Mongabay.co.id

KTT Iklim dan Pentingnya Jaminan Penghidupan Berkelanjutan

Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa sudah saatnya masyarakat global tanggap dalam menghadapi perubahan iklim dalam KTT Pemimpin Iklim pada 22 April 2021 lalu. Dalam event tersebut, Presiden mengemukakan agenda nasional dalam menghadapi perubahan iklim yaitu target Indonesia untuk nol emisi pada tahun 2050, melakukan rehabilitasi hutan dan membangun energi alternatif dan terbarukan.

Namun Agenda nasional yang dikemukakan oleh Presiden tersebut melewatkan agenda prioritas dan krusial bagi kepentingan warga Indonesia, yaitu jaminan penghidupan berkelanjutan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2020 menunjukkan profesi tertinggi di Indonesia dengan upah berkisar antara Rp. 200.000 hingga Rp 2.000.000 per bulan yaitu kelompok petani, pekebun, peladang maupun nelayan.

Profesi ini merupakan tenaga kerja tertinggi di Indonesia berjumlah 8.281.420 jiwa. Profesi ini merupakan profesi yang tergantung pada sumber daya alam dan mengalami kerentanan akibat struktur sosial ekonomi.

Misalnya kelompok petani yang tidak memiliki daya tawar terhadap akses pasar sehingga tergantung pada tengkulak dalam memasarkan produk pertaniannya. Kelompok nelayan tergantung pada pemodal atau pun toke dalam hal modal mencari ikan.

Petani dan nelayan tidak hanya mengalami akses pasar yang terbatas, namun menghadapi paparan perubahan iklim yang berdampak terhadap penurunan pendapatan. Selain itu, profesi ini pun rentan karena tidak mendapatkan insentif apabila mengalami gagal panen.

Kerentanan lainnya yaitu profesi ini faktaya tidak mendapatkan jaminan keberlanjutan. Misalnya petani sulit mempertahankan lahannya atau penghidupannya apabila menghadapi agenda pembangunan.

Pelaku usaha dalam sektor pertanian menghadapi kerentanan dalam mempertahankan mata pencahariannya. Akan tetapi, sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki kestabilan bahkan berdampak positif terhadap perekonomian nasional berdasarkan rilis dari Badan Pusat Statistik pada Februari 2021.

Pada kuartal keempat tahun 2020, sektor pertanian tumbuh hingga 2,59 persen. Maka, dua anomali tersebut menunjukkan sektor pertanian perlu mendapatkan perhatian penting agar mampu adaptif menghadapi perubahan iklim.

Agenda nasional perubahan iklim perlu mengakomodir terjaminnya penghidupan berkelanjutan dalam sektor pertanian. Hal tersebut mengingat tingginya jumlah tenaga kerja dalam sektor ini dan sumbangsih positif terhadap perekonomian nasional. Akan tetapi, pelaku usaha dalam sektor pertanian belum dibekali kemampuan dalam melakukan adaptasi menghadapi perubahan iklim.

Adaptasi secara riil yaitu kemampuan merespon perubahan iklim melalui pilihan strategi tindakan, akses pengetahuan, dan akses teknologi. Apabila pelaku usaha sektor pertanian tidak memiliki pilihan strategi tindakan hingga tidak memiliki akses, maka dapat dipastikan pelaku usaha ini yang akan mengalami kolaps terlebih dahulu.

Baca juga: Demi Aksi Iklim, Jokowi Perlu Perintahkan Swasta untuk Potong Karbon

 

Titik api yang terjadi pada tahun 2017-2018 di area Amazonia Brasil,  Prodes dan Deter, Novo Progresso, Para. Foto: Christian Braga/Greenpeace.

 

Perlindungan terhadap Penghidupan Rakyat

Agenda pembangunan berkelanjutan selayaknya menjadi kongkrit dapat mendukung kesejahteraan masyarakat, tak terkecuali masyarakat pelaku usaha sektor pertanian. Kebijakan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam selayaknya mendukung keberlanjutan penghidupan masyarakat pertanian.

Ancaman kesejahteraan yang nyata bagi masyarakat tani yaitu salah satunya harga gabah yang seringkali tidak membahagiakan petani hingga ancaman lahan pertanian yang tergusur.

Agenda adaptasi menghadapi perubahan iklim yang utama menurut hemat penulis adalah perlindungan terhadap penghidupan pelaku usaha sektor pertanian. Pelaku usaha tani perlu mendapatkan pendampingan dari negara untuk mendukung praktek yang berkelanjutan. Sehingga pembangunan berkelanjutan menjadi cermin daya dukung lingkungan hidup dan daya dukung sosial yang berbasis pada keberlanjutan penghidupan sektor pertanian.

Apabila pelaku usaha tani tidak adaptif menghadapi perubahan iklim, maka dampak terburuknya adalah pelaku usaha tani mengalami rawan pangan.

Dampak lainnya adalah kelangkaan pangan pokok yang dapat menyebabkan harga pangan melonjak tajam dan berdampak pada stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Ilustrasi ini merupakan perspektif untuk melihat keberlanjutan penghidupan sektor pertanian dalam jangka panjang.

Rangkaian bencana yang terjadi berturut-turut di beberapa wilayah di Indonesia pada tahun ini menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami kerentanan akibat perubahan iklim. Maka, kebutuhan untuk melakukan tindakan adaptasi yang nyata merupakan agenda strategis dan mendesak untuk diejawantahkan dalam kebijakan nasional.

Tindakan adaptasi sebagai strategi bagi kelompok usaha tani agar mampu adaptif menghadapi perubahan iklim pun tidak dapat seragam. Hal tersebut mengingat kondisi geografis, ekosistem yang beragam hingga mekanisme sosial yang berbeda.

Sehingga strategi adaptasi menghadapi perubahan iklim tidak dapat menjadi baku, namun perlu melihat identifikasi masalah, kebutuhan dan potensi dari kelompok masyarakat dalam suatu wilayah.

Strategi adaptasi yang dibutuhkan oleh pelaku usaha sektor pertanian adalah tindakan adaptasi yang tidak menambah beban bagi kehidupan mereka. Tekanan struktur sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh pelaku usaha sektor pertanian cukup kompleks, maka strategi adaptasi yang dibutuhkan adalah strategi adaptasi yang praktis dan tidak berbiaya.

Dalam poin ini, penulis menggaris bawahi bahwa kehadiran negara untuk memberikan pelayanan maupun akses bagi pelaku usaha pertanian menjadi vital dan sangat membantu kelompok ini untuk tidak terperangkap pada kerentanan ganda menghadapi perubahan iklim.

 

* Ica Wulansari, penulis adalah pengajar lepas di Universitas Paramadina dan pegiat studi sosial-ekologi. Artikel ini adalah opini penulis dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja.

 

***

Foto utama: Kebakaran hutan dan lahan di negara bagian Amazonas, Brasil, Agustus 2020. Foto: Christian Braga/Greenpeace.

 

 

Exit mobile version