Mongabay.co.id

Sagu Kobace, Pangan Khas dari Merauke

 

 

 

 

Adriana Papo Gebze, dengan cekatan memasukkan dua batang sejenis makanan dari sagu ke dalam kotak. Dia siapkan buat para pelanggannya. Nama makanan ini sagu kobace. Rasanya enak dan gurih.

Perempuan 31 tahun ini, biasa bikin pangan sagu dagangan sepulang dari bekerja. Dia langsung menyiapkan tungku untuk bakar sagu.

Caranya, sagu kering dihancurkan dengan air kelapa muda atau air biasa, ditambah irisan kelapa muda yang dihancurkan. Setelah itu adonan dimasak sampai bentuk adonan sagu kemudian baru bungkus pakai daun kobace.

Bagi Orang Marind, daun kobace mirip bambu tetapi ukura mini, berdaun rimbuh dan lebar, ukuran setinggi lima meteran.

Gebze bilang, semua bahan alami, mulai sagu, bungkus sampai pengikat dari alam.

Orderan sagu kobace biasa lewat handphone, atau bisa lewat sosial media, seperti Twiter, maupun Facebook.

Dia cerita awal mula muncul keinginan berjualan pangan dari sagu ini. Mamanya, Frederica Wowekerjai sakit diabetes hingga dia harus memantau setiap asupan makan dan minuman, setiap waktu.

Gebze mengatakan, berulang kali sang mama menyebutkan saran beberapa tenaga medis agar mengkonsumsi makanan pokok sagu. “Paling kurang setiap hari untuk menurunkan kadar gula, yang sebelumnya makan nasi setiap hari,” katanya.

Dia pun berpikir, alangkah baik mengenalkan lagi sagu kepada orang lain di Merauke, yang kini lebih sering mengkonsumsi nasi. Padahal, katanya, orang Papua dari dulu sumber pangan itu sagu. Sayangnya, sagu hampir mereka lupakan, berganti beras.

Orang Marind sekarang, katanya, malah pengkonsumsi beras, seakan lupa kultur makan sagu yang merupakan tanaman adat.

Dari pemikiran ingin menanamkan kembali pangan sagu itulah maka Gebze tergerak bikin dan jual kobace.

 

Adriana menunjukkan proses pembuatan sagu kobace. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Gebze bilang, kobace unik karena cukup panaskan di bara api tetapi jangan sampai terbakar atau gosong. Tekniknya sama seperti biasa Orang Marind membuat sagu sep atau bakar batu. Kobace ini, katanya, pangan khas Orang Marind yang patut dilestarikan.

Bagi Orang Marind, katanya, sagu adalah tanaman sakral dan jadi totem Marga Mahuze.

Untuk bikin dan jual kobace ini, Gebze juga membicarakan terlebih dahulu dengan tetua adat. Mereka setuju dengan sajian sagu kobace ini.

Menurut mereka, kata Gebze, untuk mempertahankan tanaman adat salah satu lewat sajian beragam pangan yang bisa jadi konsumsi lintas generasi. “Sagu secara adat, sosial, kesehatan, tanaman ini sangat baik,“ katanya.

Sagu perlu terus lestari di tengah orang Merauke, berubah ke makan beras. Dia menyesalkan, Merauke yang disebut-sebut lumbung pangan nasional, tetapi menghabiskan tanaman lokal seperti sagu. Lahan sagu berubah jadi sawah sampai kebun sawit.

“Lebih bagus tanam sagu untuk semua orang bisa tana, sagu. Proyek sawit rakus air, sawah ditanami padi padi, membuat banyak orang sakit gula.

Merauke, katanya, kaya sumber pangan lokal. Selain sagu ada beragam umbi-umbian seperti petatas, keladi, kombili dan lain-lain.

Adolfina Monica Yatupapea, rekan Gebze, mendukung usaha sagu kobace ini. Dia pun membantu Gebze mengembangkan kobace ini.

Dengan bekerja bersama dia berharap, pemasaran lebih luas lagi. Varian rasa kobace pun mulai mereka bikin. Selain sagu kumbu dan kobace, ada juga rasa manga, coklat, dan lain-lain.

Adolfina bilang, bila tepung sagu habis, langsung mengontak pemarut sagu asal Tambat. Mereka tinggal datang ke sana buat ambil sagu.

Dia punya obsesi lagi, ingin mengenalkan sagu kobace ke berbagai daerah di Indonesia. Adolfina pun mulai bekerja sama dengan beberapa pihak, seperti Dinas Pertanian dan Pangan Tanaman dan Holtikultura, dan pabrik.

“Saya percaya, makan sagu menyembuhkan penyakit diabetes, buktinya sudah ada,” katanya.

Dia bilang, manfaat sagu harus terus disuarakan, terlebih pada Orang Papua, jangan sampai melupakan sagu. “Khusus orang Marind agar mencintai sagu bukan mencintai beras, makanan lokal lebih penting.”

 

Adriana dan Monika, dua perempuan pembuat sagu kobace di Merauke. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, jangan sampai orang menghabiskan hutan sagu untuk tanaman lain. “Baru menyesal. Menyelamatkan generasi Papua berawal dari rasa penting melindungi sagu.”

Olvie Mandala, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk, mengatakan, usaha memperkenalkan sagu dan pangan dari sagu itu penting.

Dia pernah mendengar, ada usaha kuliner asli papua, oleh staf Kantor Bupati Merauke.  Olvie mendukung ini dengan cara mendirikan beberapa tenda khusus kuliner pada 2020.

“Mereka membantu kelompok kuliner Papua dengan menggunakan dana Otonomi Daerah, tapi terbatas sekali karena tiga dinas sekaligus. Kita tangani tiga bagian sekaligus dengan cara mendirikan lapak khusus.”

Tarsisius Andreas Kasman, Kepala Bidang Konsumsi Penganekarman dan Keamanan pada Dinas Ketahanan Pangan, bilang, mendukung usaha kuliner dari bahan lokal, sagu.

Bahkan, mereka berusaha menampilkan kuliner khas Marind dengan kemasan sangat menarik tetapi masih terkendala pemasaran.

 

Sagu kobace siang antar ke konsumen. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version