Mongabay.co.id

Hutan Hilang, Orang Rimba Hadapi Masalah Kesehatan

 

 

 

Batuk terdengar sahut menyahut dari Roki (17) dan Bepak Nering (60). Dua beranak ini sudah menderita batuk menahun. Nering, tak bisa berjalan normal. Sejak tiga tahun lalu, dia menderita pinggang bungkuk. Roki, anak bungsu dari delapan bersaudara yang berburu untuk menghidupi mereka berdua.

Mereka tinggal di sudung, sebutan rumah bagi Orang Rimba, berupa pondok beratap terpal plastik tanpa dinding, beralas tumpukan kayu.

Ada empat sudung berdekatan dengan sudung Roki. Sekitar 10 keluarga ini menumpang di kebun sawit milik masyarakat di Desa Rejo Sari Kecamatan Pemenang, Merangin, Jambi.

Badan Roki kurus, bahu terlihat naik ke atas. Sesekali dia sesak, dan wajah agak pucat. Pada Oktober 2019, Roki divonis menderita tuberkulosis (TB) paru, dia mendapatkan asupan obat dari Puskesmas Pemenang tertanggal 25 Oktober 2019.

Berdasarkan data Puskesmas Pemenang, dia tercatat sudah menyelesaikan pengobatan selama enam bulan.“Makan obat hanya tiga bulan, selebihnya tidak makan obat. Karena bingung mulainya bagaimana lagi,” kata Roki.

Dia sempat terputus minum obat dari Puskesmas karena harus berburu ke hutan. Lupa membawa obat, dan setelah pulang dia juga bingung melanjutkan pegobatan.

“Masih batuk dan sering sesak sekarang.”

Roki tak banyak bicara. Napas naik turun cepat terlihat dari dada yang nyaris tak berdaging.

Bepak Nering duduk menghisap rokok di atas tumpukan kayu balok berukuran kaki orang dewasa sebagai lantai sudung. Tak Jauh dari saya dan Roki berbincang.

“Roki masih batuk, bu. Hopi melawon nian pergi berburu,” katanya.

Minan, temenggung di Kelompok Roki dan Nering, datang. Dia mengajak duduk di bawah naungan batang sawit. Orang Rimba. tidak membiarkan orang asing memasuki sudungnya terlebih saat ada wabah penyakit seperti Pandemi COVID-19 sekarang.

Mereka ada tradisi besesandingon, mengasingkan diri ke hutan dan larangan bertemu dengan orang luar ketika ada wabah penyakit melanda.

Temenggung Minan bilang, kalau dua beranak ini tidak sembuh batuknya. “Kalau rombong kami, cuma orang beduo ni betuk teruy,” katanya.

 

Baca juga: Potret Perempuan Iban dan Orang Rimba kala Hutan Hilang jadi Kebun Sawit

Roki dan ayahnya, Nering, yang tinggal dalam sudung di kebun sawit warga. Mereka berdua sakit batuk menahun. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Roki dan bapaknya juga diasingkan dengan sudung sendiri berjarak sedikit jauh dengan sudung lain.

Cenenggo, kalau ada yang sakit sudung terpisah, batuk, demam biasa dibuat sudung sendiri, kalau dijenguk juga jauh dari yang sakit. Orang Rimba menyebut besesulangon,”

Minan mengatakan, Roki sempat dirawat di Rumah Sakit di Jambi selama beberapa hari karena batuk. Minan tak tahu soal penyakit TB, yang mereka percaya batuk terus berkepanjangan bahkan sampai batuk berdarah karena racun.

“Kalau kami disiko sebut itu racun, bisa batuk berdarah. Racun dari akar-akar sawit iko yang kena racun. Mengalir sampai tanah dan sungai. Kami tahunya betuk teruy itu keracunan.”

Sejak dulu, katanya, mereka memiliki wilayah hidup semi nomaden di sekitar Desa Rejosari. Perubahan demi perubahan mereka alami. Dari lokasi berhutan, berubah menjadi belukar dan kebun sawit.

“Dari dulu ini tempat kami tinggal, dulu hutan tempat mengambil rotan, manau dan jernang. Kini, semua jadi kebun sawit. Kami pindah dari kebun sawit satu ke kebun sawit lain. Tapi di sekitar Rejosari inilah,” katanya.

Azrul, Kasi Komunitas Adat Terpencil Dinas Sosial Merangin prihatin dengan kondisi kelompok Minan. Minan, satu-satunya kelompok yang belum memiliki tanah tempat bermukim.

Dari 16 rombong, hanya Minan dan anggotanya yang berpindah dari kebun sawit satu ke lain.

“Kita cukup miris juga, kami sudah ajukan namun belum direspon untuk membelikan tanah. Kita juga undang perusahaan sawit PT KDA (SMART Group) tidak pernah mendapatkan respon karena rombong Minan ini tinggalnya menjelajahi areal perkebunan plasma milik mereka. Mereka ini kelompok terdampak dari perkebunan sawit milik perusahaan,” katanya.

 

***

Tangis bayi terdengar dari sudung Bainai. Jarak sekitar 50 meter dari sudung Roki. Dia baru saja melahirkan anak laki-laki. Usia baru satu bulan. Bayi sedang digendong dalam balutan kain panjang oleh kakak perempuannya. Bainai melihat bayinya sejenak, lalu berjalan ke depan sudungnya.

Bainai baru saja mengisi air ke galon berukuran lima liter. Dia terlihat mengeluarkan periuk berisi nasi menyodorkan ke anak-anaknya. Air berasal dari sungai di bawah kebun sawit tempat mereka mendirikan sudung.

Minan adalah ayah Bainai. Dia sedikit khawatir kalau batuk Roki tidak sembuh akan menular ke cucu-cucunya.

“Iya, kalau bisa Roki sehat kami senang juga,” katanya.

Minan membujuk Roki untuk cek ulang TCM (test cepat molokuler) dari sampel dahak yang pekat biasa berwarna kehijauan.

 

Baca juga: Nasib Orang Rimba, Baru Terusir dari Kebun Sawit, Kini Terancam di Konsesi HTI

Kebun sawit tempat kelompok Tumenggung Minan, tinggal. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Roki dan Bepak Nering akan dijemput untuk TCM di Puskesmas Pemenang. Nuryadi , Staf Pengelola TB Dinas Kesehatan Merangin bilang ada empat alat TCM disebar di Pusat Kesehatan Masyarakat , antara lain di Puskesmas Bangko, Pemenang, Masurai dan Rumah Sakit Kol. Abundjani Bangko.

Alat test ini disebut efektif melihat bakteri Mycobacterium tuberculosis di dahak pasien hanya proses 2,5 jam hingga tiga jam. Pasien akan mengetahui hasil dengan cepat.

Sabtu 24 April lalu, raung mobil tiba pagi ini di tepi jalan sudung Roki. Roki masih belum siap berangkat ke Puskesmas Pemenang pagi ini. Minan mendatangi kembali. Roki berjalan pelan masuk ke mobil. Bepak Nering menyusul di belakang dengan jalan terbungkuk.

Di dalam mobil, beberapa kali Roki batuk dan meludah ke luar. Kaca sengaja tidak dinaikkan. Dia biarkan terbuka, udara pagi memainkan ujung rambut Roki. Roki menaikkan sedikit kaca, karena merasa sedikit dingin. Bepak Nering pun demikian, beberapa kali terdengar batuk.

Roki antri di depan pintu masuk Puskesmas Pemenang. Dia ditanya kartu berobat berwarna biru muda agar bisa mendaftar. Saya sudah menjelaskan kronologis Roki dan meminta izin memeriksakan dengan Kepala Puskesmas, Rusdianto. Rusdianto sedang keluar kota dan beberapa petugas puskesmas terlihat ragu memeriksakan Roki kembali.

Dia hanya menggeleng saat seorang petugas perempuan menanyakan kartu berobat dan KTP atau kartu keluarga.

Berulang kali Rusdianto telepon, dan menjelaskan kepada petugas. Barulan, Roki dan Bepak Nering lolos mendaftar. Dia mengantri mengisi buku daftar pasien. Roki terlebih dahulu masuk ke ruangan dokter umum. Dia diperiksa tinggi, dan berat badan. Dia ditanya keluhan dan riwayat penyakit. Begitu juga Nering.

“Berapa lama sudah batuk, pak?” tanya dokter Herman.

Dak terhitung tahun, pak. Betuk teruy,” jawab Nering.

“Tinggal dengan siapa di rumah?”

Nering terdiam, mungkin dia bingung dengan istilah rumah. Saya bantu menjelaskan Nering tinggal di sudung berdua dengan Roki.

“Apakah sudung punya jendela, sirkulasi udara baik?” tanyanya kembali.

Setelah beberapa pertanyaan, Nering mengikuti Roki menuju laborratorium. Di labor, Roki diperlihatkan catatan pengambilan obat TB miliknya. Ketika kami ingin test TCM, petugas perempuan terlihat keberatan.

“Ini sudah siang, hasil test harus menunggu 2,5 jam. Itu artinya setengah satu. Puskesmas tutupnya jam 12 hari ini.”

“Kalau mau test harusnya di pagi tadi. Hari Senin saja datang lagi.”

Setelah berdebat kecil, petugas laboratorium menyetujui peeriksaan. Dia memberikan botol kecil tempat dahak . Roki dan Nering diminta mengeluarkan dahak. Botol dahak mereka berikan ke petugas.

 

 

Baca juga: Besesandingon, Tradisi Orang Rimba Tangkal Penyebaran Penyakit

 

 

Kurang gizi dan rentan penyakit

Abdaie, Kepala Dinas Kesehatan Merangin menyebutkan, soal upaya eliminasi TB di Merangin. Dia bilang, sulit memberikan pemahaman pada masyarakat tentang upaya sehat dan bebas TB termasuk pada Orang Rimba.

“Jangankan teman-teman Suku Anak Dalam, masyarakat yang sudah di desa dan kota saja banyak yang belum sadar tentang penyakit ini. Asumsi yang terbangun, ini sakit diracun.”

“Saya harus jelaskan, memang kalau untuk racunnya bisa gunakan obat tradisional. Untuk bakterinya harus ke Puskesmas atau rumah sakit.”

Data per April 2021, pasien TB di Merangin, tercatat ada 92 kasus, pada 2020 ada 385 kasus. Zamroni, Kabid P2P Dinkes Merangin, bilang, mereka tidak mengkhususkan data untuk SAD. “ Kami tidak beda-bedakan mana yang SAD yang bukan. Data pasien ini juga umum, untuk cek lagi mana yang SAD atau bukan harus cek lagi di Puskesmas.”

Data survei KKI Warsi populasi Orang Rimba pada 2018, sebanyak 5.235 jiwa, tersebar di Merangin 1.276 jiwa, Sarolangun (2.228), Bungo (395), Batanghari (629) dan Tebo 707 jiwa. Dari jumlah itu, hanya 40% dalam kawasan hutan, selebihnya di kebun sawit, hutan tanaman industri dan hidup berkelompok bersama masyarakat desa dan pendatang.

Di Sarolangun, data dari Dinas Kesehatan 2020 ada 458 pasien, tracking sementara dari Puskesmas terdekat, ada tiga Orang Rimba. Pada 2019, juga pasien TB Orang Rimba ada tiga orang.

“Kita tidak punya data detail tentang mana pasien Suku Anak Dalam dan yang bukan. Dari penelusuran dengan beberapa puskesmas yang lokasi dekat dengan Suku Anak Dalam ada tiga yang sudah juga pengobatan,” kata Santi, staf Pengendalian Penyakit TB Dinkes Sarolangun.

Di Bungo, Heri Staf Pengendalian TB Dinkes Bungo bilang tak ada kasus pada Orang Rimba di Bungo. Dia bersyukur, sejak dua tahun lalu tidak ada lagi kasus TB di Orang Rimba di Bungo.

Status gizi, erat kaitan dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi tuberkolusis. Dari hasi penelitian (Susi Dwi Lestari, 2017) di Gombong (STIKES Muhamadiyah) menunjukkan, hubungan antara status gizi dengan TB paru. Status kurang gizi berisiko menderita TB paru sebesar 3,4 kali dibandingkan dengan status gizi cukup.

Hutan Orang Rimba yang hilang, berubah menjadi beragam peruntukan dari kebun sawit, maupun HTI menyebabkan mereka kehilangan sumber penghidupan, termasuk sumber pangan. Otomatis, mereka sulit penuhi pasokan pangan bergizi maupun sumber air bersih. Lima tahun silam, banyak Orang Rimba meninggal karena kurang gizi.

Perubahan lingkungan dan ruang hidup ini, tidak sejalan dengan pola pikir Orang Rimba. Adi Prasetijo, Dosen Antropologi Sosial Universitas Dipenogoro, dalam jurnalnya berjudul Displacement as Experience by the Orang Rimba Huntergathrers memaparkan, ketidaksesuaian pada Orang Rimba ini membuat mereka makin rentan.

“Perubahan lingkungan ini tidak diikuti perubahan mentalitas Orang Rimba sendiri. Displacement, ketidaksesuaian secara lingkungan, fisik dan juga secara sosial budaya,” katanya.

Selana ini, Orang Rimba pindah atau menjelajah di ruang dan wilayah tempat mereka dulu tinggal. Namun, perubahan hutan menjadi sawit, HTI atau pemukiman tidak diiringi perubahan pola pikir mereka.

“Jadi, meskipun lingkungan beda, tapi mereka melihat keruangan masih sama seperti ketika hidup di hutan.”

Pengobatan modern, dalam kasus TB pada Orang Rimba ini juga sulit diterima dengan logika mereka sepenuhnya. Dampak pemindahan (displacement) pada Orang Rimba ini cukup besar, dan perlu pendekatan khusus pemerintah dalam hal kesehatan, pendidikan dan berpenghidupan serta norma-norma luar.

“Misal, seperti mereka tidak bisa hidup di desa juga tidak bisa hidup balik ke hutan. Pendekatannya, harus khusus dan metode juga harus disesuaikan dengan logika mereka, harus berbasis budaya.“

Dua lembar surat hasil TCM Roki dan Nering berada di tangan saya.

“Hasilnya negatif dua-duanya,” kata petugas laboratorium perempuan yang memeriksakan dahak mereka tadi pagi.

Tanpa penjelasan apapun, dia meninggalkan saya yang sedang bingung.

“Apakah Roki sudah pulih dengan hanya memakan obat selama tiga bulan saja?” saya bertanya-tanya dalam hati.

Rusdianto saya kabari, soal hasil negatif Roki. Dia menyarankan saya menghubungi dokter Herman, yang memeriksa Roki.

“Jika memang hasil negatif, harus konsultasi ke dokter spesialis. Karena ini ada tanda-tanda TB kita harus cek ulang kembali. Ada beberapa faktor mempengaruhi pemeriksaan TCM menjadi negatif , bisa saja dahak yang diperiksa tidak sesuai. Dahak yang diperlukan dahak pagi hari, yang berwarna kuning atau hijau tidak boleh bercampur dengan air liur,”katanya.

Roki bukan satu-satunya yang mangkir minum obat anti TB di pertengahan jalan. Mijak, Orang Rimba Makekal bilang, temannya yang juga diminta minum obat enam bulan hanya minum selama beberapa minggu lalu sudah sehat.

“Ada yang disuruh dokter minum obat enam bulan, tapi dua, tiga minggu saja sudah sehat. Dak sakit lagi diok.”

Saya juga menghubungi Erni, Kepala Puskesmas Muara Jernih. Pada 2017, ada Orang Rimba berobat dan setelah periksa positif TB tetapi menghilang, tak melanjutkan pengobatan.

“Iya, ada Suku Anak Dalam yang pernah berobat ke sini, positif TB tapi setelah ambil obat sekali tidak pernah datang lagi.”

Fenomena mangkir minum obat ini, berakibat fatal dari TB regular bisa jadi TB resistant obat hingga pengobatan lebih lama dan dengan dampak jauh lebih menyakitkan bagi pasien.

Ani Rekat Surabaya, paguyuban pasien-pasien yang sudah dinyatakan sembuh dari penyakit TB-MDR ( multidrug resistant tuberkulosis)bercerita, kalau pasien TB regular harus patuh mengkonsumsi obat agar tak menjadi kebal obat.

Beberapa pasien, katanya, sudah merasa sehat kalau mengkonsumsi obat sebulan hingga dua bulan. Meskipun begitu, katanya, bukan berarti bakteri lenyap.

“Jika sudah TBRO, TBMRT, itu sangat sulit pengobatan bukan cuma sampai enam bulan. Ada yang sampai lebih dua tahun.”

Tahap dua bulan awal fase pertama, berfungsi supaya tidak menularkan, fase empat bulan untuk membersihkan kuman TB di tubuh. Ani mengatakan, dukungan, edukasi dan menepis stigma bisa membuat pasien cepat sembuh.

Bagaimana dengan Roki? Dia harus periksa lagi ke dokter spesialis di RSUD Kol Abundjani Bangko agar kembali bernapas lega tanpa batuk dan sesak.

 

 

Orang Rimba di Merangin, yang hidup di sudung di antara kebun sawit. Foto: ELviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version