Mongabay.co.id

Menyoal Longsor dan Banjir pada Area Kebun Sawit di Kepulauan Riau

 

 

 

 

Banjir memutus total beberapa ruas jalan lintas di area perkebunan sawit PT Tirta Madu, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, awal tahun ini. Gorong-gorong tidak sanggup menahan air hujan dengan intensitas sedang dan lebat.

Ada sekitar empat titik jalan putus total. Di kawasan perbukitan, di sepanjang jalan yang diapit kebun sawit juga longsor. “Kalau titik longsor banyak, ada yang menutup setengah jalan juga,” kata Ari, warga Toapaya, Kabupaten Bintan, Maret lalu.

Jalan putus masih terlihat hingga kini. Pantauan Mongabay, pada penghujung Maret, jalan putus belum diperbaiki.

Dari kejauhan tampak jelas longsor-longsor kecil di sepanjang jalan. Longsor berukuran seluas lapangan volly, dengan kedalaman sekitar delapan meter.

“Jadi air dari atas sangat kencang dan deras, mengalir ke arah laut, karena tidak ada tempat aliran air lagi, jalan ini diterjangnya dan putus,” kata Ari.

Di sekeliling kawasan ini terdapat tanaman sawit dewasa. Sepanjang jalan juga ada tanah longsor kecil dan sedang.

Pada bagian ruas jalan Kijang menuju Toapaya juga terlihat longsor hingga membuat setengah bagian jalan ambruk. Kendaraan yang melintas harus jalur buka-tutup. “Air mengalir dari atas kebun sawit sangat kencang, hingga ke bawah dan membuat jalan longsor,” kata Dewi, warga yang sering melintas kawasan itu.

Sepanjang jalan di kebun sawit ini juga ada longsor. Tanah berasal dari bagian bekas pemotongan lahan pembuatan jalan dengan tinggi sekitar delapan meter.

 

Baca juga: Banjir dan Longsor di Kepulauan Riau, Pulau Kecil Rawan Kala Tata Kelola Tak Peka Alam

Sawit ditanam di pebukitan di Bintan. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Longsor yang memutuskan jalan terparah terdapat di Jalan Bintan Timur, yang menghubungkan antara daerah Kijang dan Toapaya. Akses jalan aspal ini belum pemerintah resmikan tetapi sudah digunakan masyarakat. Jalur itu lebih mempermudah akses masyarakat, daripada lewat jalur lama cukup jauh.

Karena jalan putus, masyarakat harus memutar ke jalur alternatif yang berjarak sekitar 20 kilometer. “Mau tidak mau harus jalur itu,” kata Ari.

Nepy Purwako, Camat Toapaya, mengatakan, longsor di Toapaya karena curah hujan tinggi bersamaan dengan air laut pasang. Setidaknya, ada empat longsor dengan kondisi parah, tiga membuat jalan putus. “Longsor-longsor kecil banyak,” katanya kepada Mongabay.

Sepanjang kebun sawit PT Tirta Madu, memang terdapat beberapa longsor, seperti di Batu 20. Longsor di kawasan itu perbaikan sudah terakomodir pemerintah provinsi, kemudian Toapaya Utara, Toapaya Selatan dan lain-lain.

“Beberapa kerusakan kecil sudah langsung diperbaiki oleh masyarakat dengan jembatan sementara. Beberapa tempat yang parah sedang pengajuan perbaikan kepada pemerintah Bintan,” katanya.

Dia bilang, agar bencana tidak terulang pemerintah akan berupaya membangun gorong-gorong lebih besar lagi. “Disini terdapat puluhan hektar kebun sawit, kita tidak tau pasti apakah ada hubungannya, keterangan masyarakat tidak ada pengaruh, tetapi di beberapa sungai di Bintan ini kering karena dugaan penanaman kebun sawit,” kata Nepy.

 

Baca juga: Kala Hutan Gundul, Pulau Lombok dan Sumbawa jadi Langganan Banjir

Jalan di kebun sawit yang longsor di Bintan. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Warga Toapaya yang terdampak banjir dan longsor sekitar 300 keluarga. Saat ini, dia tak bisa memastikan ada atau tidak perluasan kebun sawit. Pasalnya, aturan sudah berubah, kecamatan tidak ada wewenang untuk rekomendasi kawan yang dapat izin perkebunan sawit.

“Kami tidak punya wewenang izin lagi, dulu memang rekomendasi lahan untuk perkebunan dari kecamatan atau dari bawah.”

Selain longsor, banjir juga terjadi konsesi sawit Tirta Madu. Dugaan pemerintah, banjir karena keberadaan perkebunan sawit hingga merendam perumahan warga.

“Dugaan kita banjir yang menerjang perumahan warga karena ada kebun sawit,” kata Agus Purwoko, Kabid Konservasi Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum Badan Lingkungan Hidup, kepada Mongabay.

Banjir terjadi di Desa Malang Rapat, Kabupaten Bintan.

Hujan lebat dengan intensitas tinggi membuat perumahan di kawasan itu banjir.

Agus mengatakan, setelah mendapatkan laporan langsung turun ke lapangan. Ditemukan banjir karena tidak ada tanggul permanen di perkebunan sawit itu.

Setelah itu, dia mengumpulkan pihak terkait, termasuk beberapa warga yang protes.

Kuat dugaan banjir dampak kebun sawit karena penanaman ulang bersamaan dengan hujan deras di Kepri. Jadi, hujan turun tidak mampu ditahan, karena tanaman sawit sudah ditebang. “Itu yang menyebabkan air tidak terbendung dan masuk perumahan,” kata Agus.

Dinas, katanya, sudah mengingatkan perusahaan untuk memperhatikan kondisi ini dan pembangunan tanggul permanen.

Soal jalan putus di Batu 18, Agus bilang belum pemeriksaan total. “Saya dengar Pemerintah Bintan sudah melakukan perbaikan.”

Menurut dia, kondisi itu masih sebatas longsor dan putus jalan. Ketika sudah masuk perubahan yang bersifat mendesak mereka akan langsung turun ke lapangan.

Beng We, Koordinator Lapangan PT Tirta Madu untuk wilayah Sungai Gesek membantah banjir atau longsor karena perkebunan sawit. Beng bilang, longsor terjadi karena curah hujan tinggi hingga gorong-gorong yang kecil tak bisa menampung air.

Menurut dia, gorong-gorong harus diperbesar agar tidak menerjang jalan hingga putus. “Diameter seharusnya 1,5 meter atau 2 meter,” katanya.

Untuk jalan putus, kata Beng karena pemotongan bukit di tepi jalan di perkebunan Tirta Madu terlalu tinggi. Terlebih, katanya, kontur tanah di Bintan adalah bauksit dan pasir.

“Potongan bukit ketika pembuatan jalan terlalu tinggi, hingga kalau hujan tanah turun apalagi tidak ada pegangan,” katanya.

Kebun sawit yang menjadi tanggung jawab Beng sekitar 1.198 hektar.

“Setelah longsor kemarin kita sudah turun ke jalan membersihkan di beberapa titik yang terdapat di kawasan kita.”

 

Baca juga: Tak Hanya soal Cuaca, Banjir Parah Kaliamantan Selatan karena Alam Rusak

Longsor di area perkebunan sawit di Bintan. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Bencana ekologis mengintai

Ancaman bencana ekologis tidak hanya terjadi di Bintan. Sekitar 14.000 hektar kebun sawit dalam proses perizinan di Kabupaten Lingga, Kepri. Selain itu, ada ribuan hektar lahan bekas sawit mangkrak di labupaten ini.

Warga Lingga cemas. Apalagi tidak hanya kebun sawit, juga tambang. “Khawatir juga, kita nggak tau bencana ini,” kata Sumiati, warga Lingga.

Masyarakat Lingga berharap, pemerintah ketat memberikan izin kepada perusahaan sawit. “Efek lingkungan ini yang harus diperhatikan Pemerintah Lingga, jangan sampai terjadi seperti di Bintan,” kata Doni, juga warga Lingga.

Doni mengatakan, ribuan hektar sawit di Linau, yang sempat ‘mati suri’ akan digarap lagi. “Saya dengar kabar, sawit di Linau ada info mau dibuka lagi,” katanya.

Pemerintah, kataya, harus bisa memastikan perusahaan akan bertanggung jawab kalau terjadi bencana. “Pastikan juga, apakah perusahaan itu memang untuk kebun sawit, atau malahan modus illegal logging.”

Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau mengatakan, cuaca beberapa waktu belakangan memang sangat buruk, tetapi perubahan alih fungsi lahan yang tak memperhatikan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan jadi faktor terbesar terjadi bencana. “Termasuk bencana kerusakan infrastruktur akibat banjir dan longsor,” katanya.

Dia katakan, bencana baik banjir maupun longsor terjadi karena pembangungan kurang kajian daya tampung dan daya dukung lingkungan. “Ketika membangun prsayarat kajian daya tampung dan daya dukung lingkungan harus jadi syarat penting, agar bencana ekologis tidak terus terjadi,” katanya.

Dari kajian prasyarat pembangunan itu, kata Riko, akan terlihat lokasi tertentu tidak cocok jadi perkebunan sawit. “Kalau tetap dipaksakan hasilkan akan terjadi bencana ekologis.”

Kalau kasus banjir dan longsor di area kebun sawit di Bintan, katanya, pemerintah mesti kaji ulang izin perkebunan dan restorasi hingga terjadi pemulihan lingkungan guna mencegah bencana.

“Pemerintah bisa melajukan audit kepatuhan dan audit lingkungan di lokasi bencana,” saran Riko.

Uba Ingan Sigalingging, anggota DPRD Komisi I Kepri mendesak, pemerintah teliti ulang analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin lingkungan kebun sekitar.

Pemerintah, katanya, harus mencari penyebab bencana itu. “(Longsor dan banjir) itu contoh bukti ketidak pahaman pentingnya memperhatikan lingkungan dalam investasi.”

Ketika aliran sungai rusak dan terjadi banjir, kata Uba, itu bentuk kelalaian bahkan bukti tindakan arogan penguasa. “Kami minta ini (bencana di perkebunan sawit) harus segera ditindaklanjuti.”

Ke depan, kata Uba, pemerintah daerah harus lebih ketat memberikan izin investasi, seperti buat perkebunan sawit.

Dia juga usulkan evaluasi dan mengkaji ulang berbagai perizinan usaha di sana guna meminimalisir bencana ke depan.

 

Dataran tinggi atau pebukitan di Bintan, berubah jadi kebun sawit. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version