Mongabay.co.id

Mengapa Kapal Asing Pencuri Ikan Marak di Perairan Natuna?

Dua dari lima kapal asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara dan telah dibawa di dermaga Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (12/4/2021). Foto : KKP

Dua dari lima kapal asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara dan telah dibawa di dermaga Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (12/4/2021). Foto : KKP

 

 

 

 

 

Kapal asing pencuri ikan masih marak beroperasi di Laut Natuna Utara, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau (Kepri). Berbagai kalangan mengungkapkan beberapa penyebab kapal-kapal asing pencuri ikan itu terus berkeliaran di perairan Natuna.

Gentio Harsono, pengajar dan peneliti di Universitas Pertahanan, mengatakan, penyebab kapal asing leluasa di laut Natuna karena kekosongan nelayan Indonesia.

“Kita bandingkan dengan Sulawesi Utara, banyak nelayan di sana memasang rumpon di perbatasan. Akhirnya, kapal asing tidak banyak. Penyebab lain, patroli juga minim,” katanya dalam diskusi virtual Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) bertema “Kejahatan IUU Fishing dan Arah Pembangunan Natuna,” April lalu.

Diskusi ini menghadirkan narasumber dari perwakilan tokoh masyarakat Natuna, akademisi, hingga pemerintah yaitu pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Senada dengan Gentio, Rodial Huda, tokoh masyarakat Natuna juga Wakil Bupati Natuna terpilih 2021-2024,

mengatakan, hal sama. Saat ini, katanya, laut Natuna sudah diisi oleh nelayan lokal dengan ukuran kapal 5GT. “Malahan kapal nelayan yang kecil sampai ke perbatasan, tetapi itu masih sedikit,” katanya.

Pemerintah Indonesia, katanya, harus meningkatkan kapasitas kapal dan jumlah nelayan Natuna untuk melaut di sana. Selama ini, nelayan Natuna memaksakan diri melaut di perbatasan dengan kapal kecil yang sebenarnya memiliki risiko sangat tinggi ketika berhadapan dengan kapal asing.

“Nelayan Natuna memang sampai ke perbatasan meskipun kapal kecil.”

 

Baca juga : Amankan 2 Kapal Vietnam, KKP: Laut Natuna Utara dan Selat Malaka Rawan Pencurian Ikan

 

Kapal Pengawas Perikanan PSDKP-KKP menangkap lima kapal Vietnam yang kedapatan melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia di Laut Natuna Utara, Selasa (27/4/2021). Foto : PSDKP KKP

 

Menurut Rodial, solusi memobilisasi kapal cantrang dari Jawa ke Natuna malahan menimbulkan konflik. Nelayan Natuna melihat terjadi ketimpangan kebijakan.

“Tetapi kalau nelayan Jawa itu gunakan alat tangkap seperti yang digunakan nelayan Natuna, saya kira tidak akan terjadi masalah seperti sekarang,” katanya.

Kondisi geografis Natuna yang sangat jauh dari pusat Kepri (Tanjungpinang) membuat pengawasan laut tak berjalan optimal. Selama ini, belum terlihat pengawasan pemerintah provinsi menjaga kelautan Natuna. Sedang pemerintah kabupaten tidak bisa bertindak apapun karena tidak memiliki kewenangan di kelautan.

Kewenangan ini tertuang dalam UU 23/2014, soal kelautan baik perizinan dan pengawasan di daerah pusat yaitu perairan 12 mil ke atas. Untuk 12 mil ke bawah berada di pemerintah provinsi.

Rodial mengatakan, Presiden Joko Widodo sudah menjelaskan arah pembangunan Natuna pada 2016. Presiden menyebut lima pilar, yaitu, kelautan-perikanan, pariwisata, migas, pertahanan keamanan dan lingkungan hidup. Saat ini, katanya, baru terealisasi hanya di pertahanan keamanan.

Menurut dia, sektor kelautan dan perikanan tak menunjukkan perkembangan bagus, terlebih ada keterbatasan pemerintah daerah terlibat. Sampai-sampai, katanya, muncul wacana Natuna jadi provinsi agar pengawasan laut lebih maksimal.

Nelayan, katanya, sangat setuju Pemerintah Indonesia menjaga perairan ketat bahkan mengusulkan kapal patroli Indonesia meniru kapal asing dengan mengawal nelayan sendiri selama 24 jam.

“Itu yang diinginkan nelayan, dimanapun menangkap ikan, , seperti yang dilakukan kapal asing China, yang dikawal patroli mereka mencuri ikan di Natuna,” katanya.

Selama ini, katanya, patroli Indonesia belum efektif, apalagi saat musim angin utara. Kondisi musim itu nelayan Natuna tak bisa melaut karena keterbatasan kapal hingga kapal asing memanfaatkan untuk menangkap ikan di sana.

“Maka kapal nelayan Natuna harus ditingkatkan kapasitasnya agar bisa tetap mengawal laut Natuna meskipun di musim angin utara yang sangat kencang dan ombak besar.”

Dia menilai, marak kapal asing melaut di Natuna, karena setiap pergantian kepemimpinan berganti pula aturan. Hingga program yang sudah ada tak berjalan berkelanjutan. “Saya berharap, pemerintah pusat mempunyai perhatian khusus kepada Natuna,” katanya.

 

Baca juga : Cerita Nelayan Natuna, Terjepit Antara Kapal Cantrang dan Kapal Asing

Peristiwa kejar-kejaran Kapal Pengawas Perikanan PSDKP-KKP dengan satu dari lima kapal Vietnam yang kedapatan melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia di Laut Natuna Utara, Selasa (27/4/2021). Foto : PSDKP KKP

 

Drama Panca Putra, Direktur Pengawasan Sumberdaya Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan membenarkan, wewenang pengawasan laut hanya berada di pusat dan provinsi. “Daerah 12 mil ke bawah merupakan wewenang provinsi, di atas 12 mil wewenang pemerintah pusat. Itu terdapat dalam UU 23/2014.”

Meskipun begitu, dia mengatakan, dalam UU Cipta Kerja akan mempertegas kewenangan pemerintah dalam pengawasan. “Pengawasan perikanan tidak hanya ada di pusat tetapi provinsi, kabupaten kota,” katanya.

Prinsipnya, sama sebelum dan sesudah ada UU Cipta Kerja, pengawasan secara terintegrasi dan transparan serta terencana. Perbedaannya, terletak pada sanksi administrasi.

Data KKP memerlihatkan, penindakan pengawasan kapal di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 711 atau perairan Natuna yaitu 72 kapal, 12 kapal adalah kapal asing berbendera Malaysia dan Vietnam. Sedangkan, 60 kapal Indonesia yang diamankan karena melanggar wilayah tangkap serta tak memiliki dokumen lengkap.

Saat ini, KKP berusaha judicial review hukuman bagi pelaku pencuri ikan di Indonesia agar sanksi lebih berat hingga menimbulkan efek jera. “Kita juga selalu operasi bersama, memperkuat koordinasi dengan aparat lain.”

Kini, katanya, KKP pengawasan dengan gunakan automatic Identification System (AIS), Vessel Monitoring System (VMS) dan patroli. Memang saat ini kapal patroli sangat terbatas, KKP hanya memiliki 34 kapal yang beroperasi secara bergantian.

Dharma berharap, pemerintah provinsi lebih aktif mengawasi daerah 12 mil ke bawah agar pemerintah pusat fokus 200 mil ke atas atau daerah perbatasan. “Kita (KKP) memiliki keterbatasan jumlah, anggaran, karena itu fokus di perbatasan, di bawah 12 mil adalah provinsi,” katanya.

Pengawasan di laut Natuna Utara berada di pangkalan PSDKP Kota Batam. Kantor pengawasan ini mencakup laut Natuna Utara, Laut Natuna, Selat Karimata dan Selat Malaka. “PSDKP ini memiliki 14 kapal pengawas, pengawas 83 orang.”

PSDKP Batam juga menjaga sumber daya kelautan perikanan 289.594 hektar mangrove, 41.046 hektar terumbu karang, 24 pulau-pulau kecil, dan delapan lokasi barang muatan kapal tenggelam (BMKT).

Saat ini, KKP mendorong pembangunan satuan kerja sendiri di Natuna. “Kemungkinan kantor di Batam dipindahkan, tahun ini (2021),” katanya.

 

Baca juga : KKP Tambah Kapal Pengawasan di Laut Natuna, Apa Kata Mereka?

Sekjen KKP Antam Novambar melihat satu dari lima kapal asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara karena menangkap cumi-cumi tanpa izin dan telah dibawa di dermaga Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (12/4/21). Foto : KKP

 

Tata kelola buruk

Nilmawati, peneliti IUU fishing memaparkan, praktik perikanan melanggar hukum, tidak dilaporkan dan tidak diatur (illegal, unreported and unregulated fishing) menjadi lawan berat organisasi dunia. Apalagi, perikanan tangkap global berlebih pada 2020.

“Konsensus dunia mengatakan, penyebab utama over fishing adalah IUU fishing, kemudian itu menjadi dasar tujuan utama organisasi dunia memerangi IUU fishing, karena ingin dunia perikanan lestari atau berkelanjutan,” katanya.

IUU fishing, katanya, tak hanya merupakan kejahatan pencurian ikan juga transpor kriminal lain seperti human trafficking, money laundry, sampai penyelundupan obat terlarang. “Makanya, ada wacana dunia meningkatkan minimum sanksi IUU fishing,” kata Hilma.

Dia mengatakan, penyebab IUU fishing karena tata kelola perikanan buruk, otomatis kontrol lemah, terlalu banyak lembaga yang memiliki tupoksi sama tetapi kurang koordinasi.

Dalam penelitian pada 2016, katanya, data tangkapan dilaporkan secara resmi setiap negara setiap tahun 53% lebih sedikit daripada data aktual. “Menurut saya, tidak ada data ril yang terkonsolidasi besaran IUU fishing,” katanya.

Selain itu, masalah batas laut yang belum terselesaikan seperti di Natuna juga penyebab marak pencurian ikan.

Hilma bilang, sulit memberantas IUU fishing karena masing-masing negara mempunyai persepsi sendiri atas batas negara “Natuna ternyata ZEE-nya belum terselesaikan masih negosiasi.”

Selain itu, secara internasional pengertian dan aturan IUU fishing masih berbeda antar negara. “Minim sanksi juga jadi penyebab, apalagi IUU fishing belum termasuk kriminal maka sanksi minim,” kata kandidat doktor di Universitas Amsterdam ini.

Jadi, katanya, angkah strategis yang bisa ditempuh adalah menyelesaikan masalah perbatasan, saling promosi data antara negara, regional, dan nasional. Sedangkan di Indonesia, perlu koordinasi antar lembaga.

Hilma juga menyinggung penting keterlibatan pemerintah kabupaten dan kota. “Ketika kelautan dijaga oleh pemerintah lokal seperti Natuna, tidak langsung itu memperkuat kapasitas lokal.”

 

 

 

*****

Foto utama: Dua dari lima kapal asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara dan telah dibawa di dermaga Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (12/4/21). Foto : KKP

Exit mobile version