Mongabay.co.id

Kala Petani di Arso Mulai Remajakan Kebun Sawit [1]

 

 

 

 

Eksavator merobohkan satu persatu tanaman sawit di lahan petani ikut peremajaan di Kampung Yamanaa PIR I Distrik Arso, Papua, pada Maret lalu. Kampung ini punya lahan sawit sekitar 502 hektar. Dalam kebun ini, ada tanaman lain sudah menyaingi tinggi sawit hingga membentuk hutan baru. Semua dirobohkan.

Batang sawit dicacah jadi bagian kecil biasa disebut tumbang chipping. Asap mengepul di beberapa titik. Batang sawit dan tanaman lain mulai mengering terbakar.

Petani plasma eks PTPN II Arso, mendapat bantuan program peremajaan sawit rakyat (PSR) setelah sekitar 10 tahun ini tak ada kejelasan pasca perusahaan sawit negara itu tak lagi jalan. Kementerian Pertanian melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menetapkan sekitar 3.600 hektar lahan peremajaan di Keerom, Papua.

Petani mendapat dana hibah Rp30 juta perhektar. Dengan hitungan satu kapling dua hektar per petani, total dana Rp60 juga.  Dengan mengumpulkan sertifikat tanah, kartu keluarga (KTP), dan kartu tanda penduduk (KTP), para petani bisa ikut program ini.

Bantuan diberikan kepada petani lewat Koperasi Ngkawa. Koperasi memutuskan menyerahkan pengerjaan kepada pihak ketiga, yaitu PT Sutran Ina Perkasa (SIP). Perusahaan ini yang bertanggung jawab mulai pembukaan lahan, penanaman, perawatan, hingga mendirikan pabrik untuk membeli sawit warga.

Warga sebagian ikut, sebagian masih ragu. Ada yang memantapkan diri dan ikut memperjuangkan program peremajaan, ada juga yang memutuskan beralih ke jenis usaha lain.

Berbagai alasan melatarbelakangi pilihan mereka. Satu yang sama, semua pernah merasakan pengalaman buruk mengelola sawit bersama PTPN II.

Di Kampung Yamanaa PIR I Distrik Arso, Piter Rumbarar dan Sunardi, hari itu sedang mengawasi pekerja SIP.

Keduanya petani juga pengurus Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kampung Yamanaa. Mereka aktif mengajak petani ikut program peremajaan dan mengurus proses peremajaan ini. Ada 12 kelompok petani di Kampung Yamanaa.

“(Penebangan) mulai dari kelompok tiga, itu pun masih separuh. Sudah ditumbang tiga, empat, lima, enam, sampai sekarang mulai masuk untuk kelompok 11 dan 12,” kata Piter.

 

Baca juga: Kala Masyarakat Tuntut Hak Ulayat dari Perusahaan Sawit Negara di Keerom [1]

Piter berasal asal Biak. Sejak 1986, berada di Arso dan menjadi pekerja di PTPN II. Pertama kali bekerja sebagai buruh harian lepas (BHL) lalu menjadi mandor penyiangan dan panen.

“Sampai sekarang sawit sudah tidak jalan, kita jalan untuk pengurusan replanting sawit ini.”

Awalnya Piter menolak ikut peremajaan. Dia kehilangan kepercayaan pada PTPN II. Ketika ada tawaran Koperasi Ngkawa dan SIP yang akan menangani program peremajaan, dia memutuskan ikut.

Sunardi, warga transmigrasi asal Jawa Timur.  Selama hasil sawit mati total, Sunardi beralih ke bisnis mebel dan beternak ayam. Setelah ada program peremajaan, dia menyediakan banyak waktu ikut mendorong program ini. Keyakinannya, sawit membuat ekonomi wilayah ini kembali tumbuh macam masa awal PTPN II aktif.

Saat ini, katanya, banyak petani masih ragu. Mereka takut nanti ditinggalkan perusahaan dan kesulitan menjual buah sawit seperti pengalaman dengan PTPN II.

“Tidak semudah itu. Kan ada ikatan hukum. Kenapa kita takut? Artinya kalau SIP punya perlakuan begitu, ya berarti kan dia melawan hukum.”

Dia bilang, tidak mudah memberi pemahaman kepada petani, perlu waktu lama. Kondisi ini berdampak pada penerbitan rekomendasi teknis (rekomtek) lahan lambat. Meskipun begitu, di Kampung Yamanaa, sudah ada 328 hektar siap peremajaan.

“Ini memang belum. Masih banyak orang tanda tanya. Apa iya? Tapi seandainya saya dikasi umur panjang, saya tetap berusaha. Karena saya mengharapkan program ini jalan baik.”

Di lokasi sama sudah ada mulai pembibitan. Perkiraan bibit baru tanam dalam waktu setahun ke depan. Petani mendapatkan kesempatan memanfaatkan lahan untuk menanam tanaman lain.

Sunardi yakin program ini akan mendatangkan kesejahteraan pada petani.

“Sampai sekarang pemerintah merumus sampai biodisel dan lain-lain. Pemerintah sampai punya program ini bantuan dana hibah Rp60 juta perkapling, kenapa kita tidak optimis?”

 

Baca juga: Hasil Sawit Redup, Petani Arso Hidup Terlilit Utang Bank [2]

 

Proses panjang

Saya menemui pengurus Koperasi Ngkawa di kantor mereka di PIR II Kampung Yamaraa. Ada Lambert Wellip selaku ketua dan Mudrikah sebagai bendahara. Mudrikah satu tokoh kunci di balik program peremajaan ini.

Dia bercerita lika-liku mendapat program peremajaan ini. Masalah ganti rugi tanah masyarakat adat, ketidakpercayaan petani hingga pandangan miring orang akan kemampuannya dan koperasi untuk menjalankan peremajaan. Semua itu, katanya, tidak menyurutkan Mudrikah.

Dia berjalan dari rumah ke rumah meyakinkan petani ikut memperjuangkan peremajaan sawit.

“Ketika kita tidak, masa depan anak-anak kita akan seperti apa? Kita punya aset hanya dua hektar. Ketika dua hektar tidak kita manfaatkan, apa yang akan kita manfaatkan untuk membiayai keluarga kita? Menghidupi anak-anak kita? Itu yang menjadi titik semangat saya.”

Sejak 2015, Mudrikah tanpa sengaja berkomunikasi dengan organisasi petani perkebunan terkait kondisi petani eks PTPN II. Dari hasil komunikasi itu, ada pekatihan peremajaan sawit pada Juni 2016.  BPDPKS membiayai pelatihan ini. Sebanyak 100 petani ikut pelatihan.

“Seratus orang inilah yang pertama kali mengumpulkan persyaratan untuk peremajaan.”

Tahun 2016, petani mulai ajukan peremajaan sawit. Masalah dengan masyarakat adat dan respon pemerintah kurang membuat proses berjalan lambat.

Pada 2017, Murdikah ke Jakarta dan bertemu Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian. Hasil dari petemuan itu, Dirjenbun lalu datang ke Arso dan melihat kondisi kebun sawit. Kepastian medapat program PSR baru pada 2018.

Koperasi pun gencar sosialisasi ke petani dan masyarakat adat. Petani juga mulai dilatih menggunakan aplikasi PSR. Dinas menunjuk pendamping-pendamping program peremajaan di kampung-kampung. Dibantu staf Dinas Pertanian, usulan peremejaan diverifikasi di kabupaten dan provinsi.

Program peremajaan ini akan berlangsung hingga 2023 dengan target 3.600 hektar. Yang ditetapkan dalam perjanjian Koperasi Ngawa dengan SIP adalah 3.000 hektar.

SIP, merupakan perusahaan yang menawarkan jasa konstruksi, leveransir, land clearing, tambang, mill project, dan perdagangan umum. Perusahaan ini beralamat di Arso II, Keerom.

Menurut Mudrika, Andi Sutran, direktur SIP memiliki pengalaman mendirikan pabrik sawit di beberapa perkebunan di Jayapura. Hal itulah, katanya, yang menjadi dasar bagi koperasi bekerjasama dengan SIP.

“Pekerjaan utuh dari P0-P3 tanaman menghasilkan, itu memang dikerjakan mitra (SIP). Dengan catatan, mitra nanti menyiapkan hilirisasi yaitu menyiapkan satu pabrik. Jadi, pabrik tetap akan disediakan mitra. Perjanjian kerjasama jual beli tandan diatur nanti.”

 

Baca juga: Perusahaan Sawit Negara di Arso Ini Hidup Segan Mati Tak Mau [3]

Kebun sawit yang sudah ditanami beragam menyerupai hutan di Arso. Ketika ikut program peremajaan semua tanaman itu ditebang, tak hanya sawit. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Dari sertifikat sampai kredit petani

Koperasi Ngkawa, masih harus bekerja keras mencapai target 3.000 hektar dan memastikan mendapatkan pinjaman dana peremajaan. Terlebih, katanya, banyak petani sedang mengagunkan sertifikat di bank atau berganti kepemilikan.

Untuk sertifikat yang tertahan di bank, pengurus koperasi meminta bank men-scan sertifikat asli. Hasil scan itu yang dipakai sebagai syarat. Petani dengan sertifikat sudah berganti pemilik harus menyertakan surat keterangan pergantian nama dari kepala kampung setempat.

Selain itu, pengurus koperasi juga masih harus mengurus kredit baru bagi petani di bank untuk membiayai peremajaan. Kebutuhan dana peremajaan mulai pembersihakn hingga panen Rp75 juta perhektar.

Dengan hitungan satu petani memiliki dua hektar, total kebutuhan Rp150 juta. Pemerintah membantu dana peremajaan Rp30 juta per hektar atau Rp60 juta per petani.

“Itu sampai di penanaman tok. Nanti untuk pupuk, rawat, pengendalian gulma dan lain-lain, itu masih kita ngutang. Masih kita cari pembiayaan dari bank,” katanya.

Jadi, petani masih memerlukan dana Rp90 juta dan dari pinjam bank. Pinjaman ini akan dipakai untuk perawatan, pemupukan hingga pengendalian gulma sampai pada masa panen. Pinjaman akan dikembalikan petani ketika sawit sudah panen.

Pengurus koperasi masih terus berkoordinasi dengan bank untuk mendapatkan kredit. Mengingat sebagian sertifikat lahan peremajaan masih ditahan bank dan hanya berupa hasil scan, maka sistem kredit adalah sistem tanggung renteng.

Dengan sistem ini, katanya, kredit diajukan atas nama kelompok dengan memakai jaminan sertifikat asli yang sudah ada. Beberapa bank pemerintah sudah menyetujui sistem ini. Proses pengajuan kredit dari sekarang hingga setelah penanaman.

Dalam perjanjian antara Koperasi Ngkawa dengan bank, SIP akan berperan sebagai penjamin (avalis).

“Ia menjadi penjamin bahwa sawit pasti akan berhasil dengan baik dan pasti akan melunasi utang itu.”

 

Batang sawit yang sudah dirobohkan dan dicacah di Arso. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Mengawal program peremajaan

Sunar, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Keerom menyatakan, tugas pemerintah memfasilitasi petani seperti invetarisasi dan verifikasi data dan lahan.

“Berapa luas yang sudah terverifikasi dan memenuhi syarat itu nanti dari kementerian, dari BPDPKS mengeluarkan rekomendasi,” katanya.

Sedang dana masuk ke rekening kelompok masing-masing dan mereka memberikan kuasa kepada lembaga.

“Di sini yang sudah berjalan adalah Koperasi Ngkawa. Kalau tidak bisa kerja sendiri harus ambil mitra.”

Sebelum ada perjanjian dengan SIP, koperasi bersama pemerintah menghitung biaya yang diperlukan dalam proses peremajaan terutama dari tumbang chipping hingga penanaman. Begitu juga proses menggandeng bank untuk membiayai perawatan sampai panen melalui skema tanggung renteng.

“Itu cara dari lembaga (koperasi) untuk menolong petani-petani yang sertifikat masih tertahan di bank. Lembaga koperasi mencari perbankan yang mau membiayai produksi sawit ini secara tanggung renteng. Kalau nanti ada perbankan bisa membiayai tanggung renteng, nanti sistem pengembalian mungkin sudah dibuat oleh lembaga itu sendiri (koperasi).”

Dia bilang, banyak lahan plasma beralih kepemilikan. Ada yang kehilangan lahan dan ada juga menguasai lebih dari 10 hektar. Dalam program PSR, bantuan yang diterima per petani maksimal empat hektar.

Terkait proses peremajaan ini, kata Sunar, pemerintah sudah berkoordinasi dengan PTPN II dan perusahaan itu sudah mempersilakan.

“PSR ini khusus untuk petani pekebun. PTPN ini dengan petani plasma ini kontraknya sudah berakhir. Salah satu syarat replanting ini tanah bersertifikat dan bukan korporasi.”

Trias Fetra Ramadhan dari Yayasan Madani Berlanjutan menyatakan, petani harus menghitung dengan baik biaya peremajaan ini.

“Apakah dengan biaya replanting perhektar ini akan lebih menguntungkan petani ke depan atau malah dengan biaya operasional yang butuh lagi pinjam kredit?”

Riset Madani Berkelanjutan di Riau dan Kalimantan Barat menunjukkan, biaya produksi sawit tidak sebanding dengan harga jual tandan buah sawit (TBS). Kondisi ini membuat petani tidak sejahtera.

Apalagi, katanya, instrumen perhitungan harga TBS saat ini yang diatur dalam peraturan Menteri Pertanian tidak menguntungkan petani.

“Di dalam delapan unsur itu tujuh cenderung menguntungkan para pengusaha dibandingkan produksi dari petani. Tata niaga sawit khusus untuk petani sawit masih dikucilkan khusus perhitungan harga TBS.”

Menurut Trias, posisi petani belum menjadi prioritas pemerintah. Selain tampak dari penghitungan harga TBS, dari pungutan dana eskpor sawit pun lebih 80% untuk subsidi perusahaan. Sisanya, baru program peremajaan seperti di Arso.

“Dapat dilihat, kepentingan pemerintah atau BPDPKS terkait dengan petani kecil ini belum serius untuk peningkatan kesejahteraan maupun produktivitas melalui replanting ini.” (Bersambung)

 

 

*****

Foto utama: Pembersihan lahan untuk proses peremajaan kebun sawit eks petani plasma PTPNII Arso. Foto: Asrida Elisabeht/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version