Mongabay.co.id

Longsor di Area Proyek PLTA Batang Toru, Belasan Orang Tertimbun

Pencarian korban tertimbun longsor di area pembangunan proyek PLTA BAtang Toru. Foto: BNPB

 

 

 

 

Bencana longsor di perbukitan terjadi di lokasi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) , Batang Toru, tepatnya di sekitar Desa Marancar Godang, Kecamatan Marancar, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 29 April lalu. Sekitar 12 orang diduga tertimbun longsor., baru lima orang berhasil dievakuasi dalam keadaan meninggal dunia.

Saat longsor terjadi menimpa dua rumah dan satu mobil yang sedang berjalan. Supri Siregar, Camat Marancar mengatakan, dari belasan orang itu, sembilan korban diduga hilang dari warga dari dua keluarga dan pekerja proyek (tiga warga lokal dan seorang Tiongkok.

Bukit longsor dengan ketinggian sekitar 50 meter dan material juga jatuh ke aliran Sungai Batang Toru.

Pusat Pengendali Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, BPBD Tapanuli, tim SAR TNI dan Polri dibantu warga melakukan pencarian pada para korban tertimbun.

Pada Kamis sore pukul 18.00 WIB, tiga orang berhasil ditemukan sudah meninggal dunia. Pencarian terus hingga Minggu dan menemukan dua korban. Sampai Minggu sore ada lima korban jiwa.

Raditya Jati, Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB mengatakan, tanah longsor karena dipicu hujan dengan intensitas tinggi pada Kamis pukul 18.00 WIB di Batang Toru.

Menurut dia, berdasarkan analisis InaRisk, Tapanuli Selatan memiliki potensi bahaya tanah longsor sedang hingga tinggi yang berdampak pada 14 kecamatan. BNPB mengimbau, masyarakat tetap waspada dengan mitigasi dan kesiapsiagaan sesuai potensi bencana di wilayah itu.

 

Baca: Populasi Orangutan Tapanuli Banyak Ditemukan di Lokasi Pembangunan PLTA Batang Toru


Longsor ini berada di wilayah proyek pembangkit listrik air PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE). Namun tidak ada satupun dari perusahaan yang mau memberikan penjelasan soal longsor ini.

Emmy Hafid, Senior Advisor NSHE ketika dihubungi juga enggan memberikan keterangan. Dia mengarahkan bisa mengkonfirmasi ke humas perusahaan karena selama dua minggu belakangan tak mengikuti yang terjadi di lapangan.

“Saya tidak mengikuti apa yang terjadi di lapangan saat ini karena sedang sakit. Silakan ke humas aja, ” katanya.

Serupa juga disampaikan Myrna Soeryo, Konsultan Komunikasi PLTA Batang Toru. Dia belum mau memberikan keterangan dan menyuruh mengkonfirmasi kejadian pada Humas Pemerintahan Tapanuli Selatan.

Noted. Saya tampung dulu ya. Dikoordinasikan dulu dengan teman-teman NSHE di site. Silakan ke Humas Pemkab Tapanuli Selatan dulu karena semua informasi terpusat di sana, ” katanya.

 

Baca juga:  Para Ilmuan Dunia Kirim Surat ke Jokowi Khawatir Pembangunan PLTA Batang Toru

Alat berat menggali longsoran untuk mencari warga yang tertimbun. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Proyek di wilayah rawan

Teuku Abdullah Sanny, pakar geofisika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ketika diwawancarai mengatakan, perlu diketahui penyebab longsor apakah berhubungan dengan gempa atau tidak. Yang jelas, katanya, peristiwa longsor itu terjadi karena berbagai macam hal.

Kalau melihat dari geografik ekosistem Batang Toru, katanya, topografi sangat terjal. Apalagi, katanya, ada rencana bangunan bendungan banyak di daerah-daerah terjal guna mendapatkan gradien air jatuh dalam turbin. “Ini biasa di tebing tinggi,” katanya.

Dia mengingatkan, harus menjadi perhatian kalau wilayah itu adalah hutan. Ketika tanah terbuka, air mengalir secara alami. Daya tahan lereng melemah menyebabkan tanah melebur dan menyebabkan erosi, lama-lama air jenuh dan terjadilah longsor.

“Konsepnya, karena topografi terjal, begitu tanah dibuka untuk kepentingan bendungan tanah akan melebur, terjadi erosi dan longsor tak bisa dielakkan, “ katanya yang pernah datang ke Batang Toru dan melihat kondisi perbukitan terjal di sekitar proyek PLTA itu.

Menurut Sanny, ekosistem Batang Toru merupakan daerah sesar atau patahan aktif. Ada sesar Renun, Sihanok, Barumun dan Angkola, yang terkenal dan sangat aktif tersambung dengan patahan Toru.

Andai pun patahan itu tak aktif, dengan ketinggian tebing curam lebih 45 derajat begitu terbuka akan menimbulkan kelemahan daya tahan daya ikat tanah.

 

Baca juga:  Walhi Gugat Gubernur Sumut soal Izin Lingkungan PLTA Batang Toru

Bukit di Batang Toru dengan kemiringan terjal rawan longor kalau tutupan terbabat. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Lebih parah lagi, apabila sesar itu aktif. Begitu terjadi gempa, katanya, sudah dipastikan tebing akan rontok.

Untuk itu, katanya, perlu tenaga mumpuni untuk memperbaiki jalur ini nya. Kemiringan lereng tinggi menyebabkan potensi longsor. Terlebih, katanya, batuan-batuan lepas hasil gunung api itu kemungkinan besar longsor.

Dia memberikan masukan langkah yang bisa dilakukan antara lain, bisa memadatkan tanah kemudian memberi jaringan dari plastik atau bahan polimer tertentu hingga tanah tidak berhubungan langsung dengan air hujan.

Sanny  menduga, perusahaan tidak melakukan itu. Alhasil, saat hutan atau tanah bertutupan terbuka maka longsor akan terus mengintai.

Menurut dia, ada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 27/2015 tentang syarat bendungan menyangkut konsep keamanan bendungan dan kaidah-kaidah keamanan bendungan. Semua itu, katanya, tertuang dalam bentuk norma standar pedoman dan manual.

Dalam aturan itu, pertama, menyangkut konsep peraturan bendungan secara umum. Kedua, keamanan struktur. Ketiga, pemantauan pemeliharaan dan operasi. Keempat, kesiapsiagaan tindak kedaruratan.

“Itu sudah ada diatur UU di dalamnya. Jika tidak dijalankan perusahaan konsekuensinya bisa seperti saat ini, bencana longsor, ” kata Sanny.

Dia tak menutup mata kalau bendungan bermanfaat bagi penduduk tetapi menyimpan potensi berbahaya besar pula.

Sanny mencontohkan, Bendungan Situ Gintung yang jebol beberapa tahun lalu. Tumpahan air mencapai satu juta M3, menyebabkan korban jiwa hampir 100 orang. Kerusakan lingkungan juga parah termasuk kehancuran rumah dan fasilitas sosial.

“Itu kondisi Bendungan situ Gintung dan jadi pelajaran untuk proyek-proyek lain. Jadi sebenarnya Undang-undang sudah mengatur tentang itu tetapi dijalankan atau tidak? Wallahu a’lam,“ katanya.

Untuk pembangunan bendungan proyek PLTA di wilayah rawan bencana, katanya, ada beberapa kajian harus dilakukan seperti kajian desain, pelaksanaan konstruksi, kemudian pelaksanaan pengisian awal.

Kajian itu, katanya, harus menjadi perhatian serius dan cermat agar tak menimbulkan masalah seperti sekarang.

Saat ini saja saat proyek belum selesai sudah ada masalah, dia khawatir ke depan bisa menimbulkan kerugian besar lagi.

Pemerintah, katanya, harus membentuk tim independen yang punya integritas untuk memantau proyek ini. Para tehnisi harus terbuka dengan apa yang terjadi.

Pemerintah harus membentuk tim yang bertugas untuk memantau proyek ini karena lokasinya berada di rawan bencana, para teknisi harus terbuka dengan apa yang terjadi.

“Turunkan kaum profesional, jika tidak bisa, sebaiknya proyek ini disetop.”

 

Anjing pelacak diturunkan untuk mencari korban tertimbun longsor di area proyek PLTA Batang Toru. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Donni Latupeirissa, Direktur Walhi Sumut mengatakan, Walhi sudah menyampaikan jauh hari sebelum longsor memakan korban. Dalam proyek pembangunan ini, katanya, tak ada mitigasi bencana kalau melihat analisis dokumen analisis mengenal dampak lingkungan (amdal). Hal ini pula, katanya, yang menjadikan dalil gugatan Walhi terhadap izin lingkungan.

Sejak awal pembangunan proyek, katanya, Walhi Sumut sudah khawatir kalau terus jalan akan menimbulkan bencana ekologis di Batang Toru. Apalagi, katanya, wilayah itu daerah rawan gempa dengan kontur tanah labil.

Longsor pun bukan kejadian pertama. Sebelumnya, pada Desember 2020 juga longsor yang menyebabkan operator eksavator hilang.

Walhi Sumut pun mendesak, pertama, setop pembangunan di wilayah rawan bencana terlebih perusahaan minim mitigasi. Kedua, evaluasi proyek-proyek di lansekap Batang Toru.

Ketiga, usut tuntas bencana longsor di areal proyek PLTA Batang Toru. Keempat, cegah ancaman degradasi lanskap Batang Toru dari industri ekstraktif. Kelima, Walhi menuntut perbaiki tata kelola perizinan proyek di lansekap Batang Toru.

Roy Lumban Gaol, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Sumut, mengatakan,kejadian ini contoh lain mengapa proyek merusak ini harus segera disetop selamanya.

“Pengembangan kawasan itu harus ditangguhkan. Pemerintah Indonesia harus menunda amdal untuk proyek ini dan segera meninjau ulang kelangsungan proyek itu terkait risiko, keselamatan pekerja, integritas struktural terkait risiko banjir dan gempa.” Belum lagi, katanya, ancaman pembangunan bendungan itu terhadap keragaman hayati, termasuk orangutan Tapanuli.

Organisasi lingkungan internasional, Mighty Earth juga merespon kejadian ini. “Kami mengimbau NSHE dan pejabat pemerintah di semua tingkatan memberikan bantuan dan dukungan secepatnya kepada yang terdampak serta mengambil tindakan mencegah kerusakan dan bahaya lebih jauh,” kata Amanda Hurowitz, Direktur Kampanye Mighty Earth.

Dia menyayangkan, bencana ini terjadi. Padahal, katanya, ilmuwan, pejuang lingkungan, bahkan berbagai laporan sudah memperingatkan medan di sekitar proyek bendungan Batang Toru rawan longsor karena curah hujan tinggi. “Medan berbukit-bukit dan drainase buruk,” katanya, dalam rilis kepada media.

Proyek itu, katanya, juga terletak tak jauh dari garis patahan bumi di wilayah rawan gempa. Terlebih lagi, lima bulan lalu juga terjadi longsor hingga menewaskan seorang pekerja Tiongkok. Peristiwa itu, katanya, seharusnya jadi peringatan.

 

Longsor terjadi di area proyek PLTA BAtang Toru. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

***

Foto utama: Pencarian korban tertimbun longsor di area pembangunan proyek PLTA BAtang Toru. Foto: BNPB

 

 

 

 

Exit mobile version