Mongabay.co.id

Adaptasi Warga Pesisir Timbulsloko Setelah Kampung Terendam Air Laut

Akses jalan Dukuh Timbulsloko yang terputus dengan kampung lain karena rob. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Rukanah memasang 10 jebakan kepiting hanya beberapa langkah dari pintu rumah, pagi itu. Rutinitas itu Rukanah lakoni setelah air laut merendam jalan persis di depan rumahnya.

Aktivitas ini, lumayan untuk menambah pendapatan keluarga. Satu kilogram Rp60.000, berisi enam sampai tujuh kepiting. Untuk satu kg berisi satu atau dua kepiting Rp120.000.

Kalau beruntung, ada saja kepiting bertelur yang masuk ke perangkap, harga bisa Rp200 ribu per kilogram.

Rukanah, warga Dukuh Timbulsloko, Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah ini tidak menyangka, air laut benar-benar sampai di depan rumahnya. Padahal, 40 tahun lalu Dukuh Timbulsloko masih di kelilingi sawah. Catatan yang dimiliki kantor desa, sawah terakhir di Timbulsloko pada 2016.

Kini, air laut bahkan mengepung perkampungan yang berjarak sekitar tiga kilometer dari awal garis pantai. Kala itu, jalan depan rumah masih bisa dilalui kendaraan roda empat. Kini hanya bisa dilalui sampan. Saat rob surut, tinggi air selutut. Sepeda motor jarang yang berani melintas karena licin dan bisa sebabkan mati mesin.

Kartimah, warga Timbulsloko lain juga tak mengira depan dan belakang rumah kini hanya air. Dulu, ada kebun, sawah, dan tambak. Dia dan suaminya yang telah tiada menanami sawah dengan padi, cabai dan palawija.

“Tidak ada orang kelaparan. Kalau sekarang, tidak dikasih sama anak ya tidak makan,” kata perempuan yang lahir dan besar di Timbulsloko ini.

Kini, di masa tua, dia pun harus rutin kontrol ke dokter. Kalau dulu bisa dengan mudah pergi ke luar desa memakai kendaraan bermotor, kini Kartimah harus naik perahu menuju tanah lebih tinggi, tempat warga biasa memarkir sepeda motor. Selanjutnya, dari sana berganti moda transportasi jalan darat.

Keinginan Kartimah sederhana, tetapi tak mudah mewujudkannya. “Jalan kering lagi seperti dulu.”

 

Baca juga: Nasib Pesisir Demak Hadapi Sampah Plastik, Kerusakan Mangrove dan Abrasi

Rob melanda Desa Timbulsloko. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Laut meluas

Shobirin menghela napas sebelum bercerita. “Dulu, desa ini makmur sekali. Kelapa masih banyak. Depan rumah ini kelapa semua. Belakang juga kelapa semua. Termasuk yang di tetangga. Belakang rumah kebun, belakang lagi sawah. Subur-subur semua. Galengan ditanami lombok subur sekali,” kenang tokoh masyarakat Timbulsloko ini, ditemui di rumahnya, awal 4 April lalu.

Timbulsloko jadi salah satu desa yang mengalami banjir rob terparah di pesisir Demak. Desa ini memiliki empat pedukuhan, yaitu Bogorame, Timbulsloko, Wonorejo, dan Karanggeneng.

Data 2019 menyebut, penduduk sebanyak 3.710 jiwa, dengan pekerjaan kebanyakan sebagai nelayan dan buruh pabrik.

“Dari empat pedukuhan, paling parah sini. Sebab tiga dukuh lain akses jalan masih ada. Truk bisa masuk, untuk membawa material bangunan, misal. Kalau di sini, colt saja nggak bisa,” kata Shobirin.

Kondisi itu, membuat upaya menguruk jalan, atau meninggikan rumah menjadi amat mahal. Anggaran, katanya, bisa membengkak hingga empat kali lipat dibanding membangun di lahan kering dengan akses mudah untuk pengiriman material.

“Kalau belanja material habis Rp500.000, yang borong bisa sampai Rp2 juta.” “Soalnya langsir material bangunan pakai perahu.”

Rob adalah air laut yang masuk ke daratan saat pasang. Ketinggian rob dipengaruhi gaya tarik benda-benda angkasa seperti bulan dan matahari terhadap air laut di bumi. Faktor lain adalah penurunan tanah karena pemanfaatan air dalam secara besar-besaran. Juga pemanasan global yang menyebabkan permukaan laut naik. Fakta yang dirasakan warga Timbulsloko, rob kian hari kian tinggi saja.

“Dulu, kalau pagi masih ada sepeda motor yang bisa lewat. Sekarang tidak ada. Dulu, masih bisa diprediksi, kalau malam Jumat rob kecil maka sampai Minggu rob juga kecil. Sekarang tidak bisa,” kata Ma’ruf, pemuda Timbulsloko kelahiran 1992. Dia belum pernah melihat tanah kering sejak kecil di kampung ini. Seingat dia wilayah itu sudah terendam air.

 

Baca juga : Mencari Solusi Selamatkan Pulau Bengkalis dari Abrasi

 

Rob datang pagi dan sore hari, bersamaan dengan berangkat dan pulangnya sebagian warga yang bekerja di pabrik, toko, atau proyek bangunan. Agar sepatu selalu kering, anak sekolah berangkat tanpa alas kaki. Sepatu mereka tenteng. Mereka yang bekerja harus membawa baju ganti.

Bogorame dan Wonorejo, adalah dusun paling dekat dengan laut Jawa yang merasakan dampak rob. Bogorame, pada 1980 separuh luas desa adalah persawahan, 10 tahun kemudian lahan padi di dukuh ini berubah menjadi tambak. Tambakpun rusak karena abrasi yang hanya menyisakan sedikit tanah kering untuk permukiman di tengah-tengah dukuh.

Begitupun Timbulsloko, yang diapit dua sungai, persawahan yang berubah menjadi tambak akhirnya ludes terendam rob. Rob juga menenggelamkan infrastruktur jalan yang menghubungkan dukuh ini dengan dukuh lain.

Kala rob tinggi, warga terpaksa menggunakan perahu untuk keluar masuk permukiman. Sepeda motor milik warga harus mereka titipkan di luar dukuh. Dukuh Timbulsloko juga terputus dengan dukuh lain yang membuat kawasan ini terkepung air laut.

Dukuh Karanggeneng, merupakan lokasi sedikit terdampak karena posisi paling jauh dari garis pantai. Balai desa dan kantor Desa Timbulsloko juga ada di wilayah ini. Tempat Kepala Desa Timbulsloko, Umar, beserta perangkat menjalankan tugas.

Dampak abrasi dan rob, selain jalan dan jembatan rusak, puluhan rumah di Dusun Bogorame dan Wonorejo, hilang. Di Dusun Timbulsloko, beberapa rumah kosong ditinggal penghuni karena tidak lagi layak huni.

Dari dokumen yang diperoleh Mongabay, pada 1972, garis Pantai Utara Jawa yang melewati Desa Timbulsloko masih cenderung lurus dari Timur Laut menuju Barat Daya.

Sampai 2007, garis pantai itu makin masuk ke daratan namun masih cukup jauh dari permukiman. Pada 2009, garis pantai sudah jauh masuk ke daratan, dengan pola tak beraturan, melahap sebagian besar tambak dan sawah tersisa. Pada 2013, garis pantai makin jauh masuk ke daratan dan menyentuh kawasan mangrove dan permukiman.

Sebenarnya, pada 1960 wilayah Timbulsloko sebagian besar persawahan dan hanya ada sedikit tambak di dekat pantai. Pada 1980, perbandingan luas tambak dan sawah jadi berimbang. Pada 1990, keadaan menjadi terbalik dibanding 30 tahun sebelumnya, saat lahan sawah tersisa hanya ada di dekat area permukiman di Dukuh Karanggeneng dan Wonorejo. Kurun waktu itu, seluruh lahan pertanian nyaris jadi tambak.

 

Baca juga : Hutan Mangrove Pesisir Utara Jawa Tengah Terancam Sampah Plastik

Warga harus melewati jalanan terendam, berarus dan licin. Foto: Nuswanyoto/ Mongabay Indonesia

 

Shobirin punya cerita tentang beralihnya sawah menjadi tambak. Dia bilang, dulu ada warga kawin dengan pemuda desa tetangga.

“Orang itu membuat tambak. Caranya, sawah ditebari ikan. Dalam dua bulan dapat Rp20 juta. Akhirnya, tetangga tertarik. Sawah lalu ditebari ikan semua. Akibatnya, rob masuk. Lama kelamaan galengan hilang,” kata Shobirin yang pernah mengusahakan tambak dengan cara menyewa hingga 10 lokasi ini. “Setelah sawah dan tambak rusak, orang lari ke proyek, ke pabrik.”

Cerita kerusakan sawah dan tambak membuka fakta lain. Arus laut makin kuat setelah ada tambahan bangunan di Pelabuhan Tanjung Mas, reklamasi Pantai Marina, dan pembangunan kawasan industri di Semarang yang berbatasan langsung dengan Demak. Beberapa warga Bedono mengeluhkan hal itu. Hasil tangkapan nelayan turun, dan arus laut yang kuat mengikis tanggul penahan ombak.

Penelitian menggunakan citra satelit mengonfirmasikan, penambahan luas daratan di Semarang karena kegiatan manusia berupa perluasan pelabuhan berkorelasi  dengan berkurangnya lahan dampak abrasi di Demak. Abrasi terparah dirasakan Timbulsloko. Foto udara terakhir memperlihatkan perubahan berbentuk cekungan. Penuturan warga, abrasi terjadi sejak 2005, makin parah sejak lima tahun lalu.

“Tapi kalau Bedono sampai Bogorame, tidak ditalud percuma, arusnya besar. Apalagi, kalau ada tol. Tol itu kan tidak mengamankan, tapi malah memperparah sini,”kata Shobirin.

Sebelumnya, ada banyak vegetasi mangrove di sepanjang pantai Timbulsloko. Mangrove mampu menahan abrasi, dan membangun struktur alami sedimen di bibir pantai. Terpikat keuntungan besar dari tambak, mangrove pun ditebangi.

Akibatnya, perlahan arus laut mengikis pesisir pantai Timbulsloko, dan makin hari makin menjorok ke wilayah daratan.

 

Aturan desa yang melarang tebang mangrove. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Mulai berbenah

Desa Timbulsloko mulai berbenah.  Kini,  mereka punya peraturan desa yang melarang siapapun menebang mangrove. Ada kawasan perlindungan pesisir di dekat pantai yang dibagi menjadi area mangrove, rehabilitasi, larang tangkap, dan tangkap terbatas. Tujuannya, untuk melindungi pesisir dari ancaman kerusakan dan demi keselamatan permukiman warga.

Masyarakat mulai mengenai budidaya perikanan berkelanjutan. Sanksi bagi siapapun yang menebang mangrove adalah menanam 100 bibit mangrove selain membayar denda.

Timbulsloko pun ditetapkan sebagai lokasi program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pada 2013, bekerja sama dengan Wetlands Internastional, mereka membangun struktur hybrid engineering di Bogorame dan Wonorejo. Struktur meniru perakaran mangrove untuk menangkap sedimen hingga suatu saat setelah terkumpul bisa ditumbuhi mangrove secara alami.

Struktur ini dianggap memberikan hasil terbaik dibanding alat pemecah ombak (APO), dan tanggul laut (sea wall), karena mampu menahan abrasi dan menangkap sedimen mengikuti dinamika pasang surut air laut.

Warga juga membangun jembatan. Jembatan baru terbuat dari bilah kayu selebar satu meter dan sepanjang 1,5 kilometer ini  mengubah suasana Dukuh Timbulsloko. Jalan itu mengembalikan “atmosfer” kampung Timbulsloko yang lama hilang, saat masih berupa tanah kering, puluhan tahun lalu. Terlihat anak-anak tertawa-tawa berlarian sepanjang jembatan. Beberapa warga mengeluarkan kursi dari rumah, lalu bercengkerama sambil menunggu senja.

“Sebelum dan sesudah ada jembatan itu bedanya banyak. Dulu, setelah Isya tidak ada orang keluar, apalagi anak-anak. Mereka di rumah, melihat TV. Sekarang, walau jam 10 malam masih ada anak-anak berlarian. Dulu, ketika tidak ada rob suasananya seperti ini,” cerita Shobirin.

Pindah rumah menjadi pilihan terakhir bagi sebagian besar warga Dukuh Timbulsloko yang berjumlah 120 keluarga ini. Sekitar 38 keluarga lebih dulu memilih pindah dan mengosongkan rumah.

Bagi yang bertahan, mereka beralasan karena dukuh ini tempat kelahiran mereka. Selain itu, perlu biaya tidak sedikit, mereka tidak ingin menemui ketidakpastian baru.

Warga beradaptasi dengan cara meninggikan lantai rumah. Shobirin mengaku sudah tiga kali meninggikan rumah. Dua kali menggunakan batu pasir, terakhir pakai kayu.

Warga lokal menyebut pasang gladak, ini membuat lantai baru dengan kerangka kayu. Kalau dihitung, setiap lima tahun sekali warga meninggikan lantai rumah setinggi hampir satu meter. Rata-rata seluruh rumah di Timbulsloko tinggikan lantai dengan cara ini.

 

Makam di Timbulsloko, tak luput dari rendaman air laut. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

“Salut kepada warga Timbulsloko yang bisa membangun jembatan sebagai akses penting nadi kehidupan Timbulsloko tanpa bantuan pemerintah,” kata Masnuah, yang menginisasi Solidaritas Kemanusiaan untuk Timbulsloko, guna mengumpulkan dana bagi pembangunan jembatan ini.

Belakangan, untuk pembangunan jembatan yang mulai Februari itu juga didukung Baznas baik pusat maupun Jawa Tengah, akhirnya jembatan kayu bisa terwujud.

“Sejak awal kami membantu Timbulsloko memakai nama solidaritas kemanusiaan. Yang kami dampingi sebenarnya bukan Timbulsloko saja, ada Mondoliko, Bedono, Morodemak, khusus desa-desa pesisir.”

Mereka yang mendukung, katanya, ada Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia, Kelompok Perempuan Nelayan Puspita Bahari, Yayasan Paralegal Pertiwi, LBH Apik Semarang, Kiara.

Sekjen PPNI itu pun mendesak pemerintah lebih peduli kepada masyarakat pesisir, antara lain dengan menetapkan banjir rob sebagai bencana. Jadi, masyarakat yang terdampak rob bisa mendapat bantuan sebagaimana mestinya.

“Negara belum hadir di tengah-tengah krisis lingkungan yang diakibatkan kebijakan pembangunan yang tidak berpihak terhadap warga terdampak. Bahkan, pemerintah belum menganggap rob sebagai bencana. Abrasi, perubahan iklim makin menggerus kehidupan masyarakat pesisir,” katanya.

Pemerintah memang belum memasukkan rob, dan amblesan tanah sebagai ancaman bahaya yang jadi urusan lembaga penanggulangan bencana, sesuai Undang-undang Penanggulangan Bencana Nomor 24/2007. Dalam bab I Pasal 1, yang termasuk bencana alam adalah gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Masnuah mengatakan, akan terus bergerak dan bergotong royong mendukung hidup lebih layak bagi warga Dukuh Timbulsloko.

Solidaritas Kemanusiaan untuk Timbulsloko, katanya, lahir karena kepedulian terhadap kelompok rentan termasuk desa-desa pesisir yang terdampak abrasi dan bencana iklim. Caranya, dengan donasi terbuka dan membuka akses ke berbagai pihak yang memiliki kepedulian terhadap Timbulsloko.

“Semoga ini menjadi awal baik untuk lebih menarik perhatian pemerintah secepatnya memulihkan desa-desa pesisir yang tenggelam akibat abrasi,” katanya.

Menurut dia, perlu banyak dukungan untuk membantu warga Dukuh Timbulsloko agar bisa beradaptasi dengan kondisi saat ini.

“Karena Timbulsloko sudah tenggelam, warga tidak bisa menunggu dari pemerintah yang belum kunjung turun tangan. Sedang warga harus terus beradaptasi dengan lingkungan.”

 

 

***

Saat pagi hari, rob tinggi. Warga Timbulsloko baik perempuan maupun laki-laki terlihat berangkat kerja. Kini, mereka tak perlu menyiapkan baju ganti karena bisa berjalan di atas jembatan kayu. Juga tidak perlu cincing, istilah untuk mengangkat rok tinggi-tinggi menghindari air rob. Sekitar pukul 9.00 rob akan surut. Sore pukul 4.00 sampai malam rob kembali tinggi, menyambut kepulangan sebagian warga Timbulsloko yang bekerja di kota.

 

Anak-anak menikmati jembatan sepanjang 1,5 km di Dukuh Timbulsloko. Setelah ada jembatan, warga tak lagi harus berjalan mengarungi ‘laut baru’ atau bersampan untuk sampai ke dataran kering. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

****

Foto utama: Akses jalan Dukuh Timbulsloko yang terputus dengan kampung lain karena rob. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version