Mongabay.co.id

Nestapa Suku Anak Dalam di Tanah Menang

 

 

 

 

Julia, duduk di lantai rumah ayahnya, Kulok, siang itu. Rumah kayu itu beralas tanah. Banjir sudah seminggu mengepung pemukiman Julia dan enam saudara lain.

Tujuh rumah terkepung air, di sekeliling lahan seluas enam hektar itu sudah terbangun ‘parit gajah’ oleh perusahaan perkebunan sawit. Tanah Menang, mereka menyebut lokasi itu.

Kulok menetap sejak dulu, hingga ketujuh anak perempuannya menikah. Kondisi berubah sejak 2007, setelah izin perusahaan sawit mengambil kebun-kebun dan hutan mereka. Hanya menyisakan beberapa rumah dan petak kebun sawit. Dia memperjuangkan tanah itu sejak 2007, berusaha mencari keadilan tetapi belum membuahkan hasil.

Kondisi makin buruk. Sudah tiga bulan ini Tanah Menang dipagari dengan galian parit sedalam delapan , lebar empat meter. ‘Parit gajah’ ini makin menyulitkan hidup warga, termasuk Julia.

“Ini yang diparit bukan gajah, tapi kami Suku Anak Dalam yang dianggap sudah seperti binatang,” katanya dengan suara bergetar.

Julia dan Saniman, suaminya, baru saja kehilangan bayi mereka. Julia cerita, saat mau melahirkan jalan putus karena semua akses mereka keluar terhalang parit, dan banjir. Bayinya terlambat mendapatkan pertolongan saat melahirkan akhirnya meninggal dunia.

“Semua jalan putus, bayi saya minum air ketuban terlalu banyak. Lama sampai rumah sakit, itupun kami harus berperahu melewati banjir. Jalan semua diparit.” Julia menangis mengingat masa itu.

Dusun Tanah Menang, satu lokasi yang masuk klaim PT Berkah Sawit Utama (BSU), selain Dusun Pinang Tinggi dan Padang Salak.

Pada 27 Oktober 1927, 4 September 1930 dan 20 Desember 1940, Pemerintah Belanda sudah membuat surat keterangan keberadaan dusun atau pemukiman warga SAD disertai penyebutan batas. Masa Indonesia, kondisi warga SAD malah tak ada pengakuan dan perlindungan negara. Keluar izin kepada perusahaan di atas ruang hidup mereka.

Mereka berusaha mendapatkan hak lahan mereka. Kulok tak tahu harus bersabar berapa lama lagi. Janji-janji dari pemerintah daerah, menteri bajkan presiden, belum juga ada wujudnya.

 

Baca juga: Konflik Lahan Berlarut, Suku Anak Dalam Jalan Kaki Lagi ke Jakarta

Kebun sawit perusahaan. Foto: Fahmi

 

Berkali-kali mereka jalan kaki ke Jakarta untuk memperoleh keadilan, tetapi tetap saja tak ada hasil. “Ini makin berani perusahaan, kami pun sudah di parit gajah. Dulu yang diparit gajah hanya Pinang Tinggi, makin hari semua dusun berkonflik di parit gajah semua, “katanya.

 

Hidup merana

Kulok setiap hari harus berjuang mengeluarkan hasil kebun mereka karena ada kepungan parit gajah. Dia mendorong perahu menyusuri genangan air setinggi dada manusia dewasa. Ini satu-satunya akses yang bisa dilewati, selebihnya parit gajah.

“Kedinginan, sama cucu dan menantu. Kami mengeluarkan hasil kebun sawit dan lain-laon untuk diangkut dengan motor yang ditinggal di seberang. Pernah juga bangun jembatan di atas parit dari papan, dimarahi perusahaan, dibuang mereka jembatan itu,” katanya.

Dia punya sekitar 15 cucu usia sekolah. Mereka usia sekolah, namun tak pernah bisa belajar karena akses sulit.

Ngandan, bocah sembilan menatap penuh harap saat saya tanyakan mau sekolah. “Mau, tapi sekolah jauh, bantu bapak dorong perahu untuk jual sawit. Kalau dak dorong perahu dak bisa makan,” katanya.

Desa Tanjung Lebar, menaungi dusun Tanah Menang. Beberapa warga SAD yang tergusur bermukim di sana. Mereka tidak memiliki lahan, menumpang hidup dari menjadi buruh sawit di perusahaan. Mereka dibayar sekitar Rp400.000 untuk panen setiap ton.

Tak ada lagi ritual memancing dan berburu di hutan, hutan berganti kebun sawit yang menyisakan derita dan masalah.

Desa Tanjung Lebar pun tak banyak anak bersekolah. Hanya ada satu SDN 232 di sini. Ada lebih dari 150 keluarga, mayoritas mereka keturunan SAD. Batin Sembilan, demikian mereka menamakan diri.

 

Baca juga: Kala Petani Jambi Jalan Kaki Lagi Tuntut Hak Kelola Lahan

Warga kesulitan akses ketika ada pemutusan jalan. Foto: Fahmi

 

Sekarang hidup mereka dalam keterbatasan ekonomi dan pendidikan. Desa ini di dalam areal BSU. Masuk ke dalam desa harus melewati portal penjagaan milik perusahaan.

Selain kehilangan kebun, lahan dan mata pencaharian bersumber dari hutan, beberapa tradisi dan budaya di Komunitas Batin Sembilan yang terdampak konflik ikut bergeser.

Kulok sebut beberapa tradisi seperti pernikahan, pengobatan mengalami penyesuaian dengan kondisi perubahan alam.

“Dulu, kalau menikah secara adat kami harus ada betangas dulu untuk gadisnya. Mandi uap semua bunga dan daun di hutan, sekarang dak bisa lagi.” Ada juga tradisi besale (pengobatan tradisional) dan beberapa tanaman maupun bunga tak ada lagi. “Jadi, diganti dengan yang lain.”

Abun Yani, Ketua Adat Batin Sembilan mengatakan, SAD 113 merupakan bagian dari Komunitas Batin Sembilan, hidup di sepanjang sembilan anak sungai yaitu Sungai Jebak, Jangga, Bahar, Bulian, Serisak, Sekamis, Pemusiran, Burung Hantu, dan Singoan. Berbeda dengan suku adat lain di Jambi, seperti Orang Rimba ataupun Talang Mamak. Batin Sembilan, kata Abun, hidup bermukim di umo-umo dan menetap dengan aliran sungai sebagai sebaran.

“Mereka menetap dan memang punya wilayah adat yang jelas. Saat ini Batin Sembilan yang berkonflik disebut SAD 113 adalah Batin Sembilan Sungai Bahar dengan sebaran lima dusun, Pinang Tinggi, Tanah Merah, Padang Salak, Sei Beruang dan Tanjung Lebar, “ katanya.

 

Pemukiman SAD di Tanah Menang. Foto: Fahmi

 

Belum ada realisasi

Abun Yani bilang, pada Agustus 2020, mereka kembali aksi jalan kaki ke Jakarta dan bertemu dengan Sofyan Djalil, Menteri ATR/ BPN. Mereka juga menandatangi kesepakatan verifikasi ulang untuk menyelesaikan konflik SAD 113 dengan BSU. Hingga kini, tak ada tindak lanjut meski tim pokja sudah terbentuk.

“Kami sudah mengikuti kesepakatan dan aturan negara. Kalau secara adat dak penuh ke pucuk, penuh ke bawah biaklah kami terimo. Tapi belum ada juga tindak lanjut lagi sampai saat ini,” katanya, akhir Maret lalu.

Abun menyesalkan tindakan perusahaan yang membangun parit gajah untuk mengkotak-kotakkan wilayah-wilayah berkonflik ini hingga menyulitkan warga dan memaksa mereka keluar dari wilayah itu.

“Mereka sengaja diisolir, diputus dengan luar agar menyerah dan tidak di lokasi. Tapi mereka harus dimana? Itu tanah mereka! Mereka sudah patuh dengan kebijakan negara, menghargai keputusan untuk verifikasi ulang. Mohon juga pemerintah enclave [keluarkan dari konsesi perusahaan] ada enam pemakaman SAD di HGU PT Asiatic (kini BSU) juga dikeluarkan,” katanya.

 

Konflik panjang

Roni , tokoh SAD di Tanjung Lebar menceritakan asal muasal konflik sejak 1986 kala Kementerian Dalam Negeri pelepasan lahan dengan surat keputusan menindaklanjuti SK Gubernur Jambi seluas 20.000 hektar. Lahan lepas buat PT Bangun Desa Utama (BDU).

Dari luasan itu, sekitar 3.550 hektar tanah SAD. Ia terdiri dari peladangan masyarakat, belukar dan pemukiman. Setahun berselang dari izin keluar, Kementerian Kehutanan melakukan pengecekan dan survei di lahan BDU.

“Memang, dari hasil survei awal ada tanah masyarakat SAD 113 yang harus dikembalikan, namun tidak dilakukan sampai sekarang,” katanya.

 

Konflik lahan antara warga SAD 113 dan perusahaan hingga kini belum usai. Foto: Fahmi

 

Roni bilang, ada tiga rukun tetangga (RT) atau 130 keluarga masih tinggal dan diakui pemerintah di sana.

“Kami sudah sampai bertemu Jokowi untuk mengadukan ini. Jokowi berjanji menindaklanjuti persoalan ini.”

Pada 2016, mereka juga masih pegang surat dari Menteri ATR/BPN Ferry Mursyidan Baldan, yang mengintruksikan kepada Korwil Jambi dan perusahaan untuk mengembalikan hak 3.550 hektar milik masyarakat,dan berikan sertifikat komunal untuk lahan ini. Lagi-lagi, tak ada tindak lanjut.

Perusahan berganti-ganti kepemilikan dan nama. Dari BDU lalu pada 1992 berganti nama dan kepemilikan jadi PT Asiatic Persada. Pada 2016, berganti nama jadi PT Berkah Sawit Utama (BSU) hingga sekarang.

Pantauan lapangan, menuju lokasi pemukiman Kulok, tanaman sawit terbentang luas. Tanaman sawit ada di lahan dengan kemiringan lebih 45 derajat. Belum lagi di atas bukit-bukit curam.

“Tahun ini, izin HGU berakhir dan mendapatkan rekomendasi perpanjangan sudah. Kami minta pemerintah meninjau ulang kembali izin HGU BSU ini. Kalau kita lihat seluas ini areal tanaman sawit mereka masa cuma 20.000 hektaran,” kata Abun Yani.

Dia bilang, banyak kejanggalan dalam izin BSU termasuk juga rekomendasi perpanjangan HGU padahal pemerintah tidak melihat itikad baik dari perusahaan untuk selesaikan konflik SAD 113.

“Ini kan agak aneh, perusahaan masih berkonflik bisa mendapatkan rekomendasi perpanjangan izin. Ada oknum yang bermain, kalau memang mau transparan harusnya cek ulang lagi areal Asiatic (BSU).”

Verifikasi sudah dilakukan, sejumlah SAD 113 mengisi biodata dan membawa kartu keluarga dan KTP untuk mencocokkan data.

Kulok dan anak-anaknya di Tanah Menang yang belum memiliki identitas kependudukan agak sulit untuk verifikasi.

Saniman, menantunya bilang, sudah beberapa kali mengurus identitas kependudukan, namun tidak pernah berhasil. “Sudah kami ikuti, namun karena katanya alamat di areal perusahaan tidak keluar KTP-nya.”

Mahyudi , pendamping SAD 113 masih menunggu tindakan lanjut pasca verifikasi sebagai upaya penyelesaian konflik. Surat keputusan kelompok kerja (SK pokja) penyelesaian konflik sudah ditandatangani gubernur. “Jadi kita menunggu. Semoga segera selesai,” katanya.

Ali Basrin Humas BSU mengaku perusahaan tidak melakukan penggusuran dan parit gajah untuk menghindari pencurian tandan buah segar mereka oleh masyarakat.

“Kami sebelumnya sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah, timdu dan aparat kepolisian untuk pengosongan lahan. Sudah ada surat resmi juga di akhir Deshember 2019. Tapi yang ngaku SAD 113 masih bertahan dan mencuri TBS kami. Makanya dibangun parit gajah untuk menghindari tindakan pencurian itu,” katanya.

Sigit Eko Yuwono, Kabid Penanganan Konflik Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik menyebutkan, proses verifikasi sudah berjalan. Ada 1.000 KTP sedang verifikasi. Jadi, katanya, menunggu semua verifikasi usai baru lanjut diskusi penetapan siapa yang berhak atas lahan dan bagaimana pembagian.

“Ini belum dibahas, dari keputusan rapat Oktober 2020. Hanya disinggung soal verifikasi dan kemungkinan sertifikatnya komunal,” katanya.

Mengenai perpanjangan izin HGU, Kadisbun Jambi Agusrizal bilang, belum menerima berkas perpanjangan izin HGU perusahaan ini.

“Belum ada, kami tidak menerimanya, jika memang luas kebun mereka di satu hamparan berada di dua kabupaten atau lebih harusnya izin dari gubernur dan berkas tentu akan diperiksa di sini.”

 

 

***

Julia mengantarkan saya menuju perahu kapal seukuran badan, tanpa mesin. Dua kakak iparnya mendorong perahu menuju tepian seberang tempat tinggal mereka. Karena hari sudah teralu malam tidak aman untuk tetap berperahu. Dia berinisiatif mengantarkan saya menyeberangi parit gajah bermodal timbunan ban-ban di bagian bawah. Saya berada di tepi parit gajah, melihat ban berjejer. Turun tertatih, dua orang menantu Kulok menanti di bawah dan menarik tangan saya untuk bisa menaiki sisi parit di seberang.

Perjuangan Julia dan SAD 113 lain masih belum menemukan titik terang walau harapan selalu ada.

“Doakan saya bisa hamil lagi, dan tidak terkepung parit gajah begini. Agar nanti anak kami selamat,“ katanya. Air mata Julia berlinang.

 

*Fahmi adalah jurnalis Ficus.id. Tulisan ini atas dukungan dari Mongabay Indonesia

 

****

Foto utama: Parit gajah yang dibuat perusahaan ini memutus akses jalan warga SAD 113. Foto: Fahmi

 

 

Exit mobile version