Mongabay.co.id

Gula Aren di Pedawa dan Menggali Pengetahuan Lokal di Masa Pandemi (bagian-2)

 

Tulisan sebelumnya: Sebelas Warna Air untuk Ibu Pertiwi, Tradisi Konservasi Purba dari Pedawa

 

Desa Pedawa di dataran tinggi Buleleng, Bali Utara ini dulu terkenal dengan kebun aren dan kopi. Namun, industri cengkeh membuat warga mengganti tutupan kebunnya yang berada di perbukitan.

Kini, romansa gula aren kembali hadir karena kesadaran sejumlah warganya yang secara tradisi sangat lekat dengan pohon aren. Bahkan secara ekologis pohon ini menjaga sumber-sumber air sekitarnya.

Salah satunya Pan Kabe, usianya sudah lanjut. Dia menjaga kebunnya dengan keragaman tumbuhan yang sejak dulu ada, seperti aren, bambu, dan sejumlah pohon buah. Saat ini kebunnya jadi ‘harta karun’ yang tersisa dari masa puluhan tahun lalu sebelum cengkeh tiba di Pedawa.

 

Tegakan pohon aren yang masih ada Desa Pedawa. Foto: Luh De suriyani/Mongabay Indonesia

 

Putu Yuli adalah generasi penerus yang tertarik untuk mempertahankan tradisi memuliakan aren ini. Dia asli dari Pedawa.

Dalam sebuah treking bersama belasan pengunjung wisata, Yuli mengajak mereka kembali ke masa lalu Desa Pedawa. Dia menunjukkan beragam alat tradisional dari memanjat pohon sampai pengolahan nira aren.

Dia memperlihatkan pangolin atau tangga bambu untuk memanjat pohon aren. Panen dimulai dengan membersihkan buahnya, tangkai aren dibuka, lalu memukul-mukulnya. Kegiatan ini tak sembarang hari, harus cari hari baik.

Jika bunga (puji) aren berwarna kekuningan baru nira siap dipanen. Puji diikat dan dipukul dengan batang dadap setiap 5 hari sekali selama 7 kali. Setelah 35 hari puji dipotong. Tiga hari kemudian baru proses ngiris atau mengambil air nira.

Pisau pengiris pun khusus, pisau yang tak boleh dipergunakan sembarangan. Pisau ini dipasupati petani. Diberikan sesajen dan di rawat bak benda sakral.

Setelah batang diiris, untuk mengalirkan airnya, petani menggunakan daun yang disambungkan ke mulut wadah air nira. Saat mengiris pun harus tepat waktu. Jika sedang menghasilkan nira, pohon yang disadap tak boleh diganggu.

Tuturnya, warga juga kini makin memberi perhatian untuk melestarikan aren karena ritual agama memerlukan gula aren. Terlebih desa ini pernah mengalami kesulitan gula aren dan harus beli getah uyung untuk Upacara Ngusaba. Getah uyung atau getah kayu adalah istilah lokal untuk nira aren di Pedawa.

Baca juga: Manisnya Gula Aren dari Merawat Hutan di Kerinci

 

 

Buah labu yang dikeringkan dan menjadi wadah penampung nira dari pohon aren. Foto: Luh de Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Di masa lalu, Pan Kabe berkisah jika kebun aren bermula dari biji buah aren yang dibeli dan ditebar di kebun begitu saja. Tak mudah menanam atau memastikan bibit aren akan tumbuh besar. Untuk menghasilkan getah nira, usia pohon aren harus matang sekitar 10-15 tahun.

Pan Kabe bersyukur karena memiliki generasi penerus yang juga tertarik mempertahankan tradisi memuliakan aren ini. Saat berkunjung ke dapurnya, banyak benda-benda pengolahan tradisional yang dipajang.Misalnya buah labu kering yang jadi wadah nira, bentuknya seperti badan gitar dengan dua lekukan.

Wadah ini diletakkan di atas tungku kayu bakar untuk memasak nira jadi gula aren. Karena diasapkan, warnanya hitam dan lebih awet.

Setelah dimasak sekitar 5-6 jam, air nira atau tuak akan mengental. Setelah itu dimasukkan ke batok kelapa hingga penuh, lalu didinginkan di atas tungku. Gula aren terasa sangat legit.

Warga kini tak hanya mengolahnya jadi gula bongkahan, juga dicetak seperti cokelat dan permen untuk camilan. Harga gula aren dipatok Rp40 ribu per kg. Sekarang dia kewalahan memenuhi permintaan karena di sisi lain harus mempertahankan tradisi dan kualitas.

Hal unik dari tradisi pengolahan aren di Pedawa adalah pantang menjual tuak aren pada petani. Kalau berani menjual tuak, mereka meyakini air nira di pohon akan menghilang atau sangat sedikit.

“Kalau minta, jangankan sebotol, 5 liter pun dikasi,” seloroh sejumlah warga.

Petani yang akan memanen nira juga pantang ditanya saat bertemu di jalan, karena meyakini ini membuat hasil nira sedikit. Hal unik lain dari budaya aren ini adalah ada kebiasaan minum kopi yang didahului dengan menggigit gula aren sebelum menyesap kopi pahit. Gula aren tidak dicampur ke gelas kopi, tapi terpisah.

Namun di sejumlah desa lain di Bali, petani aren lebih memilih menjual tuak aren dari pada mengolahnya jadi gula. Dinilai lebih cepat menghasilkan uang, atau tidak punya keyakinan seperti petani aren Pedawa.

Baca juga: Nikmati Hasil Aren dari Hutan Halmahera

 

Buah dan biji aren (Arenga pinnata) yang telah direbus, untuk dibuat kolang-kaling. Foto: Wikimedia common/ Wibowo A. Djatmiko  Creative Commons 3.0 

 

Perubahan Tanaman

Pan Kabe mengingat, perubahan tanaman kebun dari kopi dan aren jadi cengkeh dimulai sekitar tahun 1970-80an. “Kalau aren bisa tiap hari panen. Kalau cengkeh panen tiap satu tahun,” ujarnya.

Ketika cengkeh mendominasi, warga menyadari ada perubahan lingkungan. Debit air berkurang. Dulu ketika banyak aren air berlimpah. Kini debitnya menurun dan hawa terasa lebih panas.

Dari dapur tradisional yang lekat dengan pengetahuan ekologis pohon nira, perjalanan berlanjut ke rumah tradisional yang disebut badung rangki.

Rumah ini didominasi bambu dengan atap bilah bambu juga. Di dalam bangunan, ada tungku kayu bakar kecil yang berdampingan dengan tempat tidur, tujuannya untuk menghangatkan tubuh.

Kepala atau kelihan Adat Pedawa Wayan Sudastika mengatakan, di masa lalu selain aren pohon-pohon kayu mendominasi kebun warga. Setelah cengkeh datang bersama iming-iming penghasilan tinggi, kebun warga cenderung berubah monokultur.

Dia menyebut perlu ada aturan adat (perarem) secara khusus di sumber-sumber air. Tujuannya agar tidak tercemar dan warga mau kembali menanaminya dengan pohon kayu.

“Pemilik ingin hasil, tapi kita mau lestari. Kami minta Pemda beli lahan di sekitar sumber air,” ujarnya. Di Pedawa ada dua dusun yang jadi sumber mata air desa.

Sebutnya, sejumlah kebiasaan warga yang beresiko mencemari sumber air adalah limbah domestik dan semprot rumput dengan bahan kimia untuk mematikan hama serangga.

Jika lingkungan terjaga, maka dia menyakini akan banyak manfaatnya buat warga. Salah satu yang sudah merasakan adalah Nyoman Tawan, seorang warga pengelola home stay.

Dia mengelola kebun tanaman obat dan juga jadi instruktur yoga. Aneka pangan tradisional dari kebun pun disukai pengunjung seperti daun ketela rambat, talas, dan lainnya. Dia sebut, bahkan ada turis yang sampai berbulan-bulan tinggal di rumahnya untuk terapi penyembuhan diri.

Lingkungan yang sehat ternyata bisa menjadi alternatif destinasi wisata kesehatan.

 

 

***

Seri dalam tulisan ini:

Bagian 1: Sebelas Warna Air untuk Ibu Pertiwi, Tradisi Konservasi Purba dari Pedawa

Bagian 3: Cara Kayoman Menjaga Sumber Air Desa Pedawa

 

 

Exit mobile version