Mongabay.co.id

Cara Kayoman Menjaga Sumber Air Desa Pedawa (bagian-3)

 

Tulisan sebelumnya: Gula Aren di Pedawa dan Menggali Pengetahuan Lokal di Masa Pandemi

 

Desa Pedawa adalah salah satu desa Bali Aga atau desa kuno yang ada di Bali Utara. Berbeda dengan tradisi desa-desa Bali lain, Bali Aga diyakini belum terpengaruh masa Hindu Majapahit. Di sini, misalnya tidak ada strata sosial yang sering disebut kasta.

Desa ini terletak di lereng perbukitan. Dihuni penduduk lebih kurang 6.000 jiwa. Dari kejauhan Desa Pedawa tampak dikelilingi oleh kebun-kebun cengkeh. Perubahan pola tanaman ini juga membawa pengaruh kepada perubahan ekosistem dan lingkungan yang ada di Pedawa.

***

 

Pagi di akhir April tampak sekitar 15 orang anak muda berkumpul di rumah adat yang dinamakan bandung rangki. Mereka kompak mengenakan seragam kaos biru muda bertuliskan Pelawa Kayoman Pedawa. Aneka peralatan seperti cangkul, parang, dan lainnya siap di tangan masing-masing.

Putu Yuli Supriyandana dan Made Suisen terlihat mengkoordinir kelompok Kayoman Pedawa. Keduanya adalah dua dari empat perintis Kayoman yang diresmikan 2016 lalu.

Proses briefing berjalan ringkas. Dengan motor masing-masing dan memangku bibit beringin, ampupu, sawo, dan lainnya, mereka membelah jalan desa menuju kebun yang dituju. Kali ini kebun milik Pak Kabe, salah satu petani aren di Pedawa.

Area kebun dijangkau dengan melewati jalan sempit seperti gang pemukiman warga, lalu menanjak untuk mencapai kebun yang dilintasi sungai cukup besar.

Sebuah jembatan menghubungkan dua kawasan kaki bukit yang dibelah sungai. Air terlihat jernih, bebatuan besar mencuat di tengah sungai.

Kebun ini sekarang sudah tampak seperti hutan kecil. Sejumlah pohon besar seperti beringin dibiarkan tumbuh tinggi. Tajuknya menaungi rumpun bambu, pohon aren, dan pohon buah-buahan yang lebih pendek.

Baca juga: Begini Cara Unik Desa Pengotan Melestarikan Hutannya

 

Kelompok Kayoman memulai pagi dengan menanam bibit dan mengecek tanaman lama yang dulu mereka tanam di pinggir sungai. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Putu Yuli Supriyandana, lalu mengambil canang, rangkaian sesajen dari bunga dan menghidupkan dupa. Ia hendak bersembahyang dan minta izin agar kegiatan berjalan lancar serta bermanfaat.

“Prataksu sane melinggih, embed kelintang Kayoman rauh mangda ngampurayang ngaturan canang sari burat wangi tipat dampul. Ledangang suryaning, metatanduran, paica toya memargi becik. Tiang macecenikan, belog sanget, paica wara nugraha, lungsur ngwacik.”

Artinya kurang lebih begini, “Oh siapa pun yang tinggal di sini, Kayoman datang untuk minta maaf, menghaturkan canang sari burat wangi tipat dampul. Semoga diberkati, diberikan cahaya, bisa menanam, air yang lancar. Kami dengan rendah diri menyatakan bodoh, karena itu memerlukan panduan, anugerah, dan bisa mendapatkan manfaatnya.”

Dia menyampaikan doa ini di sebuah tugu batu yang memang ada dalam kebun yang berdampingan dengan pancuran air bersih. Doa yang mirip didendangkan di tugu batu lain. letaknya di tengah kebun yang kerap jadi tempat persembahyangan warga yang mengharapkan kurunia air susu ibu melimpah untuk bayi baru lahir.

Baca juga: Sebelas Warna Air untuk Ibu Pertiwi, Tradisi Konservasi Purba dari Pedawa

 

Sembahyang di tugu air: Putu Yuli memimpin persembahyangan sebelum memulai kegiatan konservasi sumber air. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

“Seluruh hidup kami, dari lahir dan mati memerlukan air,” ucap Yuli. Ia menunjuk bagian hulu sungai, area disakralkan untuk tempat upacara agama.

Setelah selesai upacara, bibit ditanam di beberapa titik. Ada bagian area terbuka yang jadi lokasi penanaman bibit baru. Penanaman bibit tak berlangsung lama karena mereka sudah berbagi tugas.

Adapun bibit lama dicek dan dipasangi ajir untuk menandai dan memudahkan perawatan. Mereka juga menghitung tinggi pohon.

Pulai, sejenis beringin, yang di tanam tahun 2018 lalu kini tingginya lebih dari 2 meter. Ia paling tinggi diantara bibit lainnya karena mendapat sinar matahari paling banyak. Pohon ini juga ditanam di pinggir sungai sehingga mendapat limpasan air setiap hari.

Bibit lain tingginya bervariasi. Jika tinggi bibit awal sekitar 50 cm, maka pertumbuhannya paling banyak sekitar 40 cm per tahun.

Kegiatan penanaman dan perawatan ini berlangsung beberapa jam, dan berakhir jelang jam makan siang. Sebelum pulang, mereka mencatat hasil pengukuran dan merencanakan evaluasi di pertemuan berikutnya.

Sejumlah anggota yang lebih muda seperti Kadek Riki, 19 tahun, mengaku senang ikut kelompok ini karena senang bertanam sambil jalan-jalan di tengah kebun.

Selain kelompok yang fokus menanam, ada juga kelompok muda lain di desa, seperti kelompok penyaluran bantuan sosial dan kelompok bank sampah.

Baca juga: Treking di Tengah Aroma Kopi dan Cengkeh di Bali Utara

 

Pohon dan rumpun bambu di Desa Pedawa. Perakaran tanaman ini penting untuk menangkap air tanah. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Berawal dari suka nongkrong di kebun

Putu Yuli mengisahkan sebelum bernama Kayoman, kelompok ini bernama Sekaa Demen Ngelindengin Alas Pedawa. Artinya jalan-jalan di kebun. Kayoman sendiri bermakna lestari, berasal dari kata Jawa Kuno.

Yuli mengaku awalnya ikut-ikutan. Sebelumnya dia fokus mengembangkan hasil olahan gula aren di desanya.

“Desa ini penghasil gula terbaik. Saya coba kembangkan dan bantu penjualan. Masyarakat semangat karena prospeknya luar biasa,” ingatnya.

Yuli sehari-harinya seorang guru honorer dan peternak babi hitam. Dia juga jadi salah satu pemandu wisata di sentra pengolahan gula aren tradisional.

Tutur Yuli, sejarah Kayoman cukup panjang, dimulai dari keprihatinan. Ada Yuli, Made Suisen, Wayan Sadnyana dan alm Komang Adi.

Komang Adi tadinya supir yang memilih balik kampung dan penghobi tanaman hias. Wayan Sadnyana dosen di Singaraja yang lalu balik tinggal di kampung. Sedang Made Suisen semangat menanam, sejak menyadari tempat tinggalnya pernah kesulitan air di tahun 1997 lalu.

Perjalanan kelompok ini dimulai dari pemetaan potensi desa. Mereka menemukan air terjun, Kelebutan namanya.

“Ada sumber air yang diabaikan masyarakat dan desa. Sangat jauh dari pemukiman dan kondisinya memprihatinkan. Sangat tak mungkin mengambil air dari sana. Malah desa tetangga yang tertarik,” papar Yuli.

Perjalanan sekitar 5 jam di sumber air ini berujung dibuatnya kolam untuk menandai lokasi yang harus diselamatkan. Foto-foto lokasi diarsipkan untuk didiskusikan. Dari sana kegiatan kelompok ini lalu berkembang, mereka lalu mengajak anak-anak muda lain untuk bergabung.

Menurut Yuli tantangannya tak sedikit. Di awal kegiatan sebagai upaya pemulihan ekosistem, masyarakat banyak yang mencela, karena disebut tidak ada manfaatnya.

Selain itu, bibit yang ditanam pernah dirabas pemilik dan penggarap kebun. Ada juga pecinta bonsai yang iseng mengambil bibit sudah ditanam.

Kendala lain, Desa Pedawa tidak memiliki hutan. Lahan milik desa adat hanya 20 are, sedang lahan milik Pemda sekitar setengah hektar telah jadi lahan produktif yang sudah dimanfaatkan warga.

Dengan demikian, saat sumber air berada di lahan produktif dan dimiliki warga, artinya berada di tanah hak milik. Tak jarang mereka ditolak saat hendak menanami pohon yang dianggap tak produktif untuk penjaga air jangka panjang.

“Ini menyulitkan, kalau ada hutan desa kami bisa leluasa menanam.”

Baca juga:  Menikmati Suasana Sakral Hutan Bambu Panglipuran Tanpa Takut Tersesat

 

Merawat bibit. Selain menanam, maka tanaman yang ditanam beberapa tahun lalu juga ditandai dan diukur tingginya. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

“Tanpa air kegiatan ritual tak bisa jalan. Ini filosofi kehidupan warga Pedawa. Sungai ini dimanfaatkan dari Upacara Panca Yadnya seperti Dewa, Rsi, Pitra, Manusia, dan Bhuta Yadnya,” tutur Yuli.

Salah satunya adalah tradisi 11 warna air yang diperlukan untuk ritual rutin warga. Ada juga tradisi pemanggilan roh yang harus melintasi air tergenang.

Dari pengalaman kelompok Kayoman ini. Sekarang mereka paham bahwa selain menanam bibit, perkembangannya juga perlu diperhatikan.

“Tidak berani seperti dulu, asal tanam. Hasil pemantauan, bibit yang ditanam tingginya 2 meter baru kita pindah [tanam] ke tempat lain. Dulu kita pikir tanaman otomatis pasti hidup ternyata banyak yang stres dan mati,” sebut Yuli.

Dari pengalaman, mereka juga jadi paham. Fokus tanam di musim hujan, dan perawatan tanaman di  musim kemarau.

***

 

Misi anak-anak muda ini tergolong cukup menantang. Karena ladang kopi, buah, dan aren di pegunungan Bali utara yang menjadi kawasan hulu kini sebagian besar jadi kebun cengkeh yang cenderung monokultur dan cukup rakus air.

Sejumlah peneliti yang memberikan peringatan krisis air di Bali mengingatkan pentingnya melakukan konservasi air tanah. Potensi air tanah hanya 9 m3/detik, jauh lebih sedikit dibanding air permukaan sekitar 207 m3/detik. Totalnya 216 m3/detik.

Untuk jangka panjang, para peneliti merekomendasikan melakukan shifting penggunaan sumber air, investasi air tanah, dan pengelolaan sumber air. Manajemen jangka pendek di antaranya pemetaan daerah rawan kerusakan, sumur resepan, merawat sumur imbuhan, biopori, dan mata air (beji).

Kayoman pun terus menjaga mimpinya untuk mewujudkan Desa Pedawa yang kayoman atau lestari.

 

***

Seri dalam tulisan ini:

Bagian 1: Sebelas Warna Air untuk Ibu Pertiwi, Tradisi Konservasi Purba dari Pedawa

Bagian 2: Gula Aren di Pedawa dan Menggali Pengetahuan Lokal di Masa Pandemi

 

 

Exit mobile version