Mongabay.co.id

Demi Keberlanjutan, Alat Tangkap Perikanan Harus Ramah Lingkungan

 

Penggunaan alat penangkapan ikan (API) yang ramah lingkungan menjadi salah satu fokus yang sedang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia saat ini. API yang tidak merusak ekosistem di laut itu, diharapkan bisa digunakan oleh para nelayan di seluruh wilayah pesisir Indonesia.

Harapan tersebut diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono belum lama ini saat berada di Semarang, Jawa Tengah. Menurut dia, inovasi API yang ramah lingkungan sudah seharusnya mendapat dukungan dan digunakan oleh para nelayan.

Dengan menggunakan API yang ramah lingkungan, itu berarti pengguna sudah memberikan kontribusinya bagi Negara yang sedang berusaha untuk menjaga keseimbangan dua sisi, yaitu ekonomi dan kelestarian lingkungan.

“Alat tangkap ramah lingkungan ini memberi keuntungan dua sisi, yakni sisi ekonomi dan juga kelestarian lingkungan,” ungkap dia.

Melalui API yang ramah lingkungan, nelayan dan pemilik kapal sudah mendukung tujuan Pemerintah Indonesia untuk bisa mewujudkan keberlanjutan ekosistem di laut. Terlebih, karena laut juga memberikan kontribusi besar untuk perekonomian nasional.

Dengan kata lain, Trenggono ingin mengatakan bahwa penggunaan API ramah lingkungan juga secara langsung ikut membantu Pemerintah untuk bisa menerapkan prinsip ekonomi biru yang sedang dikampanyekan oleh dunia dalam beberapa tahun terakhir ini.

baca : Bubu, Alat Tangkap Ikan Tradisional Ramah Lingkungan yang Digunakan Kembali di Flores Timur

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono melihat alat tangkap ikan ramah lingkungan yaitu rumah ikan yang dikembangkan Balai Besar Penangkapan Ikan (BBPI) Semarang. Foto : KKP

 

Adapun, salah satu API ramah lingkungan yang saat ini sudah dikembangkan adalah milik Balai Besar Penangkapan Ikan (BBPI) Semarang dan bernama Rumah Ikan. API tersebut diketahui memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan API konvensional yang tidak ramah lingkungan.

Beberapa keunggulan itu, adalah ukuran yang lebih besar dari API biasa, sehingga ikan yang ditangkap adalah ikan berukuran besar. Dengan demikian, penggunaan Rumah Ikan akan memberikan manfaat dan sekaligus keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.

Dengan keunggulan tersebut, Trenggono berharap kalau rumah ikan bisa segera diproduksi secara massal dan bisa dirasakan manfaatnya oleh para nelayan. Cara tersebut juga akan mendorong kesejahteraan nelayan melalui penerapan ekonomi biru.

“Kalau rumah ikan ini kita pasang satu-satu di spot-spot yang sudah disiapkan, ini menjadi salah satu implementasi dari ekonomi biru,” tutur dia.

 

Sumber Ikan

Jika sudah banyak terpasang, maka diharapkan nantinya itu bisa menjadi sumber utama nelayan untuk mendapatkan ikan dalam jumlah yang banyak. Penggunaan Rumah Ikan, juga dipastikan jauh lebih baik jika nelayan menggunakan API seperti jaring.

“Jadi yang diambil ikan-ikan yang sudah besar, sehingga ekonomi biru bisa diwujudkan,” tambah dia.

baca juga : Jaring Alat Tangkap Ikan Nelayan, Harga Naik Tapi Kualitas Turun

 

Seorang petugas sedang memperlihatkan bubu lipat, alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Foto : KKP

 

Selain Rumah Ikan, API lain yang diklaim ramah lingkungan dan dibuat oleh BBPI Semarang, adalah Bubu Lipat. Alat tangkap tersebut memiliki ukuran yang besar, dapat dilipat dengan mudah dan bisa ditegakkan, mempunyai umur ekonomi yang lebih panjang, dan ramah lingkungan.

Menurut Trenggono, Bubu Lipat saat ini sudah digunakan untuk melatih nelayan di Belitung yang sebelumnya menggunakan API seperti Bubu Tradisional yang terbuat dari bambu. Alat tangkap konvensional tersebut ukurannya sangat besar, membutuhkan ruang besar untuk penyimpanan, dan juga tidak tahan lama.

“Selain telah digunakan nelayan Belitung, Bubu Lipat juga sudah diuji di perairan Jepara (Jawa Tengah), dan Natuna (Kepulauan Riau),” sebut dia.

Dengan inovasi API yang sudah ada tersebut, para nelayan dan pemilik kapal diharapkan bisa segera menggunakannya dan beralih dari API konvensional yang tidak ramah lingkungan. Namun, jika masih belum bisa beralih, nelayan diharapkan bisa menjaga ekosistem laut dengan tidak menangkap ikan berukuran kecil.

baca juga : Dialog Dengan Jokowi, Nelayan Curhat Ketidakstabilan Harga Ikan dan Isu Cantrang

 

Seorang nelayan sedang merapikan jaring untuk bubu lipat, alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Foto : KKP

 

Selain API konvensional yang dinilai tidak ramah lingkungan, ekosistem laut juga saat ini sedang terancam dengan kehadiran alat bantu penangkapan ikan bernama Rumpon. Penggunaan alat bantu tersebut sudah dirasakan berdampak negatif oleh para nelayan di pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Rumpon yang dipasang tersebut ada di perairan yang masuk wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 714 yang mencakup perairan di sekitar Teluk Tolo dan Laut Banda. Para nelayan diketahui mengeluhkan pemasangan banyak Rumpon di sekitar perairan tersebut.

Keberadaan Rumpon, diketahui juga memicu banyaknya kapal ikan berukuran di bawah 30 gros ton (GT) yang menangkap ikan di wilayah perairan tersebut. Mereka datang dari lintas provinsi dan tidak memiliki perjanjian ataupun izin resmi.

Akibat banyaknya rumpon tersebut, hasil tangkapan nelayan kecil di Kabupaten Buton dari hari ke hari terus mengalami penurunan. Kondisi tersebut jika tidak diatasi, maka dikhawatirkan akan berpotensi menimbulkan konfliks sosial antar nelayan.

Menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan, rumpon yang dipasang ada di wilayah perairan yang menjadi pusat penangkapan ikan tradisional para nelayan Buton. Padahal, Rumpon tersebut diduga kuat tidak memiliki izin pemasangan dari Pemerintah Pusat ataupun Daerah.

“Pemasangan Rumpon tersebut sangat berdekatan satu sama lain, dan mengganggu alur pelayaran,” jelas dia.

baca juga : Pintu Masuk bagi Para Pencuri Ikan adalah Rumpon

 

Ilustrasi. Kapal Pengawas Hiu 15 mengamankan 4 rumpon illegal milik nelayan Filipina di wilayah perairan utara Sulawesi Utara, sekitar 3 mil laut pada perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) pada Jumat (10/5/2019). Foto : PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Investigasi Rumpon

Semua aduan tersebut diterima DFW Indonesia dan kemudian dilakukan investigasi untuk mendapatkan sinkronisasi yang detail tentang pemasangan Rumpon yang sangat cepat dan berjumlah banyak. Rumpon-rumpon tersebut memang dinilai sudah mengganggu wilayah penangkapan ikan tradisional para nelayan.

“Rumpon di perairan Buton, Wakatobi dan laut Banda dilaporkan sangat banyak, jarak yang tidak tidak teratur, dengan kepemilikan yang tidak jelas,” terang dia.

Dari hasil investigasi yang sudah dilakukan, Abdi Suhufan mengatakan bahwa puluhan hingga ratusan Rumpon yang dipasang di sekitar perairan Buton, diketahui kalau pemiliknya tidak lain adalah nelayan lokal dan juga nelayan pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan.

Menurut dia, rumpon-rumpon yang dipasang, selain tidak memiliki izin atau ilegal, juga jarak pemasangannya sangat berdekatan antara satu dengan yang lain. Semua itu tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri KP Nomor 26 Tahun 2014 tentang Rumpon.

“Sesuai ketentuan Permen 26/2014, jarak antar rumpon adalah 10 mil. Namun yang terjadi di lapangan, jarak antar rumpon hanya satu mil,” tegas dia.

Atas dasar hasil investigasi yang sudah dilakukan, DFW Indonesia meminta KKP atau Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara bisa segera melakukan pemeriksaan, sekaligus melakukan patroli untuk menertibkan rumpon yang terpasang di sekitar Laut Banda tersebut.

Bagi Abdi Suhufan, penertiban Rumpon harus menjadi prioritas karena telah menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan lokal, menggangu alur pelayaran, serta berpotensi menimbulkan konflik sosial antar nelayan lokal dan pendatang.

 

Ilustrasi. rumpon yang dipasang di perairan untuk menarik ikan. Foto : aquatec.co.id

 

Masih banyaknya Rumpon yang dipasang secara ilegal tersebut, menjelaskan bahwa tata kelola perikanan dan pengawasan di sekitar Laut Banda masih harus terus ditingkatkan. Itu artinya, DFW Indonesia menilai bahwa pengawasan masih lemah sampai sejauh ini.

“Kami melihat kapasitas pengawasan oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara sangat lemah, sementara mayoritas penangkapan ikan dilakukan oleh kapal dengan izin (dari) provinsi,” ungkap Peneliti DFW Indonesia Nasruddin.

Kondisi tersebut mengakibatkan aktivitas penangkapan ikan dilakukan sembarangan dengan menggunakan mata jaring kecil, pemasangan Rumpon yang tak berizin dan tidak memiliki jarak minimal 1 meter.

“KKP perlu memberikan bantuan teknis dan operasional kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mengawasi laut Banda dan sekitarnya, dari kegiatan penangkapan ilegal dan keberadaan Rumpon yang sudah sangat menggangu dan meresahkan nelayan setempat,” pungkas dia.

 

Exit mobile version