang kemitraan global harus diperkuat. Kesepahaman dan strategi perlu dibangun untuk mencapai net zero emission menuju UNFCCC COP-26 Glasgow.

“Kami sedang melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 620 ribu hektar sampai 2024, terluas di dunia dengan daya serap karbon mencapai empat kali lipat dibanding hutan tropis. Indonesia terbuka bagi investasi dan transfer teknologi, termasuk investasi untuk transisi energi,” jelasnya, dikutip dari situs Kementerian Sekretariat Negara.

“Perubahan iklim masalah kami juga. Masalah generasi kita, yang harus diatasi sekarang. Ada banyak isu di luar sana, yang menantang. Tapi perubahan iklim merupakan isu yang paling besar. Kemarin menjadi momen penting untuk dilihat, di mana para pemimpin dunia bertemu dan mencoba mencari cara mengatasi masalah ini,” kata Jason Seuc, Wakil Direktur Kantor Lingkungan Hidup, USAID mengomentari pertemuan para pemimpin dunia itu.

Jason Seuc bersama Alison Behling, Science and Technologi Officer Kedutaan Besar Amerika, menjadi pembicara dalam Bincang Alam Mongabay Indonesia, bertema “Hari Bumi 2021: Memulihkan Bumi Kita”pada Jumat [23/4/2021].

Baca: Bumi dan Ekosistem yang Sehat untuk Kehidupan Manusia

 

Pohon tidak hanya bermanfaat bagi kehidupan manusia tetapi juga untuk kehidupan satwa, lingkungan kita, dan bumi tempat kita hidup. Lalu, kenapa manusia justru menebangnya? Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Hari Bumi

“Pada 1970, ada senator bernama Gaylord Nelson. Di antara banyak orang, dia memiliki perhatian pada masalah lingkungan di berbagai wilayah dengan beragam masalah. Misalnya polusi air, sampah beracun, satwa liar terancam, limbah, juga masalah yang berhubungan dengan alam dan kesehatan manusia,” kata Alison, menerangkan asal mula Hari Bumi.

Nelson menginginkan ada satu kegiatan yang membangkitkan kesadaran penduduk bumi atas masalah-masalah lingkungan. Senator dari Wisconsin itu mengawalinya dengan memberi kuliah di kampus-kampus.

“Cukup lucu, dia memilih tanggal 22 April karena itu di antara spring break dan akhir semester, sehingga masih banyak mahasiswa di kampus. Selain itu, 22 April jatuh pada Rabu, sehingga mahasiswa juga masih banyak di sana,” kata perempuan yang berasal dari Morgantown, West Virginia, yang belum lama bertugas di Indonesia ini.

Seorang aktivis bernama Denis Hayes dilibatkan dalam rencana itu. Menurut earthday.org, Hayes kemudian membentuk kepanitiaan berjumlah 85 orang untuk menyebarluaskan gagasan itu ke berbagai kampus, organisasi, dan komunitas. Kegiatannya kemudian mendapat perhatian media massa. Pada waktu itu sekitar 20 juta warga Amerika turun ke jalan, berkumpul di taman dan gedung untuk menyuarakan keprihatinan dampak industri atas kesehatan manusia.

Menyusul kesadaran yang makin luas atas masalah lingkungan, terbitlah berbagai aturan. Alison mengungkapkan, pada tahun yang sama lahir US Environmental Protection Agency. Juga aturan dasar yang sampai sekarang tetap penting di AS, seperti UU Pendidikan Lingkungan Nasional, UU Udara Bersih, UU Air Bersih, UU Satwa yang Terancam Punah, dan UU mengenai Insektisida, Fungisida, dan Pembasmi Hewan.

Selanjutnya, pada 1990 sejumlah organisasi lingkungan meminta Denis Hayes kembali mengorganisasi kampanye besar untuk bumi. Hari Bumi kemudian mengglobal, yang melibatkan 200 juta orang, diikuti 141 negara. Dua tahun kemudian, lahir KTT Bumi di Rio de Janeiro yang dihelat PBB. Menurut situs resminya, Hayes kemudian diganjar penghargaan Presidential Medal of Freedom oleh Presiden Bill Clinton, yang merupakan penghargaan tertinggi untuk warga sipil di AS, atas dedikasinya dalam mewujudkan Hari Bumi.

“Tema Merestorasi Bumi kali ini dipilih karena memperkuat kesadaran bahwa kita semua harus bekerja sama, dalam lingkungan kecil, keluarga, dan teman terdekat, untuk menghadapi beberapa masalah besar terkait penderitaan ekosistem yang dialami bertahun-tahun. Merestorasi bumi bagi beberapa orang juga berhubungan dengan gagasan merestorasi diri sendiri, masyarakat, dan ini sejalan dengan masalah yang dihadapi dunia setahun terakhir dengan pandemi,” ungkap Alison.

“Di beberapa bagian dunia, masih ada yang menderita atas pandemi ini. Kita melakukan banyak hal untuk mendorong agar orang dan masyarakat sembuh. Adalah penting untuk melakukan hal yang sama dalam semangat komunitas, membantu memulihkan air, hutan, dan udara,” tambahnya.

Kini Hari Bumi melibatkan sekitar satu miliar orang, di 190 lebih negara. Hari Bumi menjadi perayaan terbesar non-keagamaan yang diikuti penduduk bumi.

Alison mengaku tertarik dengan alam, karena lahir dari keluarga saintis. Kedua orang tuanya adalah geologis. Ayahnya beberapa kali pergi ke Antartika, dan melakukan penelitian di sana. Sementara ibunya memiliki beberapa penelitian di Amerika.

“Mereka selalu berbagi kecintaan pada alam, ekosistem, dan membagikan kesadaran bagaimana kompleks dan betapa cantiknya semua ini. Saya tumbuh dengan semangat itu. Saya juga tumbuh di negara bagian yang indah,” ujar Alison yang juga terinspirasi oleh Sylvia Earle, seorang ahli biologi kelautan Amerika.

Alison menerangkan, Sylvia Earle membuat prestasi penting sepanjang karirnya. Dia orang pertama terpilih menjadi Pahlawan Planet oleh Majalah Time pada 1998. Dia juga dikenal sebagai oceanografer dan aquanot, sebutan lain untuk astronot tapi di laut.

“Sampai kini dia masih memberikan kuliah, menjadi pembicara, dan membawakan materi pentingnya melestarikan lautan, mengurangi plastik, polusi di lautan. Dia punya banyak energi. Saya beruntung pernah bertemu sekitar 10 tahun lalu.”

Baca: Ketika Bumi “Memaksa” Umat Manusia Berpuasa

 

Kawasan Ekosistem Leuser, hutan yang merupakan paru-paru dunia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kerja Sama Amerika-Indonesia

Menurut Jason, sebagaimana juga di negara lain, USAID bekerja untuk membantu suatu negara mencapai kesejahteraan, derajat kesehatan yang makin baik, makin tangguh menghadapi perubahan alam, dan melestarikan lingkungan.

“Kami melakukan semua ini juga di Indonesia, dan secara khusus terkait lingkungan. Kami memiliki kerja sama yang luar biasa dengan berbagai pihak di Indonesia dalam melindungi hutan, mangrove, laut, sumber daya air, juga bagaimana makin tangguh menghadapi perubahan iklim di Indonesia,” ungkap lelaki yang sudah bertugas empat tahun di Indonesia.

Beberapa program yang dikerjakan USAID juga menyasar di bidang pelayanan dasar seperti akses air bersih dan sanitasi. Di beberapa kota besar penyediaan air bersih dan sanitasi yang aman bagi masyarakat berpenghasilan rendah masih menemui kendala. Sementara angka kematian anak akibat penyakit yang ditularkan lewat air seperti diare di Indonesia masih tinggi, yaitu lebih dari 100 ribu kematian tiap tahun.

“Saat ini kami berpikir bagaimana menghadapi plastik lautan, juga beberapa masalah di sana. Saya pikir sangat menarik berada di negara yang memiliki banyak kaum muda inspiratif, memiliki kemampuan untuk membuat perbedaan dan tahu masalah ini,” kata Jason.

Bumi yang sehat juga menjadi keharusan, agar dapat mendukung orang bekerja dan melakukan aktivitas lain secara normal. Bumi menjadi satu-satunya planet yang bisa ditinggali saat ini.

“Saya kira ini semua berhubungan dengan merestorasi bumi. Hari Bumi tidak hanya sehari. Kita bisa melanjutkan merestorasi bumi dan menangani masalah-masalah ini sepanjang tahun,” tambahnya.

Jason menambahkan, USAID telah bekerja di berbagai tempat dan melibatkan berbagai pihak. Termasuk bekerja sama secara erat dengan Pemerintah Indonesia, masyarakat, organisasi, swasta, dan mengajak merayakan Hari Bumi sebagai bentuk kepedulian bersama.

Baca: Potret Bumi Kita Hari Ini

 


 

Kaum Muda

Menurut Alison, kaum muda bisa belajar satu sama lain, mengingat Indonesia dan Amerika punya kesamaan dalam menghadapi masalah lingkungan.

“Jangan ragu belajar dari gerakan kaum muda di berbagai belahan dunia, siapa tahu bisa juga diterapkan di lingkunganmu, lalu terjunlah,” saran Alison kepada kaum muda.

Sejarah mencatat, banyak contoh perubahan bermula dari aksi kelompok kecil yang digawangi kaum muda. Misalnya, Greta Thunberg, perempuan Swedia berusia 17 tahun yang menginspirasi banyak orang atas perubahan iklim. Dia mendesak para pemimpin dunia untuk serius mengambil tindakan nyata terkait isu ini.

Bagi kaum muda yang ingin mengambil peran dalam menangani masalah-masalah lingkungan, Jason menyarankan untuk berpikir global dan bertindak lokal. Frasa yang dipopulerkan John Naisbitt lewat buku Global Paradox [1998].

“Dalam masalah lingkungan, ada hal yang sama-sama bisa dipelajari antara Indonesia dan Amerika. Saya kira kemasan tradisional di Indonesia seperti besek, bungkus makanan dengan daun pisang bisa dicontohkan untuk dunia, sebagai praktik yang bagus,” ungkapnya.

Terkait dampak sampah plastik, Jason menyarankan setiap orang secara individual sebisa mungkin mengurangi sampah.

“Jika dipakai, apakah bisa digunakan kembali? Saat tak lagi dipakai maka harus dibuang ke tempat yang telah disediakan,” paparnya.

 

 

Exit mobile version