Mongabay.co.id

Mengenal Vigur Organik, Kelompok Tani Perempuan dari Malang

 

 

 

 

Titik Widayati, sudah 14 tahun ini beralih dari seorang perias pengantin ke petani. Bagi perempuan 63 tahun ini, jadi petani adalah panggilan jiwa.

Awalnya, dia mulai bercocok tanam di pekarangan rumah di Villa Gunung Buring, Kelurahan Cemorokandang, Kedungkandang, Kota Malang, Jawa TImur. Di lahan tersisa, Titik menanam beragam sayuran organik untuk konsumsi sendiri.

“Tanpa bekal pengetahuan cara bertani,” katanya.

Budidaya sayuran organik dia lakoni untuk kebutuhan pribadi sejak menderita sakit penebalan dinding rahim atau Hiperplasia endometrium pada 2004.

Dokter menduga, dia kurang berolahraga. Padahal, selama ini Titik rutin berolahraga.

Ternyata, katanya, pola makan juga menyumbang penyakit hinggap di tubuhnya. Dia pun mengubah pola makan dengan mengonsumsi makanan organik. Kembali ke masa lalu, seperti cerita kakek neneknya yang berusia 100 tahun lebih. Mereka mengonsumsi bahan makanan alami, tanpa pupuk kimia, dan pestisida.

“Saya butuh makanan sehat. Juga memikirkan anak cucu,” katanya.

Saat menjadi Ketua PKK RT1/RW7 Kelurahan Cemorokandang, dia menggerakkan program penghijauan. Program ini menanam beragam sayuran mudah panen dan bagus bagi tubuh.

Awalnya, hanya 25 polybag berkembang total seluas satu hektar, gabungan dari seluruh anggota kelompok.

 

Beragam sayur mayur yang ditanam kelompok tani perempuan Vigur Organik. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Ceritanya, setelah dia mulai tanam organik lalu mengajak tetangganya. Kemudian mereka mendirikan Kelompok Wanita Tani (KWT) Vigur Organik.

Titik mengajak para tetangga memanfatkan lahan pekarangan tersisa untuk menanam sayuran. Mereka menanam kangkung dan caisim. Ternyata tak semua tertarik bertani. Banyak hambatan dan tantangan selama mengawali bikin kelompok tani.

Beruntung, Pemerintah Kota Malang melirik kiprah mereka dan memberi bekal pengetahuan. Mereka dapat pendampingan dan pelatihan.

Hasilnya, dalam delapan bulan, kiprah Titik mendapat apresiasi presiden. Pada 2008, dia dinobatkan sebagai “Petani Berprestasi Nasional.”

“Mendapat dana pembinaan Rp20 juta dari presiden. Uang digunakan pengembangan usaha tani,” katanya.

Rata-rata anggota kelompok ini berpendidikan SD-SMP. Selama ini, katanya, mereka minim akses makanan sehat. Dengan bertani organik, katanya, akhirnya mereka turut mengonsumsi makanan organik sehat.

Titik mengelompokkan sayuran jadi tiga grade. Grade 1 dipasarkan ke supermarket dan restoran, grade 2 konsumsi sendiri dan grade 3 untuk pakan ternak.

Pada 2010, Dinas Pertanian Kota Malang mengirim Vigur Organik mengikuti kompetisi sertifikat organik tingkat Jawa Timur dengan peserta 20 kelompok.

Hasil audit, Vigur Organik terpilih sebagai pertanian yang lolos mendapat sertifikasi organik dari Lembaga Sertifikasi Organik (Lesos). Media tanam, pupuk dan air diperiksa. Hasilnya, mereka dinyatakan layak sebagai hasil pertanian organik.

 

Produk olahan organik dari Vigur Organik. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Seleksi alam

Vigur Organik, terpilih salah satu dari enam kelompok tani secara nasional yang mendapat sertifikat organik. Sertifikat organik pula yang membuka pengembangan usaha memasarkan produk ke restoran, dan swalayan di Jember, Sidoarjo, Surabaya, Gresik, bahkan sampai Cirebon.

Titik didukung sejumlah pakar pertanian dari perguruan tinggi di Malang untuk ujicoba dan meneliti aneka jenis pupuk organik.

Mereka juga berusaha menjaga kualitas sayuran agar konsumen puas termasuk mencegah tanaman terkontaminasi pestisida.

Awalnya anggota kelompok ini 30 orang, yang bertahan tinggal tujuh orang. Baginya, itu semua seleksi alam.

Mereka hasilkan beragam sayur mulai kailan, kacang panjang, terong, caisim, kangkung, buncis, tomat, bayam, pakcoy, bawang prei, dan seledri.

“Sayuran yang banyak dikonsumsi,” katanya.

Pada 2018, setahun mampu memproduksi dua ton lebih. Kini, sekitar satu ton dengan omset sekitar Rp85 juta per bulan. Panen setiap pekan dua kali, Selasa dan Kamis.

Untuk menyiapkan media tanam, pakai pupuk kandang, kompos, tanah dan sekam bakar dengan perbandingan 1:1. Media tanam bisa dengan bekas karung, atau polybag.

Dia gunakan hanya pupuk organik cair (POC) memanfaatkan isi rumen sapi ditambah air dan susu. Lalu, difermentasi selama 10 hari sampai dua pekan. POC ini berfungsi mempercepat pertumbuhan tanaman.

Satu media tanam, katanya, harus selang-seling tanaman. Bergantian, setelah sayuran tertentu bisa berganti sayuran lain guna menghindari serangan hama dan penyakit tanaman. “Bergantian, tanaman juga jangan monokultur. Ditanam aneka jenis sayuran,” katanya. Kalau terpena hama pun, mereka pakai pestisida alami untuk mengusirnya.

Titik pula yang menyeleksi tanaman. Dia cukup peka dalam memeriksa sayuran organik. Secara kasat mata, katanya, sayuran yang dicuci bisa terlihat apakah organik atau bukan. “Jika organik, setelah dua jam dicuci terlihat segar. Yang pupuk kimia terlihat layu dan mudah busuk.”

Sayuran organik, katanya, kalau disimpan dalam kulkas bisa bertahan sampai 20 hari. Sayuran tak busuk, hanya berubah warna jadi menguning. Kelebihan lain, proses memasak jadi singkat jadi hemat bahan bakar. “Secara ekonomis sayur organik lebih murah.”

Titik juga dipercaya sebagai pembicara, trainer dan motivator kepada petani muda. Vigur Organik juga membuka pelatihan bertani bekerjasama dengan sejumlah perusahaan. Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi melakukan penelitian dan magang di sini.

Kecap buatan Vigur Organik, dari hasil kedelai tanaman sendiri. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Makanan olahan

Mulai 2013, mereka membentuk Kelompok Usaha Bersama Industri Kecil (KUBIK) Vigur Organik yang memproduksi beragam bahan makanan olahan seperti kecap, beras, cereal beras, bekatul, kerupuk, bumbu dasar kuning dan putih. Semua bahan baku organik, tanpa pengawet dari hasil setahun bereksperimen.

Kini, mereka juga olah virgin coconut oil (VCO), pisang salai dan bawang hitam. Titik juga memanfaatkan jejaring petani organik untuk suplai bahan baku hingga semua produk organik dan tanpa pengawet.

Kecap mereka produksi sendiri dengan bahan baku rempah dan kedelai produksi sendiri. Lahan kedelai seluas seperempat hektar di perumahan itu. Gula aren dari Mataram, sesuai rekomendasi Lesos. Selain itu, juga produksi kecap untuk anak berkebutuhan khusus autis. “Saya bereksperimen dua tahun,” katanya.

Kini, kecap untuk anak berkebutuhan khusus itu mereka pasarkan ke seluruh nusantara melalui sebuah toko khusus autis di Yogyakarta.

Sutiaji, Walikota Malang, mendorong pengembangkan urban farming di lingkungan masing-masing. Minimal untuk mememenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Caranya, dengan memanfaatkan lahan di sekitar rumah. “Menanam di lahan yang kecil untuk keamanan pangan,” katanya saat membuka lomba urban farming 12 April lalu.

Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Malang menggelar lomba urban farming Kategori Dasawisma Kelurahan Tingkat Kota Malang. Dengan keterbatasan lahan pertanian, katanya, memacu Pemerintah Kota Malang berinovasi menguatkan pemenuhan pangan.

 

*****

Foto utama: Kini perbulan omset Vigur Organik sekitar Rp85 jutaan. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version