Mongabay.co.id

Dilindungi dan Dihormati, Buaya Endemik Papua Ini Masih Diburu

 

 

Di Indonesia terdapat empat jenis buaya yang kita kenal. Pertama adalah Crocodylus porosus yang dapat dijumpai di seluruh Indonesia. Kedua adalah Tomistoma sclegelli dengan wilayah persebaran Sumatera dan Kalimantan. Ketiga merupakan Crocodylus siamensis yang berada di Kalimantan. Keempat dinamakan Crocodylus novaeguineae dengan wilayah sebaran di Pulau Papua.

Buaya yang terakhir ini biasa disebut buaya irian atau buaya nugini. Keberadaannya yang berada di pulau besar Papua, membuatnya memiliki banyak nama.

Dalam survei status dan rencana aksi konservasi Crocodylus novaeguineae yang dilakukan oleh Jack H. Cox yang dirilis oleh IUCN, disebutkan bahwa nama lainnya adalah New Guinea Crocodile, New Guinea Freshwater Crocodile, buaya air tawar, buaya hitam, freswara pukpuk, blakpela pukpuk, dan wahne huala.

Baca: Sejak 1974, Pari Gergaji Sentani Tidak Terlihat Lagi

 

Buaya irian atau Crocodylus novaeguineae. Foto: Wikimedia Commons/Wilfried Berns www.Tierdoku.com/Creative Commons Atribusi-Berbagi Serupa 2.0/Free to share

 

Dalam surveinya, Jack menjelaskan ukuran maksimum dewasa yang terdokumentasi adalah sekitar 3 meter untuk betina dan 3,5 meter untuk jantan. Tetapi, ukuran yang lebih besar dan kulit yang sesuai secara teratur dilaporkan ditemukan pada wilayah Sungai Sepik di negara Papua New Guinea.

Perburuan terhadap spesies buaya ini juga ikut disorot dalam penelitian Jack. Bahkan perburuan sudah dimulai sejak Perang Dunia Kedua dan mencapai puncaknya pada 1960-an.

Crocodylus novaeguineae lebih menyukai habitat air tawar, dan ditemukan di sebagian besar sistem sungai air tawar, rawa, dan rawa-rawa di New Guinea yang luas,” tulis Jack dalam penelitiannya.

Baca: Sowang, Kayu Endemik Papua yang Digunakan Sejak Zaman Prasejarah

 

Buaya Irian atau buaya nugini yang diawetkan di Museum Papua, Jayapura. Foto: Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua

 

Menurutnya, tahun 1986 hingga 1992, sebuah proyek yang didanai FAO [Food and Agriculture Organization] melakukan survei dasar dan pengembangan sistem pengumpulan telur dan anakan buaya ini untuk penangkaran. Pada periode yang sama, mulai ada inisiatif dan penegakan aturan untuk menangani perburuan ilegal yang luas dan penyelundupan kulit buaya.

Tahun 1991, pengelolaan buaya di Indonesia mulai didesain ulang lebih rinci sebagai tanggapan atas keprihatinan yang diajukan oleh CITES [Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora] atau Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Tumbuhan dan Satwa Liar Terancam.

“Selama periode akhir 1994 hingga 1998, Indonesia memberlakukan moratorium ekspor semua produk buaya, kecuali kepemilikan pribadi,” tulis Jack lagi.

Baca: Ekidna, Hewan Aneh yang Nenek Moyangnya Sezaman Dinosaurus

 

Motif buaya pada perahu di Dondai, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura. Foto: Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua

 

Di Papua, salah satu suku yang dikenal memiliki tradisi berburu buaya adalah Suku Bauzi di Membramo Raya. Suku ini menangkap buaya untuk dikonsumsi dagingnya lalu dijual kulitnya. Bahkan, kulit buaya kini bernilai ekonomis tinggi. Ada dua jenis buaya yang menjadi buruan di Papua, yakni buaya muara [Crocodylus porosus] dan buaya irian [Crocodylus novaeguineae].

Sejak tahun 2018, Pemerintah Daerah Papua melegalkan pemasaran kulit buaya. Perizinan ini keluar karena kulit buaya dianggap sebagai kerajinan yang membanggakan dan merupakan aset daerah. Meskipun sudah dilegalkan oleh pemerintah daerah, namun ada standar untuk usia buaya yang kulitnya bisa dimanfaatkan yaitu di atas satu tahun atau memiliki lebar perut 12 inchi. Tujuannya, menghindari eksploitasi berlebihan.

Kerajinan kulit buaya dapat dikategorikan sebagai kerajinan kulit eksotik dan bernilai jual tinggi di pasar internasional. Kulit buaya yang telah disamak dapat diolah menjadi produk dalam bentuk dompet atau sabuk. Harga paling murah berkisar 300.000 Rupiah hingga paling mahal bisa mencapai 30.000.000 Rupiah untuk sebuah tas golf.

Baca juga: Inilah Momala, Jagung Lokal Berwarna Ungu dari Gorontalo

 

Motif buaya pada tiang rumah suku di kampung Dondai, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura. Foto: Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua

 

Dihormati tapi masih diburu

Hari Suroto, peneliti senior dari Balai Arkeologi Papua mengatakan, perburuan buaya irian juga dilakukan di Danau Sentani dan biasanya dilakukan beramai-ramai siang hari. Para pemburu ini, awalnya membakar semak belukar yang tumbuh di sekitar rawa hutan sagu, sehingga semua binatang yang bersembunyi di akan masuk ke saluran air.

Para pemburu kemudian meracuni saluran air dengan akar tuba, sehingga semua binatang akan bermunculan ke permukaan air, lalu mereka menombaknya.

Ia mendeksripsikan, pada bagian punggung buaya irian terdapat garis melintang berwarna gelap. Ekornya belang-belang hitam dan garis-garis lebar. Buaya ini berkeliaran malam hari, jika ada berkas cahaya yang tepat mengenai matanya, seakan-akan mata itu memancarkan cahaya merah.

 

Pahatan kepala buaya pada bantal kepala tradisional Sentani. Foto: Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua

 

Menurutnya, model penangkapan ini sangat berisiko merusak lingkungan, dan tidak jarang ketika mereka membakar semak belukar, pohon-pohon sagu yang ada di dekatnya ikut terbakar. Selain itu, dengan meracuni saluran air maka ikan-ikan kecil juga ikut mati.

Hari menjelaskan, keberadaan spesies ini di Danau Sentani mulai sulit dijumpai. Bersembunyi di bagian-bagian danau yang jauh dari permukiman, atau jauh dari aktivitas manusia.

“Selain itu habitatnya juga sudah rusak karena alih fungsi lahan hutan sagu menjadi perumahan atau terkena pelebaran jalan raya menuju Bandara Sentani,” ungkap Hari, pertengahan Mei 2021.

 

Buaya yang ditangkap warga di Toware, Danau Sentani bagian barat. Foto: Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua

 

Hari menjelaskan, dalam budaya masa lalu, masyarakat Sentani menggunakan tengkorak buaya irian sebagai hiasan rumah. Selain itu, motif buaya juga diukirkan pada perahu dan tiang rumah adat mereka. Namun, tidak sembarangan orang boleh menggunakan motif buaya pada perahu atau tiang rumah adatnya.

Motif buaya merupakan lambang totem leluhur Ondoafi [Kepala Suku] Dondai, di kawasan Danau Sentani bagian barat. Totem sendiri merupakan benda atau binatang yang dianggap suci dan dipuja.

“Bagi keluarga yang memiliki totem buaya, mereka sangat pantang untuk makan binatang ini,” ujar Hari.

 

Situs Yope berada di Kampung Dondani, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, yang dikenal sebagai habitat buaya nugini atau buaya irian. Foto: Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua

 

Kampung Dondai, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura merupakan bagian dari situs Yope. Yope dalam bahasa Sentani berarti kampung di teluk. Yope merupakan sebuah teluk bagian dari danau Sentani bagian barat. Situs Yope dipercaya oleh masyarakat Kampung Dondai pernah dijadikan perkampungan oleh nenek moyang mereka.

Hal ini dibuktikan adanya temuan gerabah motif buaya dan bandul jala terbuat dari tanah liat yang dibakar. Yope pada masa lalu merupakan hunian masyarakat nelayan dengan rumah-rumah panggung di atas permukaan air danau.

“Temuan bandul jala membuktikan bahwa manusia penghuni Yope pada masa lampau beraktivitas menjala ikan. Lingkungan sekitar Yope juga dikenal sebagai daerah habitat buaya Irian. Sehingga, gerabah motif buaya yang ditemukan dapat diasumsikan dibuat di Yope,” jelas Hari.

Buaya irian merupakan jenis satwa liar dilindungi berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya junto Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

 

 

Exit mobile version