Mongabay.co.id

Perlukah Perkebunan Sawit di Malang?

 

Cekatan Tukiman, 50 tahun, memanjat pohon kelapa. Raga sudah tak muda lagi, namun ia cepat sampai di pucuk. Tangannya lincah memilih butiran kelapa tua yang siap dipanen. Satu per satu butiran kelapa dipotong dengan sabit lepas dari tandan. Buk..buk…butiran kelapa berjatuhan. Dalam waktu singkat puluhan butir kelapa berhasil dikumpulkan.

Sebulan dua kali, Tukiman memanen butiran kelapa. Deretan pohon kelapa tumbuh di lahan seluas 6.400 meter persegi yang dikelolanya. Di sela-sela pohon kelapa, berjajar sawit mengelilingi kebun yang dikelolanya sejak 2000-an.

Namun, sebagian tanaman sawit kerdil, mengering dan tak berbuah. Tanaman sawit yang ditanam sejak 2012 lalu tak terurus. Sejak dua tahun terakhir, Tukiman membiarkan tanaman sawit dan tak diberi pupuk. “Harga sawit murah, penghasilan dengan biaya produksi tak sebanding,” katanya.

Lahan yang terletak di Dusun Sukorejo, Desa Tumpakrejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang, Jawa Timur ini awalnya merupakan hutan lindung. Tukiman menanam sawit tergiur keuntungan di depan mata. Sebuah pabrik pengolahan sawit di Blitar membagikan bibit sawit secara gratis. “Petani sawit di luar Jawa bagus, sukses. Mungkin saja menanam sawit juga ikut sejahtera,” katanya.

Lantas ia menanam 50 sawit disebar di kebun. Setelah sawit berumur empat tahun, panen. Dalam sekali panen menghasilkan satu ton, semakin lama semakin menyusut. Ternyata tak untung, biaya produksi besar. Tenaga berat untuk membersihkan tanaman sawit. Sedangkan sekarang panen sawit hanya menghasilkan 400 kuintal. Panen sawit dilakukan sebulan sekali.

“Harga Rp900 per kilogram,” katanya. Sehingga penghasilannya antara Rp360 ribu sampai Rp900 ribu per bulan. Hasil panen dibeli sebuah perusahaan sawit di Blitar juga dibayar mundur dua bulan setelah panen.

baca : Menyoal Longsor dan Banjir pada Area Kebun Sawit di Kepulauan Riau

 

Perkebunan sawit milik petani di Desa Sumber Rejo, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Total kebun sawit mencapai 200 hektare. Foto : Eko Widianto/Mongabay Indonesia

 

Kini, disela-sela tanaman sawit ditanam pohon kelapa. Ia perlahan-lahan mengganti sawit dengan kelapa. Jika pohon kelapa besar, tanaman sawit akan dibongkar. Sementara panen dari 50 pohon kelapa, setiap dua bulan menghasilkan 500 butir. Setiap butir dijual seharga Rp5.000. Sehingga rata-rata penghasilannya sekitar Rp2,5 juta.

Berbeda dengan petani yang memiliki kebun cukup luas. Sunarto petani di Desa Sumber Rejo, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang memiliki lahan seluas lima hektare ditanami 120 sawit. Ia mempertahankan tanaman sawit meski harga sawit terus merosot. Sedangkan pupuk mahal, tak terjangkau.

“Rata-rata setiap pohon menghasilkan tandan seberat lima kilogram,” katanya. Hasil produksi sawit sebulan sekitar lima ton. Rata-rata setiap tahun penghasilan panen sawit sebesar Rp55 juta. Awalnya, banyak petani setempat yang menanam sawit. Kini, hanya tinggal belasan petani yang mempertahankan tanaman sawit. Selebihnya dibabat diganti tanaman lain.

 

Pabrik Biofuel

Bupati Malang Muhammad Sanusi dan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang, Budiar Anwar tak bisa dikonfirmasi. Pesan pendek melalui aplikasi perpesanan dan telepon dari Mongabay Indonesia tak ditanggapi.

Muhammad Sanusi sempat menyampaikan jika Pemerintah Kabupaten Malang mengembangkan perkebunan sawit di Kabupaten Malang sejak Desember 2019. Bahkan ada investor yang akan membangun pabrik biofuel di Kabupaten Malang namun harus disiapkan bahan baku sawit yang memadai.

baca juga : Burung Endemik Maluku Utara Makin Terancam Kala Rumah Mereka jadi Kebun Sawit

 

Perkebunan sawit milik petani di Desa Sumber Rejo, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Total kebun sawit mencapai 200 hektare. Foto : Eko Widianto/Mongabay Indonesia

 

Pernyataan ini disampaikan kepada jurnalis, jika di Kabupaten Malang telah memiliki lahan kebun sawit di Malang Selatan seluas 200 hektare. Sawit ditanam di perkebunan warga. Sanusi menjelaskan telah studi banding ke Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Dari laman labuhanbatu.go.id, Sanusi menjelaskan Kabupaten Malang akan menyiapkan lahan seluas 50 ribu hektare untuk perkebunan sawit di Malang selatan.

Lahan tersebut, kata Sanusi, tak produktif dan biasa ditanam jagung. Sanusi mengunjungi perkebunan sawit dan PT Pangkatan untuk mempelajari pengembangan dan budi daya sawit dan pengolahan hasil sawit. Sebulan lalu, isu perkebunan sawit terus menggelinding setelah Sanusi kembali menyampaikan keseriusan mengembangkan perkebunan sawit.

Akhir April dilangsungkan diskusi kelompok terarah (FGD) bersama Bupati Malang, Administratur Perum Perhutani KPH Malang, dan akademikus. Diskusi membahas usaha untuk mengambil alih pengelolaan hutan di Malang selatan.

Ketua Sahabat Alam Indonesia Andik Syaifudin menduga Pemerintah Kabupaten mengambil alih pengelolaan hutan untuk alih fungsi perkebunan sawit. Lantaran tak memungkinkan perkebunan sawit seluas 50 hektare yang akan menggunakan lahan warga karena padat penduduk dan tak ada hamparan perkebunan yang luas.

“Pasti akan menyasar lahan perhutani seluas 90 ribu hektare. Sementara 42 ribu hektare diantaranya berupa hutan lindung. Mana yang dikorbankan? Hutan produksi atau lindung?,” katanya. Andik menuturkan para petani membabat tanaman sawit karena harga tak sesuai yang dijanjikan. Awalnya perusahaan berjanji membeli sawit seharga Rp1.500 sampai Rp2.300 per kilogram.

“Kenyataan harga jatuh, terendah sampai Rp 400 per kilogram,” ujarnya. Tak sedikit petani yang merugi, tak sebanding dengan biaya dan tenaga untuk merawat tanaman.

perlu dibaca : Program Biodiesel, Bisakah jadi Momentum Benahi Rantai Pasok Sawit?

 

Kebun sawit di Desa Tumpakrejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang, Jawa Timur yang dibiarkan petani karena harga tandan sawit anjlok. Foto : Eko Widianto/Mongabay Indonesia. Foto : Eko Widianto/Mongabay Indonesia

 

Tanaman sawit, katanya, tak cocok ditanam di Malang selatan. Lantaran lahan terdiri atas tanah karst atau kawasan batu gamping. Sedangkan sawit tanaman yang rakus air sehingga menyerap air tanah. Terbukti, tanah di perkebunan sawit warga menjadi kering dan tanaman sela mati.

“Saat musim kemarau warga selalu mengalami krisis air,” katanya. Andik khawatir jika dipaksakan dibangun perkebunan sawit secara luas akan menyebabkan bencana ekologis baru. Tanaman sawit berakar serabut dan dangkal, sehingga kemampuan menyimpan air tak cukup baik dibandingkan aneka jenis pohon di hutan lindung.

Perkebunan sawit akan mengancam keragaman hayati dan kehilangan plasma nutfah di Jawa. Lantaran hutan lindung tersisa di Malang selatan menjadi habitat beragam jenis satwa. Dari hutan lindung seluas 42 ribu hektare, katanya, hanya kawasan hutan lindung di Kondang Merak seluas 1.980 hektare yang bagus. Selebihnya terbuka, kritis dan menjadi perkebunan terbuka yang terfragmentasi.

Sejak 11 tahun lalu, Sahabat Alam Indonesia menjadi salah satu lembaga konservasi yang menjaga dan meneliti kawasan tersebut. Hutan lindung Malang selatan menjadi habitat beragam jenis satwa endemik Jawa. Meliputi kukang Jawa (Nycticebus javanicus), lutung Jawa (Trachypithecus auratus), elang Jawa (Nisaetus bartelsi) dan macan tutul (Panthera pardus). Di hutan lindung tersebar 240 jenis tanaman khas hutan tropis dataran rendah. Seperti gadung cina (Smilax zeylanica), semilak, kesek (Dodoneae angutifolia), mangir (Eugenia timosa Lamk), pule (Alstonia scholaris R Br) dan banyak tanaman langka lain.

“Cagar Alam Pulau Sempu dan hutan lindung Malang selatan salah satu ekologi laut terbaik di Jawa Timur. Hutan tropis dataran rendah, mangrove, dan terumbu karang dalam satu lokasi,” katanya. Sehingga bisa menjadi laboratorium alam bagi mahasiswa jurusan biologi, dan kelautan. Jika hutan lindung dan Cagar Alam Pulau Sempu rusak maka akan mengalami kerugian besar bagi ilmu pengetahuan.

Andik mengusulkan agar dikembangan budidaya tanaman agrofestry seperti teh, kopi, coklat dan kelapa. Serta mengarahkan pengembangan pariwisata berbasis ekowisata dan menguatkan industri perikanan dan kelautan.

baca juga : Industri Sawit Masih Terlilit Persoalan Lingkungan dan HAM, Pemerintah Ingatkan Perbaikan Tata Kelola

 

Kebun sawit di Desa Tumpakrejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang, Jawa Timur yang dibiarkan petani karena harga tandan sawit anjlok. Foto : Eko Widianto/Mongabay Indonesia. Foto : Eko Widianto/Mongabay Indonesia. Foto : Eko Widianto/Mongabay Indonesia

 

Tolak Kebun Sawit

Ketua Protection of Forest & Fauna (Profauna) Rosek Nursahid turut menolak perkebunan sawit di Malang. Ia menuntut Pemerintah Kabupaten Malang terbuka dengan melakukan konsultasi publik, karena perkebunan sawit merupakan proyek besar yang berdampak secara sosial dan ekologi.

“Perkebunan sawit rawan konflik sosial. Apalagi sebagian hutan yang kritis telah dikelola Kelompok Tani Hutan dalam skema perhutanan sosial,” katanya. Profauna turut mendampingi petani mengalihkan jenis tanaman awalnya tanaman semusim seperti jagung, pisang dan tebu menjadi pohon buah-buahan, seperti alpukat, durian, sirsak dan nangka. Selain itu, juga bisa dikembangkan ekowisata berbasis konservasi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Dewan Daerah Wahana Lingkugan Hidup (Walhi) Jawa Timur Purnawan Dwikora Negara tegas menolak perkebunan sawit. Beban lingkungan pulau Jawa terlalu berat, lantaran 65 persen penduduk berada di Jawa. Sedangkan daya dukung lingkungan tak memadai. Sehingga Jawa tak membutuhkan perkebunan luas. “Jawa tidak butuh kebun sawit,” katanya.

Purnawan melihat niatan Pemerintah Kabupaten Malang mengambil alih pengelolaan kawasan hutan Perum Perhutani untuk perluasan perkebunan sawit. Lantaran rencana pengambilalihan dengan membangun perkebunan sawit nyaris berbarengan.

Ia justru khawatir Pemerintah Kabupaten Malang mengelola hutan akan menimbulkan masalah baru. Karena sebagian telah menerapkan konsep Perhutanan Sosial untuk menanam, merawat dan menjaga hutan lindung. “Patut diwaspadai hutan lindung akan digunakan untuk perkebunan sawit,” katanya.

Hutan lindung Malang selatan, katanya, terus digoyang isu eksploitasi untuk kepentingan bisnis. Mulai rencana penambangan emas, pasir besi, dan pabrik semen. Sementara Malang selatan rawan gempa dan tsunami. “Hutan dataran rendah menjadi penghalang tsunami,” katanya.

Sedangkan krisis air dan pangan menjadi masalah utama di Jawa. Purnawan mengusulkan Bupati Malang membatalkan memperluas perkebunan sawit dengan menjadi Malang sebagai sentra tanaman buah dan pangan tropis. Mengembalikan hutan lindung kritis dengan tanaman buah tropis seperti durian, nangka, dan kelapa. Pepohonan menyerap air dan petani bisa memanfaatkan buah yang diproduksi.

“Malang akan menjadi sentra tanaman dan buah tropis,” katanya. Sehingga dibutuhkan bibit tanaman unggulan dan industri olahan untuk menampung hasil produksi buah-buahan tropis. Purnawan mengajak bersama-sama gerakan masyarakat sipil menolak perkebunan sawit. Termasuk mengajukan gugatan hukum ke peradilan.

 

Exit mobile version