Mongabay.co.id

Adu Solusi untuk Laut Sehat Lewat Teknologi

 

Sejumlah anak muda membahas teknologi apa saja yang berkontribusi mewujudkan laut berkelanjutan di Indonesia? Apakah menjadi solusi atas ancaman dan masalah yang dihadapi laut saat ini dan di masa depan?

Sail to Campus yang berlangsung hibrid, daring dan luring dihelat Econusa di Universitas Padjajaran pada 3 Mei 2021. Topiknya mengerucut, “Teknologi vs Ancaman, Bisakah Laut Sehat Terwujud?”

Wildan Ghiffary, perwakilan Global Fishing Watch mengatakan fokus pada penggunaan teknologi untuk mendukung keberlanjutan sumberdaya kelautan. Kolaborasi Oceana, Skytrusth, dan Google ini membuat peta dan analisis dengan prinsip penelusuran satelit untuk memantau aktivitas kapal laut global.

Wildan menyebut mengacu data Greepeace, sekitar 20% ikan yang dimakan hasil IUU fishing, penangkapan illegal yang tak dilaporkan. Ini setara 26 juta metrik ton per tahun dengan nilai sekitar USD 10-23 miliar per tahun. Temuan ini pun terkait kejahatan terorganisasi dan upaya merusak lingkungan.

Sejak 2017, Global Fishing Watch ini menjadi platform teknologi kelautan. Data aktivitas perikanan bisa divisualisasi dan diamati hampir real-time. Tak hanya kapal juga mengembangkan algoritma untuk menganalisis apakah ada indikasi transhipment atau transaksi, jual beli, dan dugaan lain di tengah laut.

Kapal perikanan yang terpantau sudah terinstal alat AIS atau VMS, satelit yang bisa menelusuri. VMS terikat peraturan negara, dan AIS untuk global.

baca : Mengapa Kapal Asing Pencuri Ikan Marak di Perairan Natuna?

 

Tangkapan layar penelusuran satelit di global fishing. Sumber : Global Fishing Watch

 

Dalam website terlihat sejumlah layer data seperti bendera-bendera kapal per negara. Data saat ini, alat AIS terinstal di 70 ribu kapal sejak 2012. Data sumber terbuka ini bisa diakses gratis. Wildan mengatakan, pihaknya juga membuat algoritma terkait alat tangkap yang digunakan. “Banyak kapal perikanan mengaku rekreasi, yacht, atau kargo tapi membuat pola menangkap ikan. Ada tiga pola, trawl, longline, dan purse seine,” paparnya.

Laporan analisis ini disampaikan ke pemerintah dan pihak lain. Misalnya untuk layer encounter, terkait potensi transhipment. Dengan ciri-ciri berjarak sekitar 500 meter, kecepatan di bawah 2 knot, atau berdampingan dengan kapal asing. “Misalnya sebuah kapal bawa perbekalan 3-5 bulan tapi bisa sampai 7 bulan di laut, apakah beli barang atau perbudakan?”

Ada alarm yang berbunyi jika kapal mematikan satelit tracking-nya, ini biasanya terjadi saat kapal memasuki ke perairan negara lain dengan mematikan transmitter. Pergerakan kapal juga bisa dicek apakah menangkap ikan di kawasan konservasi perairan atau MPA, ini berkolaborasi dengan mpatlas.org.

Jika ada kapal mematikan AIS atau VMS? Wildan menyebut sudah ada kerjasama NOAA untuk mendapat data kapal yang menggunakan lampu saat malam hari. Kapal biasanya menggunakan lampu yang sangat terang pada malam hari untuk menarik ikan. Platform ini sedang berusaha mengembangkan algoritma dari pancaran sinar lampu kapal perikanan jika ada yang mematikan transmitter.

Ada juga ide aplikasi ZebraX, investasi mengembangkan online tracking agar digunakan kapal nelayan kecil. “Untuk mengetahui pola penangkapan dan keselamatan, juga untuk akses dapat sertifikat perikanan berjelanjutan,” lanjut Wildan.

Menurutnya platform ini bisa dimanfaatkan untuk program spesifik misal ketika 20% Laut Banda ditutup 3 bulan di akhir tahun, kapal dilarang menangkap yellow fin tuna karena jadi freeding ground. Menurutnya, sejauh ini, kapal Indonesia patuh peraturan ini.

baca juga : Masih Terjadi, Ini Dampak Negatif dari Praktik IUU Fishing

 

Kapal purse seine berukuran kecil sedang berlabuh dan menjual hasil tangkapan di pelabuhan TPI Alok,Maumere,kabupaten Sikka,NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Akurasi data, platform maps, dan hasil analisis ini tergantung bagaimana menggabungkan sejumlah data. Misalnya menentukan apakah ada indikasi illegal fishing? Variasinya sekitar 50-80% sesuai dengan ketersediaan data jika ada yang memerlukan analisis tertentu. Wildan mengakui satelit tracking bisa di-hack, misal mengubah ukuran kapal dan jenis kapalnya. Namun ini jadi tanggungjawab pemilik kapalnya. Tak hanya memikirkan profit juga keberlanjutan.

Tak sedikit temuan pemilik kapal negara X tapi benderanya Y. Dark vassel ini juga dirilis datanya karena tidak menggunakan tracking device. Bagaimana teknologi untuk menangkapnya, ini sedang dikembangkan.

Pemantauan aktiviats kapal ini baru jadi salah satu alat untuk penindakan bagi dugaan pelanggar. Karena Bakamla punya cara surveilance lain untuk ricek. “KKP cukup tangguh, 80 kapal ditangkap selama 4 bulan. Analisis illegal fishing didominasi spot di Natuna Utara dan perbatasan Pulau Bitung,” jelas Wildan.

Ada juga kerjasama pemerintah dengan warga melalui Pokwasmas, warga bisa memantau sembari mencari ikan.

Rully Setya Purnama, CEO Minapoli menambahkan mengenai keberlanjutan industri akuakultur. Ekosistem startup perikanan berkelanjutan di Indonesia terjalin melalui Digifish Network. Ada lebih 30 startup di bidang perikanan dan kelautan. Inovasi startup perikanan ini seperti autofeeder, bidang keuangan atau fintech, dan lainnya.

Manfaat inovasi ini untuk membantu efisiensi, model bisnis baru, keputusan berbasis data, pengembangan industri, dan regenerasi pelaku usaha. Tantangan di awal adalah adopsi teknologinya. “Kunci utamanya solusi dari kebutuhan,” ujarnya. Pengguna startup perikanan masih sedikit, karena itu pengembang teknologi mencari influencer seperti nelayan dan pembudidaya senior. Ketika menggunakan dan merasakan manfaat biasanya berdampak besar.

baca juga : Teknologi Digital Mulai Digunakan untuk Perikanan Budidaya Nasional

 

Ekosistem startup kelautan dan perikanan. Sumber : Minapoli

 

Utari Octavianty, Genera Directur Aruna juga meyakini kuncinya adalah inovasi kecil, tak perlu banyak orang, tapi scaleable, sesuai kebutuhan target. Misal di perikanan perlu teknologi tepat guna. Banyak startup yang perlu biaya besar tapi tak tepat guna. “Fokus pada kekuatan, misal Aruna membantu kelompok nelayan mendapat akses pasar yang lebih baik,” imbuhnya.

Misinya menjadikan laut sumber kehidupan yang baik. “Apakah laut sehat bisa terwujud dengan teknologi? Bisa dengan kolaborasi para pihak,” Utari yakin.

Noir Primadona Purba, Dosen FPIK Unpad mengatakan hanya sekitar 7% laut yang tereksplorasi. Walau manusia sudah ke bulan tapi belum sampai ke dasar terdalam lautan.

Teknologi yang sudah dibuat akademisi ini seperti alat pemantauan laut, RHEA dan ARHEA. Diambil dari nama Dewa Yunani, prinsipnya melayang di laut. Drifter GPS Oceanography Coverage Area ini dikembangkan sejak 2016. Jika mau diproduksi harus tmenggunakan ingkat kandungan bahan baku dalam negeri sekitar 70%. Alat ini diyakini bisa bekerja di perairan dangkal, terbuka, danau, statis atau bergerak. Mengumpulkan data kondisi perairan.

Data yang dikumpulkan akan bisa diakses di Padjajaran Oceanographic Data Center. Alat lain adalah Seaghost II, dikembangkan 2018, bisa dipasang mini tracker di benda dengan berat berbeda untuk memantau distribusi sampah di laut. Masih dalam proses, karena data yang dimiliki minim.

Prof Zuzy Anna, Direktur Sustainable Development Goals (SDGs) Center Universitas Padjajaran mengingatkan, Indonesia dan global masih jauh dari capaian target.

Empat target SDGs untuk pemulihan terkait pandemi COVID-19 oleh UNEP pada 2020 di antaranya konsumsi dan produksi bertanggungjawab, aksi perubahan iklim, hidup di bawah air, dan hidup di darat.

“Pandemi ini juga diakibatkan ketidakmampuan mengelola goals dan pengelolaan lingkungan hidup,” sebutnya. Pencapaian pun masih jauh. Salah satu penyebabnya, kurangnya data yang dibutuhkan. Termasuk Indonesia, ada sebagian target belum terpenuhi untuk transformasi laut berkelanjutan.

Idealnya mampu mengelola 100% kekayaan laut untuk keberlanjutannya. “Kenyataannya masih jauh karena statusnya overfishing dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Menurut Ocean Health Index 2020, Indonesia mendapat skor 65, ada di peringkat 137 dari 221 negara.

 

Exit mobile version