Mongabay.co.id

Ketika Petani Sawit di Arso Pilih Bertani Beragam Tanaman dan Beternak [2]

 

 

 

 

Petani  sawit program perkebunan inti rakyat (PIR) mengalami banyak masalah ketika PTPN II Arso, Kabupaten Keerom, Papua, kolaps. Hidup mereka selama ini bergantung dari bertani sawit. Tidak sedikit lahan dan rumah petani kena sita bank karena kesulitan membayar utang. Di tengah kesulitan, mereka berusaha memulai hidup baru. Ada yang beternak, bertani bukan sawit, jadi tukang ojek atau buruh di perkebunan sawit terdekat. Di lahan yang berisi tanaman sawit tua, mereka berkebun atau beternak. Sebagian bahkan menebang sawit dan ganti dengan tanaman lain seperti jagung, ubi dan buah-buahan. Kini, mereka mulai hidup baru dengan tak bergantung sawit.

Pasangan Siti Rohma dan Abdul Hamid, adalah salah satunya. Petani transmigran asal Banyuwangi ini pindah ke Arso awal 1980-an bersamaan dengan kehadiran PTPN II.

Petani yang tinggal di Kampung Yamaraa PIR I Distrik Arso ini punya lahan 12 hektar. Sebagai petani transmigran, mereka mendapat lahan sawit dua hektar, 10 hektar beli dari petani lain yang tak sanggup mengelola lahan.

Saat PTPN mandek, lahan-lahan ini tak bisa hasilkan pundi-pundi rupiah lagi. Mereka sempat jadi buruh harian lepas di perkebunan sawit di Arso Timur. Kemudian, mereka memutuskan menebang tanaman sawit di kebun seluas dua hektar dan tanam jagung.

“Daripada lahan tidak terolah, akhirnya saya tebang itu sawit. Saya sensor sendiri. Akhirnya, saya bisa untuk menutup kebutuhan sehari-hari makan dan untuk anak-anak sekolah,” kata Rohma.

Awalnya, mereka hanya menebang setengah hektar. Di antara tanaman sawit tumbang itu, keduanya menanam jagung. Hasil penjualan sedikit demi sedkiti bisa menambah modal hingga bisa membeli alat sensor bahkan traktor. Dengan ada alat berat, tanaman sawit di lahan dua hektar itu tumbang, kini berganti jagung. Di sela-sela jagung ada kacang-kacangan, daung bawang, cabai hingga singkong.

Di lahan dua hektar itulah pasangan ini menghabiskan hari-hari mereka. Lahan jagung terbagi menjadi beberapa bagian. Ada bagian dengan jagung baru selesai panen, siap panen, baru mulai berisi hingga yang baru tanam. Sekali panen, jagung bisa dua sampai lima ton. Dalam setahun bisa empat kali panen hingga total setahun bisa 15 ton.

“Orang-orang bilang wah kalau begini bisa dirasakan ini, tidak tunggu lama. Ya, tiga bulan sudah panen.”

 

Baca juga: Kala Petani di Arso Mulai Remajakan Kebun Sawit


Bersamaan dengan mulai program peremajaan sawit, tanaman sawit di lahan-lahan sekitar mulai tumbang. Pasangan ini memilih terus menanam jagung.

Tampak juga lahan-lahan sekitar mereka dengan sawit tetap berdiri. Pemiliknya, tak ikut peremajaan.

Bagi Rohma dan Hamid, menanam jagung lebih ringan dibanding sawit. Modal tidak banyak dan bisa kerja sendiri dengan sedikit bantuan peralatan.

“Apalagi tenaga tua. Sawit itu kan berat to. Sawit itu tenaganya berat. Kalau diburuhkan tentu banyak makan uang juga. Dulu, saya pernah mengalami. Waktu sawit itu banyak pengeluarannya.”

Untuk jagung, mereka hanya perlu membeli pupuk dan pengendali hama. Jagung juga sudah ada pembeli dengan harga Rp4.000 perkilogram.

“Kalau dipikir keuntungan lebih banyak jagung karena pengeluaran sedikit sekali. Kalau sawit itu, tadi banyak sekali pengeluaran.”

Dia mengenang dulu kala jalan belum tertata. “Pikulnya saja satu tandan Rp4.000 dari dalam. Kalau masih tenaga muda dulu, tapi tenaga begini sudah tua tidak mampu. Lebih baik tanam palawija, jagung, kedele yang jangka pendek.”

Bagi Hamid, program peremajaan sawit bisa jalan dengan tetap tidak boleh memaksa petani.

Riben Wenda dan Lisa Heipon, warga Kampung Yamaraa PIR II juga belum menyerahkan syarat peremajaan kepada koperasi. Lahan sawit warisan orangtua Riben yang sejak 1980-an trasmigran lokal di Arso. Mereka dari wilayah pegunungan dengan latar belakang petani ubi dan sayuran.

Selain karena sertifikat masih tertahan di bank, dia tidak memilih peremajaan karena hasil lama dan pengerjaan sulit.

“Saya mau yang kita bisa tanam cepat dan dalam waktu tiga bulan kita bisa panen. Maka saya tidak mau. Kalau sawit waktunya lama. Itu yang saya tidak kasi seritifkat.”

Bagi warga pegunungan, petatas (ubi jalar) adalah tanaman utama. Menurut Riben, menanam petatas tak perlu modal besar. Untuk menanam, dia hanya perlu mengundang anggota keluarga besar untuk membantu.

“Kalau petatas paling tumpuk-tumpuk tanah undang keluarga. Paling makan minum itu saja undang kerja di kebun. Untuk tanam itu tanam sendiri. Batang-batang diambil dan tanam. Begitu saja.”

 

Baca juga: Kala Masyarakat Tuntut Hak Ulayat dari Perusahaan Sawit Negara di Keerom [1]

Tanaman sawit tua sudah dibersihkan dan siap peremajaan kebun sawit. Sebagian yang lain kebun tak dibersihkan karena merea tidak atau belum mau ikut peremajaan kebun sawit. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Untuk petatas, katanya, hasil tergantung besar kebun. Harga juga bervariasi tergantung ketersediaan di pasar. Kalau sedang langka, sekarung ukuran 50 kilogram bisa Rp500.000.

“Di sini kita orang gunung kebanyakan tanam petatas, pisang, sayur-sayur seperti gedi.”

Di kampung sama, Laurens Manis juga ragu dengan rencana peremajaan sawit. Sertifikat lahan juga masih tertahan di bank. Meski koperasi bisa mengurus, dia belum menyerahkan KTP dan kartu keluarga karena belum yakin dengan peremajaan ini.

Selama sawit mati, Laurens hidup dari menjual pinang, sayur dan buah-buahan. Halaman rumah dan kebun penuh tanaman. Ada buah naga, durian, nangka dan rambutan. Dari semua itu yang rutin memberi penghasilan adalah buah pinang.

“Selama mati sudah 15 tahun ini, saya hidup cuma satu pinang. Yang penambah itu sayur dan buah tapi itu musiman. Yang setiap bulan buah ini, ditambah rambutan, durian.”

Harga, katanya, tergantung ketersediaan. Saat kurang di pasaran, satu mayang (tangkai) harga Rp100.000 kalau pembeli datang langsung ke kebun. Saat persediaan banyak bisa turun jadi Rp25.000. Rata-rata penghasilan dia dari pinang antara Rp3 juta-Rp5 juta. Belum lagi kalau musim buah datang, penghasilan bisa tambah. Selain itu, katanya, perawatan pun tidak memerlukan pupuk atau pestisida.

“Kalau pinang saya tanam sendiri, panen sendiri, jual sendiri. Begitu panen, langsung jual langsung dapat uang. Itu pinang atau buah-buah atau tanaman yang tiga-tiga bulan. Tetapi seperti sawit, kita harus panen, masukkan dulu ke pabrik tunggu satu bulan baru gajian.”

Namun, Laurens tetap sambut baik program peremajaan meski walau belum memutuskan ikut. Dia akan melihat dulu perkembangan peremajaan.

 

Baca juga: Hasil Sawit Redup, Petani Arso Hidup Terlilit Utang Bank [2]

Para petani sawit Arso, selain beralih tanam beragam juga jadi peternak. Foto: dari video Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Peternak

Di kampung tetangga, Workwana, Joko Wabiagir sudah lama menebang sawit di lahan yang terletak di pinggir Jalan Trans Papua itu.

Joko masih ingat petani saat itu kesulitan menjual hasil sawit mereka. Saat itu, hanya ada pabrik PTPN II. Petani harus menunggu sampai seminggu agar buah sawit diterima pabrik. Akibatnya, petani rugi. Saat sama, produktivitas sawit sudah menurun. Padahal sawit itu satu-satunya tumpuhan hidup warga PIR.

“Dengan tidaknya tentu situasi, saya tebang (sawit) untuk ternak sapi.”

Dia memanfaatkan fasiliras kredit di bank untuk memulai usaha. Lahan sawit berubah jadi kandang sapi. Sapi-sapi itu dia lepas pagi hari dan kembali ke lahan sore hari.

Joko memulai usaha sejak 2019, kini masuk tahun ke tiga. Untuk ternak sapi, panen baru pada tahun ketiga. Satu sapi dewasa bisa RP10 juta dan bisa lebih mahal saat permintaan tinggi seperti di hari raya.

Menurut dia, peremajaan sawit bagus dan petani punya harapan mungkin bisa tanam ulang. Namun dia sendiri sudah memantapkan diri lanjut dengan ternak sapi. Kini, Joko punya 70 sapi.

Sa sudah hitung, lebih menguntungkan ternak sapi. Asumsi tadi, kalau sa punya induk 10 saja, sa bisa dapat Rp100 juta tiap tahun pada tahun ketiga. Tahun pertama kedua puasa. Kalau sawit, berapa lama saya harus tunggu? Tanamnya berapa lama, kemudian usia produksi berapa lama? Ada kepastian tidak?”

Joko juga berpendapat, lahan-lahan bekas sawit ini tidak efektif lagi untuk tanam ulang sawit. Berdasarkan pengamatanya, tanaman ini juga tidak cocok untuk masyarakat setempat.

Masyarakat Papua pemilik tanah maupun translokal kebanyakan tidak mengelola sawit. Mereka menyewakan lahan dengan harga murah, misalkan Rp3,5 juta pertahun. Mengelola sawit sulit karena perlu modal besar.

Selain itu, wilayah-wilayah kebun yang kini tergusur kebanyakan lokasi lebih tinggi dari Arso yang kini padat penduduk dan rawan banjir. Wilayah ini bisa dikembangkan untuk keperluan lain seperti pemukiman. Pemerintah juga mesti mempertimbangkan banjir yang terus melanda Arso satu tahun terakhir ini.

Sunar, Kepala Dinas Pertanian Keerom, mengatakan, tidak akan memaksakan para petani. Tujuan program PSR adalah menolong petani sawit yang mengalami kendala tidak bisa menanami sawit kembali.

“Kalau petani memang menghitung berusaha sawit dengan berusaha lain mungkin lebih meguntungkan yang lain, tentu kita tidak memaksa. Kami dari pemerintah bertujuan untuk kesejahteraan para petani kalau petani merasa tanpa sawit sudah sejahtera, kita syukuri.”

Rian dari Yayasan Auriga menyatakan, petani plasma memang berhak menolak kalau peremajaan membebani. Lahan diambil untuk peremajaan dan kredit baru yang harus ditanggung petani adalah hal penting perlu jadi pertimbangan petani.

Terlebih, katanya, PSR di Arso melibatkan pihak ketiga yang merupakan korporasi yaitu PT.SIP. Jadi, katanya, perlu jadi pertimbangan juga peremajaan sawit tidak hanya untuk keuntungan korporasi. Keputusan peremajaan dan urusan pembiayaan, katanya, harus komunikasi semua dengan petani.

“Karena sudahlah lahan diremajakan, artinya sumber pendapatan mereka hilang. Mereka dituntut bayar utang pula, uang darimana? Kalau memang ga punya dana ya ngapain dipaksa peremajaan. Petani plasma bisa aja menolak, hak mereka itu.”

Trias Fetra Ramadhan dari Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, ada kesadaran di kalangan petani kalau menggantungkan pendapatan pada satu tanaman monokultur akan merugikan petani. Petani yang mengusahakan lebih dari satu komoditas lebih mampu bertahan termasuk kemandirian pangan.

Di beberapa wilayah lain seperti Riau, petani yang melihat tren sawit stagnan bahkan menurun beralih jadi petani holtikultur.

“Penghasilan dari pertanian holtikultura justru lebih besar dibanding sawit. Di sanam sudah didominasi sawit hingga pangsa pasar untuk sayur dan produk-produk holtikultura kekurangan. Jadi, memanfaatkan potensi itu.” (Selesai)

 

Baca juga: Perusahaan Sawit Negara di Arso Ini Hidup Segan Mati Tak Mau [3]

Abdul Hamid dan Siti Rohma, jadikan kebun sawit mereka kebun jagung, cabai dan lain-lain. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

*****

Foto utama:  Para petani sawit Arso, selain beralih tanam beragam juga jadi peternak. Foto: dari video Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version