Mongabay.co.id

Penelitian: Tangkapan Sampingan Nelayan Gorontalo Berbahaya bagi Populasi Megafauna Laut

Inilah hiu karang sirip hitam atau blacktip reef shark. Foto: Wahyu Mulyono

 

 

Salah satu ancaman kelestarian megafauna laut atau spesies laut besar seperti cetacea, hiu karang, penyu, maupun pari manta adalah tangkapan sampingan nelayan. Tangkapan sampingan merujuk pada aktivitas nelayan yang tidak sengaja menangkap spesies yang bukan target tangkapan. Di Indonesia sendiri belum begitu banyak informasi atau penelitian mengenai tangkapan sampingan nelayan bagi megafauna laut.

Di sisi lain, hampir semua cetacea yang ada di perairan Indonesia dilindungi oleh undang-undang. Indonesia setidaknya memiliki 33 spesies cetacea yaitu 21 jenis paus dan 12 jenis lumba-lumba. Namun, penetapan status perlindungan ini bukanlah jaminan bagi kelestarian cetacea. Banyak aktivitas di perairan laut Indonesia yang berdampak pada menurunnya populasi cetacea.

Belum lama ini, hasil penelitian mengenai ancaman tangkapan sampingan di perikanan artisanal atau perikanan skala kecil Gorontalo dipublikasikan. Perikanan artisanal merujuk pada perikanan tradisional yang melibatkan rumah tangga penangkapan ikan, menggunakan modal serta tenaga yang relatif kecil. Perikanan artisanal ini bisa untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari atau bisa juga untuk komersial.

Baca: Untuk Para Penyelam: Inilah Perilaku Unik Hiu Karang Sirip Hitam

 

Inilah hiu karang sirip hitam atau blacktip reef shark. Foto: Wahyu Mulyono

 

Dalam jurnal berjudul “Marine Megafauna Bycatch in Artisanal Fisheries in Gorontalo, Northern Sulawesi: An Assessment Based on Fishers Interviews” dijelaskan bahwa jenis-jenis cetacea sebagian besar melepaskan diri setelah ditangkap atau dilepaskan, sementara jenis hiu karang dan penyu merupakan tangkapan dengan jumlah terbanyak.

Riset ini merupakan kolaborasi empat peneliti dari tiga universitas yaitu Putu Liza Kusuma Mustika [James Cook University, Australia], Elena Wonneberger dan Karim Erzini [Universidade do Algarve, Portugal], serta Nuralim Pasisingi [Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia].

Mereka menyebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji sejauh mana tangkapan sampingan megafauna laut, khususnya cetacea di Provinsi Gorontalo, dan latar belakang sosial ekonomi para nelayan, juga pelaksanaan mitigasi tangkapan sampingan itu.

Seperti dalam judul penelitiannya, metode penelitian dan pengumpulan data dilakukan melalui wawancara semi terstruktur pada nelayan di sembilan desa pesisir di Gorontalo. Lokasinya, bagian utara di Laut Sulawesi serta bagian selatan di Teluk Tomini. Sedangkan alat tangkap yang paling menonjol bagi nelayan adalah pancing, diikuti jaring insang dan jaring penangkap ikan lainnya.

“Secara umum, nelayan Gorontalo yang ada di Teluk Tomini lebih aktif dibandingkan nelayan Gorontalo di Laut Sulawesi. Itu terjadi, kemungkinan karena sifat Teluk Tomini yang lebih terlindungi,” ungkap para peneliti.

Baca: Studi: Hiu ‘Telah Menghilang’ di Banyak Ekosistem Karang Dunia

 

Hiu karang di perairan Karibia. Foto: Global FinPrint

 

Secara keseluruhan, nelayan di Gorontalo menangkap 43 spesies ikan dalam kelompok jenis berbeda. Namun, sasaran utama penangkapan adalah spesies ikan pelagis yang termasuk dalam keluarga Scombridae atau jenis ikan tuna. Lebih dari setengah nelayan yang diwawancarai melaporkan penurunan hasil tangkapan selama sepuluh tahun terakhir.

Alasan utama penurunan adalah jumlah nelayan yang semakin banyak dan bersaing dalam menangkap ikan, juga bertambahnya kapal-kapal besar yang juga menangkap ikan. Yang terakhir ini, secara khusus disebutkan oleh para nelayan di Teluk Tomini, sedangkan nelayan di wilayah Laut Sulawesi sering menyebut teknik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan seperti pemboman, racun dan speargun atau panah ikan sebagai alasannya.

Dalam laporan itu dikatakan, 97,3 persen dari semua nelayan yang diwawancarai mengatakan bahwa masyarakat di daerah tersebut tidak menargetkan tangkapan megafauna laut. Sementara 2,7 lainnya menjawab tidak tahu. Namun, beberapa nelayan mengatakan bahwa sebelumnya mereka menangkap hiu karang dan terkadang penyu, tetapi saat ini spesies tersebut dilarang ditangkap.

“Informasi yang bersifat anekdot dari Desa Pentadu Barat menyebutkan bahwa sebagian nelayan masih mengincar penyu karena sering disajikan selama pesta adat pernikahan.”

Baca: Hiu Tikus, Spesies yang Menggunakan Ekor Panjangnya untuk Berburu Mangsa

 

Hiu tikus [Alopias pelagicus]. Foto: Shawn Heinrics/Thresher Shark.id

 

Sementara, mayoritas cetacea yang tertangkap adalah spesies Delphinidae, sebagian besar adalah lumba-lumba hidung botol [Tursiops truncatus], satu orca [Orcinus orca] serta dua paus sperma [Physeter microcephalus] yang secara tidak sengaja terjerat alat pancing.

Secara keseluruhan, kematian dari cetacea yang tertangkap secara kebetulan adalah 5 persen, dengan kematian tertinggi menggunakan jaring angkat yang dioperasikan melalui perahu. Mayoritas cetacea di Teluk Tomini dan Laut Sulawesi melepaskan diri dengan sendirinya setelah tertangkap atau dipancing secara tidak sengaja. Untuk itu, tangkapan sampingan dianggap masih samar atau belum jelas.

Mayoritas penyu yang ditangkap secara tidak sengaja di Laut Sulawesi kemudian didaratkan sebanyak 87 persen, dengan tujuan untuk dikonsumsi atau dijual. Di Teluk Tomini sebagian besar penyu dilepas [96,4 persen] dan hanya [32,9 persen] yang didaratkan. Cara pelepasan penyu dan megafauna lainnya yang biasa dilakukan adalah dengan memotong tali pancing.

Untuk mayoritas hiu karang yang tertangkap secara tidak sengaja di Laut Sulawesi dan didaratkan sebanyak 74,9 persen, dengan tujuan untuk dijual, dimakan, atau dibagikan. Dalam beberapa kasus, hanya siripnya yang dipotong sementara tubuhnya dilempar kembali ke laut. Di Teluk Tomini hanya 17,0 persen dari semua hiu yang didaratkan dan sebagian besar melepaskan dengan sendirinya, sehingga dianggap sebagai tangkapan sampingan yang masih samar.

Baca juga: Pari Kekeh dan Pari Kikir Kini Terancam Langka

 

Peran satwa laut dalam penyerapan karbon. Sumber: Oceanic blue carbon

 

Para peneliti menyimpulkan, tangkapan sampingan kemungkinan berbahaya bagi megafauna laut di Gorontalo dan semestinya harus diselidiki lebih lanjut. Informasi tentang status populasi juga dibutuhkan untuk menentukan apakah spesies memang terancam oleh tangkapan sampingan. Faktor yang menentukan tangkapan sampingan megafauna laut di Gorontalo adalah lokasi penangkapan dan jenis alat tangkap yang digunakan.

Selain itu, ada kemungkinan bahwa masalah tangkapan sampingan di Gorontalo lebih besar dari yang diasumsikan sebelumnya, karena tangkapan sampingan seringkali tidak mendarat dan tidak terdeteksi. Karena banyak nelayan yang sangat bergantung pada perikanan, maka penting untuk mengembangkan ide mitigasi tangkapan sampingan bersama nelayan. Hal lain, penting untuk memberikan nelayan alternatif kegiatan saat menerapkan pembatasan penangkapan ikan.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa penegakan hukum yang lebih kuat, terutama di Laut Sulawesi, dapat mengurangi dampak negatif dari tangkapan sampingan terhadap hiu karang dan penyu. Perlindungan ekstra ini akan membuat spesies dilindungi lebih sering dilepaskan ketimbang didaratkan dan dijual.

Tindakan kedepannya harus mencakup diskusi dengan nelayan tentang mitigasi tangkapan sampingan. Atau, pilihannya adalah seperti memodifikasi alat tangkap dan pengelolaan spasial maupun wilayah penangkapan sementara. Hal ini ditambah dengan pemahaman yang lebih baik tentang ekologi megafauna laut dan habitatnya di Gorontalo.

 

 

Exit mobile version