Mongabay.co.id

Mewaspadai Perkawinan Sedarah Badak Sumatera

Badak sumatera yang nasibnya dibayangi kepunahan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Penyelamatan populasi badak sumatera harus terus dilakukan. Perburuan dan hilangnya habitat telah memicu terjadinya penurunan populasi yang tajam. Spesies terancam punah, Dicerorhinus sumatrensis, yang pernah ditemukan di Asia Tenggara, dari kaki bukit Himalaya hingga Pulau Kalimantan dan Sumatera, kini hanya ditemukan di Indonesia. Ahli konservasi memperkirakan, kurang dari 100 individu badak yang bertahan di alam liar, hidup di kantong hutan yang terisolasi.

Jumlah yang sedikit, terisolasi, ditambah angka kelahiran yang rendah telah menimbulkan kekhawatiran para peneliti dan pegiat lingkungan bahwa badak tersisa kemungkinan akan menghadapi masalah perkawinan sekerabat. Ini, tentunya berpengaruh pada keanekaragaman genetiknya.

Sebuah studi terbaru di Nature Communications, edisi 26 April 2021 memberikan informasi penting bagi para konservasionis badak. Penelitian yang dipimpin oleh Centre for Palaeogenetics di Stockholm dan sebuah tim peneliti internasional, mengungkapkan bahwa populasi badak sumatera tersisa di Kalimantan dan Sumatera menunjukkan tingkat perkawinan sekerabat yang rendah, serta keragaman genetik yang lebih tinggi dari perkiraan semula.

“Kami sangat terkejut,” kata Johanna von Seth, kandidat doktoral di Center for Palaeogenetics yang juga penulis utama studi tersebut. “Dalam hal genetika, ini adalah hasil terbaik yang bisa kita dapatkan.”

Ini merupakan kabar baik bagi pengelolaan konservasi dari populasi tersisa yang menunjukkan masih ada waktu untuk melestarikan satwa bercula dua tersebut.

Love Dalén, profesor genetika evolusioner di Center for Palaeogenetics yang juga rekan penulis, mengatakan bahwa temuan itu menunjukkan badak tersisa masih memiliki “alat” untuk dapat menangani ancaman penyakit dan perubahan iklim beserta lingkungan di masa depan.

“Artinya, jika kita berhasil mendapatkan kembali jumlah badak dan melestarikan keanekaragaman genetiknya, ini akan sangat membantu upaya penyelamatan jangka panjang, ”kata Dalén.

Para peneliti juga melihat pola genetik populasi badak yang baru punah di Semenanjung Malaysia. Temuan menunjukkan, badak ini mengalami peningkatan perkawinan sekerabat yang cepat sebelum kepunahan, yang kemungkinan besar disebabkan populasinya yang kecil.

 

Badak sumatera di Saka Rhino Sumatera, Way Kambas, Lampung. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Menjawab teka-teki genetik

Para ilmuwan pertama kali mengurutkan seluruh genom badak sumatera pada 2017, menggunakan sampel Ipuh, seekor jantan di Kebun Binatang Cincinnati, induk dari tiga keturunan. Genom Ipuh menunjukkan bahwa spesies tersebut memiliki tingkat keragaman genetik relatif rendah, yang populasi badak sumatera di dunia mencapai puncaknya sekitar 57.800 individu, sejak zaman es terbaru. Setelah itu, populasinya terus menurun.

Pada 2017, para peneliti menyampaikan hasil analisis genom DNA mitokondria, tentang kapan tiga subspesies badak sumatera mulai menyimpang. Mereka menemukan, nenek moyang terbaru badak sumatera hidup sekitar 360.000 tahun silam dan subspesies mulai menyimpang sekitar 80.000 tahun lalu, sebagaimana peristiwa biogeografi utama di wilayah Sundaland.

Dari tiga subspesies, dua masih hidup bersama kita saat ini: badak sumatera bagian barat [Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis], ditemukan di Sumatera, dan badak sumatera di Kalimantan yang lebih kecil [Dicerorhinus sumatrensis harrissoni]. Subspesies ketiga, yang dulunya berkeliaran hingga India, Bangladesh, dan Thailand utara, Dicerorhinus sumatrensis lasiotis, telah punah.

Keberadaan dua subspesies yang masih ada di Kalimantan dan Sumatera menimbulkan dilema konservasi: dengan jumlah yang menyusut, haruskah kedua populasi dicampur untuk mencegah perkawinan sekerabat dan erosi genetik?

Ketertarikan Dalén meneliti badak sumatera dipicu dari partisipasinya dalam studi genomik pada badak berbulu, Coelodonta antiquitatis. Badak sumatera adalah kerabat terdekat spesies yang punah, jadi timnya pertama-tama mengurutkan genom Kertam, badak sumatera jantan yang ditangkap kemudian tinggal di Suaka Badak Kalimantan di Malaysia, untuk digunakan sebagai panduan referensi. Setelah mengetahui bahwa badak sumatera berada di ambang kepunahan, Dalén meluncurkan sebuah proyek untuk mempelajari tantangan yang mereka hadapi.

 

 

Peringatan keras

Untuk mempelajari tingkat perkawinan sekerabat dan variasi genetik dalam populasi badak sumatera saat ini, tim peneliti mengurutkan genom dari 21 badak hidup dan spesimen museum. Genom Kertam digunakan sebagai panduan untuk memetakan fragmen DNA dari setiap sampel untuk mengumpulkan setiap genom.

Tingkat perkawinan sekerabat yang relatif rendah pada populasi badak saat ini kemungkinan besar disebabkan oleh penurunan ukuran populasi yang terjadi: “Dalam kurun waktu satu atau dua generasi,” menurut Dalén. Ini berarti, perkawinan sekerabat belum dapat mengejar ukuran populasi badak yang kecil saat ini.

Namun, para peneliti juga menemukan bahwa ada banyak mutasi yang berpotensi berbahaya dan tersembunyi dalam genom badak tersebut. Banyak dari mutasi ini dalam heterozigot, tetapi jika perkawinan sekerabat dimulai, konsekuensinya bisa menjadi parah.

“Kecuali populasi mulai bertambah besar, ada risiko tinggi bahwa tingkat perkawinan sekerabat akan mulai meningkat, dan akibatnya penyakit genetik akan menjadi lebih umum,” ungkap Nicolas Dussex, peneliti postdoctoral di Center for Palaeogenetics yang juga ikut penelitian tersebut, dalam sebuah pernyataan.

Tim peneliti juga mengungkapkan, populasi badak di Semenanjung Malaysia mengalami lonjakan cepat dalam tingkat perkawinan sekerabat sebelum mereka punah. Para peneliti juga menemukan pola genetik yang mengindikasikan perkawinan sekerabat, fenomena yang sering ditemukan pada populasi kecil, dimana kedua induk yang berkerabat dekat menghasilkan keturunan yang menderita penyakit genetik.

“Mungkin apa yang terjadi di populasi Semenanjung Malaysia berfungsi sebagai peringatan, apa yang mungkin segera terjadi pada populasi lain,” kata Dalén.

 

 

Untuk dikawinkan atau tidak

Penemuan badak sumatera betina liar baru-baru ini di Kalimantan, Indonesia, memicu diskusi tentang bagaimana mencegah efek perkawinan sekerabat di masa depan. Beberapa ahli menganjurkan, pencampuran subspesies Kalimantan dan Sumatera, tetapi hal ini membawa risiko genetik terkait pencampuran populasi yang telah beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar terpisah.

“Ada risiko, jika individu dipindahkan ke lingkungan baru, gen mereka kurang beradaptasi dengan baik. Akibatnya, menurunkan kesehatan dari populasi, yang dikenal sebagai depresi perkawinan sekerabat,” menurut von Seth.

Perbandingan genom dari subspesies Kalimantan dan Sumatera tidak memunculkan bukti adaptasi lokal, yang menunjukkan bahwa pertukaran genetik antara kedua kelompok tidak akan membahayakan subpopulasi. Para peneliti menyarankan, pertukaran gen antara Kalimantan dan Sumatera dapat dilakukan, baik dengan mentranslokasi individu atau menggunakan inseminasi buatan.

Alfred Roca dari University of Illinois di Urbana-Champaign, memimpin sebuah penelitian tahun 2018 yang mengamati subspesies badak sumatera, menganjurkan pencampuran dua subspesies tersisa. “Jumlah spesies sangat rendah, sehingga saya tidak melihat adanya alternatif selain menggabungkan hewan yang terisolasi itu di penangkaran,” katanya.

Namun, Terri Roth, seorang ahli fisiologi reproduksi dan wakil presiden bidang konservasi dan sains di Kebun Binatang Cincinnati, mengatakan bahwa meskipun hasil genetik mungkin menunjukkan perkawinan subspesies tidak akan menjadi masalah, namun aspek biologi dasar mereka berperan penting.

“Badak betina di Kalimantan memiliki ukuran setengah dari badak jantan di Sumatera. Keberhasilan dan tantangan potensial dalam membiakkan kedua populasi ini ketika morfologinya sangat berbeda adalah sesuatu yang membutuhkan pertimbangan serius, ”kata Roth, yang mengawasi program penangkaran di Kebun Binatang Cincinnati. “Sains sangat penting, tetapi kita juga harus berhenti sejenak untuk melihat mereka sebagai hewan dengan cara yang praktikal.”

 

Kertam, atau “Tam” badak sumatera yang mati pada 2019. Kertam adalah badak jantan terakhir di Malaysia. Foto: Scuba Zoo.

 

Diperlukan lebih banyak badak

Roth, yang tidak terlibat dalam studi tersebut, mengatakan bahwa temuan ini merupakan berita bagus. “Ketika Anda memiliki populasi sangat kecil, pasti khawatir akan hilangnya keragaman genetik karena perkawinan sekerabat. Tetapi, beberapa populasi menyusut ukurannya dengan tetap mempertahankan keragamannya.”

Reproduksi badak sumatera memang lambat. Betina mencapai kematangan seksual pada usia 6 atau 7 tahun, dan jantan usia 10 tahun. Selain itu, betina hanya kawin sekali setiap empat atau lima tahun, dan masa mengandung 16 bulan. Karena itu, kata Roth, dampak keragaman genetik badak sumatera dari perkawinan sekerabat akan membutuhkan waktu lebih lama untuk muncul dibandingkan dengan banyak spesies lainnya.

Hilangnya kesuburan merupakan masalah yang ditemukan di alam liar, dimana badak sumatera betina menghabiskan waktu yang lama dalam keadaan non reproduktif karena sangat terbatasnya kesempatan untuk bertemu dengan badak lain.

Mengingat tingkat kelahiran alami yang rendah dan jumlah badak yang terus menurun, membuat para ahli mencapai kesepakatan, intervensi manusia diperlukan untuk mencegah kepunahan. Pemerintah Indonesia, ahli lokal dan internasional, dan kelompok konservasi melakukannya, dengan tujuan meningkatkan jumlah populasi di fasilitas penangkaran.

Saat ini, tujuh badak penangkaran hidup di Taman Nasional Way Kambas, Sumatera, dan satu betina di Suaka Kelian, Kalimantan Timur.

Meskipun informasi tentang tingkat perkawinan sekerabat berguna untuk program penangkaran seperti itu, penilaiannya masih tergantung pada status populasi. Jika ada banyak hewan dalam suatu populasi, pengelola konservasi dapat memilih pasangan yang cocok dan tidak berkerabat. Tetapi jika hanya ada sedikit individu, seperti dalam kasus badak sumatera, maka ‘kemewahan’ semacam itu tidak ada.

“Ini pentingnya menghasilkan lebih banyak keturunan secepat mungkin, untuk menghindari perkawinan sekerabat dalam banyak kasus,” kata Roth. “Jika Anda hanya memiliki kerabat dekat, Anda membiakkannya karena Anda membutuhkan keturunan atau spesiesnya punah. Selain itu, badak betina akan kehilangan kesuburannya jika Anda tidak membiakkannya selama bertahun, jadi tidak disarankan untuk menunggu kedatangan badak jantan lain.”

Ini adalah tantangan yang dihadapi para pengelola di Suaka Badak Sumatera. Delilah, badak betina yang lahir di sana pada 2016, diharapkan mencapai kematangan seksual tahun ini. Namun, ketiga badak jantan yang ada di penangkaran memiliki hubungan kekerabatan dengan dirinya: ayah, saudara laki-laki, dan pamannya. Memilih jantan yang paling tidak memiliki hubungan adalah satu-satunya pilihan.

“Menurut pendapat saya, dua prioritas tertinggi adalah untuk melanjutkan pembiakan betina yang saat ini berada dalam program breeding terkelola di Taman Nasional Way Kambas. Juga, menjaring beberapa individu lagi untuk mendukung program ini dengan menyediakan beberapa individu yang tidak berkerabat sebagai pasangan untuk anak badak yang sudah dilahirkan, ”kata Roth.

Menurut Zulfi Arsan, dokter hewan senior di Suaka Badak Sumatera, rencana untuk memasukkan lebih banyak badak ke dalam penangkaran sedang dilakukan. Pekerjaan pembuatan kandang baru telah selesai, yang berpotensi dapat menampung hingga lima badak lagi. Ia mengatakan, ada lebih banyak pilihan untuk menjodohkan jantan muda, Andatu, yang lahir tahun 2012, yang juga akan mencapai kematangan seksual tahun ini, karena betina dalam penangkaran tersebut berasal dari berbagai lokasi di Sumatera.

 

Induk dan anak: Ratu [kanan] dan Delilah [kiri], difoto tahun 2017 di Suaka Badak Sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: Jeremy Hance/Mongabay

 

Bantuan teknologi

Salah satu cara untuk meningkatkan keberhasilan pembiakan adalah dengan mulai menggunakan teknologi reproduksi berbantuan atau assisted reproductive technologies [ART] seperti inseminasi buatan. Meskipun teknologi ini belum pernah berhasil pada badak sumatera, namun beberapa ahli mengatakan bahwa metode ini memiliki potensi sangat besar.

“Pada spesies dengan ukuran populasi sangat kecil, keanekaragaman genetik berkurang cepat,” kata Alfred Roca. “Tingginya keanekaragaman yang terdeteksi pada generasi saat ini menekankan perlunya mengumpulkan garis sel dan gamet dari setiap individu yang masih hidup, baik liar maupun dalam program penangkaran, sehingga keanekaragaman genetiknya dapat dilestarikan. Pada akhirnya, dikembalikan ke generasi badak di masa depan melalui teknologi reproduksi lanjutan.”

Rudi Putra yang telah bekerja selama lebih dua dekade di Ekosistem Leuser, Sumatera, memperkirakan di wilayah ini terdapat sejumlah badak di alam liar. Dia meyakini, teknik seperti inseminasi buatan kemungkinan akan menjadi alat penting untuk menyelamatkan badak sumatera di masa depan.

“Teknologi bergerak sangat cepat, jadi saya yakin ART akan membantu perkembangbiakan badak tepat waktu.”

Para konservasionis di Ekosistem Leuser sekarang fokus menangkap individu-individu dari populasi kecil yang terfragmentasi, terdampak pembangunan jalan di seluruh habitat hutan mereka.

“Populasi ini tidak menunjukkan bukti perkembangbiakan,” kata Rudi. “Kami mencoba menangkap mereka untuk dibawa ke penangkaran, fasilitas pembiakan baru yang sedang kami siapkan.”

Bersama pemerintah daerah dan pusat, para konservasionis telah memutuskan lokasi pusat penangkaran baru di Provinsi Aceh. Rudi berharap, badak yang baru ditangkap dapat berkontribusi pada pertambahan populasi sebagaimana di Way Kambas. “Di Leuser dan Way Kambas, [subpopulasi] serupa, kami berpeluang menggunakan ART dan mengangkut badak untuk berkembang biak secara alami,” katanya.

Meskipun genetik dan teknik lanjutan tidak dapat menyelesaikan segala hal untuk badak sumatera, pada akhirnya konservasi klasik di lapangan yang akan membuahkan hasil. Love Dalén mengatakan, ia berharap studi baru ini dapat membawa harapan dan memberikan pengelola konservasi dengan informasi penting tentang keterkaitan individu badak.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Sumatran rhinos show low inbreeding — but when it happens, collapse is quick. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Referensi:

 

 

Exit mobile version