Mongabay.co.id

Sebelas Warna Air untuk Ibu Pertiwi, Tradisi Konservasi Purba dari Pedawa (bagian-1)

 

Jika ada desa yang masih teguh melestarikan tradisi purba melindungi perlindungan alam secara sederhana namun bermakna, salah satunya berada di Desa Pedawa. Desa ini termasuk desa Bali Aga atau desa tua yang berada di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali.

Konsep utama dari perlindungan alam adalah tirta, atau makna keberadaan air. Air adalah yang menghidupkan, asal muasal dan bagian penting dari keseluruhan proses kehidupan.

Karena itu, tetumbuhan penyimpan air seperti rumpun bambu amat dilestarikan di Pedawa, karena ia memiliki kegunaan secara fungsi dan ekologis. Kehadirannya di alam termasuk menjaga lahan kritis di tebing curam karena memiliki akar kuat dan penyimpan air.

Sanggah kemulan atau sanggah nganten, sebutan bagi tugu bambu dari varietas bambu lokal di Bali dapat dijumpai. Setiap warga yang sudah menikah akan mendirikan sanggah nganten ini di rumahnya.

Tampak pula tempat persembahyangan dari bambu yang terlihat anggun terletak di bagian utara rumah. Bentuknya sederhana namun indah. Semua bagiannya dirakit dari bambu termasuk lubang ulir dan pasaknya untuk menguatkan. Sementara tali tambahannya terbuat dari ijuk.

Baca juga: Festival Perlindungan Air untuk Mitigasi Krisis Air Bali

 

Tugu bambu: Sanggah nganten yang khas di Desa Pedawa. Terbuat dari bambu, simbol melestarikan rumpun penjaga air. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Siang itu, Made Suisen, anak muda Desa Pedawa ini mencoba meraba beberapa batang bambu, mengetuk-ngetuknya. Ini bukan pekerjaan iseng-iseng.

Suisen yang dikenal dengan nama Ibong atau Made Saja ini menyebut di desanya ada tradisi mengumpulkan 11 warna air, dari 11 sumber air. Uniknya, ini bukan semata sumber air permukaan yang melimpah seperti sungai atau danau. Tapi sumber-sumber air yang menandakan kondisi dan kelestarian lingkungan sekitarnya.

“Air solas (sebelas) itu dipercikkan di halaman tumah untuk ibu pertiwi, peneduh bumi,” Suisen menunjuk halaman rumahnya dan depan tugu sanggah nganten, penanda pernikahan ibu bapaknya.

Prosesi mempersembahkan 11 sumber air ini menjadi syarat sebelum dimulainya upacara atau ritual besar seperti pernikahan, kematian, dan upacara agama lainnya. Untuk mengumpulkannya, bukan perkara mudah.

Warga harus mempelajari ekosistem lingkungan sekitarnya seperti sungai, kebun, tebing, dan tanamannya. Karena sebelas sumber air ini didapatkan dari, pertama, rongga atau empul buluh bambu terutama jenis lokal.

Kedua, yeh paung batu atau air dari lubang batu, bisa batu apa saja asalkan ada genangan air di dalamnya.

Ketiga, paung bun atau lubang akar tanaman. Keempat, cacapan sember atau rembesan tepian sumur. Kelima, air belahan tukad atau ujung pertemuan dua sungai. Keenam, apit munduk atau cekungan di antara dua tanah tinggi. Ketujuh, yeh anyar atau air bersih dari pancuran.

Kedelapan, yeh mare tumbuh atau air bersih yang baru keluar dari pangkal pancuran. Kesembilan, yeh lembuah atau air dari nasi yang didinginkan. Sepuluh, tunggal ampel atau air di bekas potongan bambu. Sebelas, yeh ampel atau air di sisa potongan bambu.

Baca juga: Begini Mitigasi Dampak Pandemi ala Desa Tembok Buleleng Bali

 

Sebelas warna air pedawa: Mengumpulkan satu jenis air yakni pertemuan dua sungai dari tradisi 11 warna air yang dilestarikan di Desa Pedawa. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Jika upacara sudah dibuka dengan 11 warna air ini artinya menghormati pertiwi. Upacara ini dilakukan di rumah penduduk di Desa Pedawa, termasuk oleh warga non Hindu yang mukim di desa dan meyakini tradisi ini.

Keseluruhan air itu akan dicampur ke dalam satu wadah. “Untuk upacara besar. Misal sebelum nikah, lima hari sebelumnya kami meneduhkan karang, untuk mengaktifkan energi,” lanjut Suisen.

Ada juga tradisi mecaru, tapi ini setelah upacara ditujukan bagi energi bhuta kala untuk menyeimbangkan.

Untuk mendapatkan semua 11 warna air ini bukan hal mudah. Namun proses mencari, jika ditransfer sebagai kesadaran ekologi dan pengetahuan keanekaragaman hayati, maka jadi perjalanan yang sangat penting.

Misalnya untuk air dalam batang bambu, harus memiliki pengetahuan tentang pohon bambu. Batang mana yang berisi kubangan air, apa ciri-cirinya, dan bagaimana cara mendapatkan airnya.

Dengan demikian, maka secara tidak langsung seseorang harus mempelajari bagian pohon bambu. Bunga, jenisnya, dan bagaimana cara memanen. Demikian juga mencari air empel tiing atau sisa potongan bambu.

Petani lain bernama Bandra saat dijumpai hendak membuat bangul atau tangga dari bambu untuk panen cengkeh. Ia sedang memilih satu batang bambu yang paling tinggi, tua, dan kuat. Menurutnya bambu yang cocok adalah jenis lokal seperti bambu bali dan tamblang.

Badra tergantung pada rekannya sesama petani yang memiliki kebun bambu untuk pembuatan sarana bagi kebun cengkehnya. Untuk membuat bangul, sedikitnya ia perlu bambu sepanjang 15 meter.

 

Sembahyang di tugu air: Putu Yuli memimpin persembahyangan sebelum memulai kegiatan konservasi sumber air. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Tradisi lain yang mengadopsi prinsip ekologis keberagaman dan perlindungan keragaman hayati di desa ini adalah daksina. Daksina memiliki nilai instrinsik dan ekstrensik tinggi, bagian penting sarana upacara di Bali.

Di Desa Pedawa, daksina harus berisi gula aren. Sebagai simbol untuk melestarikan pohon arean atau enau yang juga salah satu tanaman multifungsi untuk kehidupan manusia dan ekologi. Pohon ini kerap hidup di area kritis dan menyimpan cadangan air tinggi.

Semua bagian pohon ini berguna dan digunakan di Bali, sehari-hari dan ritual. Daun aren muda disebut ambu, digunakan untuk hiasan penjor dan rangkaian sarana sesajen. Daun tua disebut ron, untuk membuat sesajen dan kemasan tradisional.

Buahnya disebut beluluk, campuran es campur atau manisan. Nira dari bunga aren inilah yang dipanen, kemudian dimasak jadi gula aren. Ada juga ijuk dan batangnya untuk bahan bangunan dan tugu persembahyangan.

Sayangnya pohon yang dulunya rimbun di Desa Pedawa, kini berangsur tergantikan kebun cengkeh. Sejak komoditas ini memiliki nilai jual tinggi puluhan tahun lalu.

Dari kebun beragam vegetasi seperti kopi, aren, bambu, dan buah, sebagiannya berubah jadi kebun monokultur cengkeh. Di perbukitan Desa Pedawa dan sekitarnya, rapatan cengkeh terlihat mendominasi.

Meski demikian, masih ada sejumlah warga yang masih tekun pada tradisi masa lalu ini. Mereka masih membudidayakan pohon aren di kebun-kebunnya. Di masa lalu, gula aren adalah komoditas penting warga, misalnya untuk di barter dengan beras.

Tradisi di Desa Pedawa memang bertarung dengan pesatnya perubahan zaman. Konsep dan gagasan pelestarian alam dari leluhur seharusnyalah dapat lestari dan jadi sumber pengetahuan utama bagi generasi muda saat ini.

 

***

Seri dalam tulisan ini:

Bagian 2: Gula Aren di Pedawa dan Menggali Pengetahuan Lokal di Masa Pandemi

Bagian 3: Cara Kayoman Menjaga Sumber Air Desa Pedawa

 

 

Exit mobile version