Mongabay.co.id

Mempertahankan Lahan dari PT TPL, Belasan Warga Adat Natumingka Luka-luka

 

 

 

 

Belasan warga adat Natumingka, di Kabupaten Toba, Sumatera Utara alami luka-luka karena bentrok dengan pekerja perusahaan perkebunan kayu, PT Toba Pulp Lestari (TPL) Selasa (18/5/21). Kejadian ini bermula saat ratusan warga adat menghadang sekitar 400 pekerja dan petugas keamanan perusahaan akan masuk wilayah adat yang diklaim masuk konsesi perusahaan yang berelasi dengan Sukanto Tanoto ini.

Sejumlah saksi mata di lokasi kejadian mengatakan, para pekerja dan sekuriti perusahaan pakai kayu dan batu memaksa masuk. Mereka kena hadang warga adat.

Hari itu, tanah adat mereka akan ditanami bibit eucalyptus. Warga tak mengizinkan. Sekuriti dan para pekerja mendorong warga adat. Batu pun beterbangan dari belakang dan melukai setidaknya 12 orang adat, termasuk Jusman Simanjuntak gelar Op. Leonardo, kakek usia 75 tahun. Pelipis bagian mata kiri pecah dan mendapat sejumlah jahitan.

Saat diwawancarai Mongabay, sambil menahan sakit dia menceritakan, yang mereka lakukan bukan melawan negara, atau pemerintah, tetapi semata-mata ingin mempertahankan hak lahan leluhur mereka, nenek moyang masyarakat adat Natumingka.

Mereka, kataya, akan tetap mempertahankan tanah ulayat seluas 2415,36 hektar dan tak akan pernah memberikan sejengkal pun kepada TPL

Dia menyesalkan sikap Pemerintah Kabupaten Toba yang hanya memberikan janji untuk memverifikasi masyarakat adat. Sampai saat ini, verifikasi itu tak pernah berjalan.

Peramparan lahan adat hingga warga jadi korban. Padahal, katanya, mereka aksi damai agar tidak terjadi kekerasan.

“Saat kejadian ada puluhan aparat kepolisian dari Polres Toba, masyarakat adat yang mengalami luka-luka langsung dilarikan ke Puskesmas untuk mendapatkan perawatan,” katanya.

Hengky Manalu, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak saat kejadian berada di lokasi. Warga adat, katanya, sejak 2017, menuntut pengembalian lahan adat mereka. Hutan adat mereka dalam status negara dalam kawasan hutan, yang pemerintah berikan izin pada perusahaan.

Selasa kemarin terjadi bentrokan, katanya, karena ada indikasi perusahaan akan menanam paksa bibit eucalyptus di wilayah adat, Secara spontan masyarakat adat berkumpul dan berjaga di wilayah mereka.

Adapun kronologis kejadian, Selasa pukul 6.00 pagi, sekitar 400 pekerja bersama sekuirti TPL sekitar 150 orang datang membawa bibit beserta peralatan lengkap.

 

Baca juga: Konflik Lahan dan Kerusakan Lingkungan Terus Terjadi dalam Operasi PT TPL

Luka di kepala warga diduga terkena lemparan batu. Foto: dokumen AMAN

 

Ratusan sekuriti menerobos dan memaksa warga mundur supaya bisa tanam. Polisi cenderung berpihak perusahaan dengan mengatakan masyarakat jangan menghalangi penanaman.

Masyarakat adat tetap bertahan supaya wilayah mereka tak ditanami TPL. Suasana memanas.

Sekuriti berpakaian dinas membawa tongkat dan bebatuan memaksa masuk. Pukul 11.00 WIB sekuriti TPL menerobos masuk, sambil melempar batu dari belakang beserta kayu-kayu dan memukuli warga adat yang sedang bertahan.

Seorang kakek berusia 75 tahun yang mencoba meredam situasi supaya tidak bentrok terkena pukulan kayu sekuriti. Dorong-dorongan terus terjadi.

Kasus ini, katanya, terjadi karena perhatian pemerintah sangat kurang. Pada 2019, sudah ada surat edaran dari pemerintah ke bupati di sekitar Danau Toba, salah satu Kabupaten Toba agar mereka identifikasi masyarakat adat.

Sebenarnya, peraturan daerah Toba untuk perlindungan masyarakat adat sudah ada. Hal ini makin jadi kekesalan dari masyarakat Natumingka karena proses penetapan dan verifikasi lamban padahal panitia sudah terbentuk.

Kalaulah pemerintah serius, katanya, kasus ini bisa selesai karena panitia tinggal jalankan verifikasi.

“Apa susahnya kalau misalkan berpikir ke situ. Keinginan masyarakat adat begitu sederhana. Mereka ingin dilindungi. Masyarakat adat sudah ratusan tahun di wilayah itu mengolah tanah ulayat.”

Kabag Ops Polres Toba menengahi dan memerintahkan kepada kedua pihak untuk tidak melakukan kegiatan apapun di lahan yang berkonflik sampai ada keputusan dari Pemerintah Toba.

Saat ini, pemuda-pemuda adat Natumikka lakukan penjagaan di lokasi agar tidak ditanami. TPL.

Terkait korban penganiayaan yang diduga dilakukan sekuriti dan pekerja perusahaan, sejak Rabu hingga Kamis lalu, warga sudah ke Polres Toba untuk membuat pengaduan penganiayaan.

Hengky berharap, polisi memproses kasus ini dan pelaku pemukulan serta intimidasi segera terjerat hukum. Apalagi, saat kejadian polisi melihat hagaimana masyarakat adat dianiaya.

“Jika kasus ini tidak diusut tuntas bisa menyulut amarah masyarakat terhadap kepolisian yang dianggap tidak serius.”

 

 

Desakan para pihak

Sementara itu, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) mengutuk tindakan kekerasan oleh TPL terhadap masyarakat adat Natumingka.

Juniaty Aritonang, Koordinator Studi dan Advokasi Bakumsu mengatakan, kekerasan pada masyarakat adat bukan hanya sekali di Sumatera Utara. Tiap tahun, selalu saja ada kasus yang mencederai masyarakat adat.

Perjuangan masyarakat adat Natumingka, katanya, bukanlah tindakan kriminal. Mereka berangkat dari konstitusi negara ini, yang menjamin kehidupan semua warga negara tanpa kecuali.

Mahkamah Konstitusi melalui putusan No.35/2012, telah menegaskan, hutan adat bukanlah hutan negara.

Bakumsu mengeluarkan beberapa pernyataan sikap. Pertama, keluarkan wilayah adat dari konsesi dan tutup permanen TPL, perusahaan perusak lingkungan di sekitar Danau Toba.

Kedua, hentikan segala bentuk intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi pterhadap masyarakat adat ketika mereka memperjuangkan hak. Juga, memberikan sanksi tegas kepada TPL atas perbuatannya.

Ketiga, meminta kepada kepolisian untuk bekerja sesuai tugas dan fungsi mengayomi rakyat bukan berpihak kepada perusahaan. Juga desak polisi terapkan standar HAM.

Berbagai organisasi masyarakat sipil yang menamakan diri Aliansi Gerakan Tutup PT Toba pulp Lestari (TPL) di Tano Batak menyatakan, lebih 30 tahun kehadiran perusahaan– dulu bernama PT Inti Indorayon Utama ini—, menyisakan duka mendalam bagi masyarakat adat di Tano Batak.

Mimpi kesejahteraan rakyat dan kemajuan yang digaungkan para pendukung perusahaan ini, seperti mimpi buruk tak berkesudahan.

Sejak awal kehadiran, penolakan sudah muncul dari berbagai kalangan, organisasi masyarakat sipil, akademisi, tokoh gereja dan para pegiat lingkungan hidup. Kehadiran perusahaan ini, berdampak buruk terhadap ekosistem Danau Toba dan berpotensi menciptakan konflik agraria seperti dengan masyarakat adat.

Aliansi menyatakan, umumnya, konsesi ini bersinggungan dengan wilayah adat. Klaim negara di wilayah adat dan pemberian izin konsesi kepada TPL jadi akar konflik agraria yang berkepanjangan.

 

Lahan adat Nayumingka yang diklaim masuk konsesi TPL. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Rocky Pasaribu, Koordinator Studi Advokasi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), mengatakan,  saat ini bersama AMAN Tano Batak mendampingi 23 komunitas masyarakat adat yang tersebar di lima kabupaten sekitar Danau Toba yang berkonflik dengan TPL. Total wilayah adat yang diklaim sepihak sebagai konsesi perusahaan sekitar 20.754 hektar.

Dampak perampasan wilayah adat ini, katanya, telah menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat baik secara ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi.

Sebelum ada TPL, masyarakat di kawasan Danau Toba hidup dari hasil hutan, berladang, beternak dan bersawah. Saat ini, sumber pencaharian ini terus mengalami penurunan.

Dalam 2020-2021, KSPPM dan AMAN Tano Batak mencatat beberapa kali terjadi tindakan kekerasan oleh TPL. Pertama, pada 4 September 2020, puluhan orang TPL dengan pengawalan sekuriti mendatangi masyarakat adat Natinggir yang sedang bekerja. Perusahaan berusaha menghentikan segala aktivitas masyarakat.

Komunitas melawan. Perusahan menekan masyarakat adat dengan mengatakan, mereka punya izin legal di wilayah itu dan masyarakat tidak berhak di sana.

Sempat terjadi adu mulut antara masyarakat dengan perusahaan namun pemerintah Kecamatan Borbor langsung mencoba mediasi.

Setelah pertemuan di kecamatan, 9 Oktober 2020, sekitar 150 orang TPL dari sekuriti, humas, dan buruh harian lepas kembali mendatangi masyarakat yang sedang bekerja di wilayah adat mereka. Warga adat hanya sekitar 30 orang. TPL memaksa mereka mundur dan memaksa menanam eukalyptus.

Masyarakat adat mengalami kekerasan pada saat itu. Tindakan arogan TPL berlanjut pada 21 Desember 2020, dengan menerbitkan surat larangan kepada masyarakat adat untuk tidak membangun rumah di atas wilayah adatnya.

Kedua, 27 November 2020, Masyarakat Adat Op Panggal Manalu di Aek Raja, mendapat ancaman dan pelarangan berladang di wilayah adat yang masuk klaim TPL. Tanaman masyarakat seperti kopi pisang bahkan dirusak sekuriti dan humas TPL Atas tindakan ini, masyarakat adat membuat pengaduan ke Polres Tapanuli Utara. Kepolisian meminta bukti surat kepemilikan hak atas tanah adat mereka supaya pengaduan bisa diproses.

Tanah adat merupakan lahan komunal dengan tak ada surat-surat kepemilikan, akhirnya masyarakat tidak melanjutkan pengaduan.

Ketiga, pada Januari 2021, masyarakat adat Op Ronggur Simajuntak, mendapat panggilan dari Polres Tapanuli Utara karena dilaporkan TPL dengan tuduhan berladang di konsesi. Tanah itu merupakan wilayah Adate OP. Ronggur Simanjuntak.

Keempat, pada 20 April 2021, Pdt. Faber Manurung dan 15 warga Parbulu, Kecamatan Parmaksian, protes di Desa Pangombusan, Kecamatan Parmaksian. Warga protes kerusakan lingkungan yang berlangsung lama di kampung mereka, Dusun Parbulu, Desa Bandar Ganjang, Kecamatan Parmaksian, Toba.

Mereka protes tidak ada izin pembuangan limbah pembibitan TPL hingga langsung ke persawahan mereka. Dampaknya, lahan pertanian jadi rusak. Tuntutan lain termasuk soal tanah lokasi pembibitan tersebut merupakan lahan keluarga besar keturunan St. Op. Sinta Manurung.

Saat aksi, sekitar 30 orang polisi datang dan menanyakan surat izin. Kepolisian meminta aksi dihentikan, Pdt. Faber bersikukuh akan melanjutkan aksi. Polisi pun membawa paksa Faber Manurung ke Mapolres Toba.

Kelima, 24 April 2021, TPL merusak tanaman masyarakat adat Nagasaribu Onan Harbangan. Berbagai jenis tanaman seperti nanas, padi, dan pohon keras lain hancur. Kemudian pada 27 April 2021, masyarakat Adat Nagasaribu bermaksud menanam kembali.

Humas perusahaan tiba tiba mendatangi masyarakat dan melarang. Namun masyarakat adat tidak mengindahkan larangan.

Keenam, kejadian yang menimpa Masyarakat Adat Natumingka, Kecamatan Borbor, Toba ini.

TPL mendapat izin konsesi seluas 269.060 hektar berdasarkan SK No.493 KPTS-II/ 1992. Setelah mengalami delapan kali revisi, terakhir SK 8307 dari LHK jadi 167.912 hektar.

Mongabay coba konfirmasi perusahaan namun belum memberikan jawaban. “Mohon ditunggu siaran persnya,” kata Norma Patyy Nandini Hutajulu, Humas TPL

Jandres Silalahi, Direktur TPL seperti dikutip dari Detik.com, mengonfirmasi aksi-aksi yang tidak diharapkan oleh sekelompok masyarakat terjadi di tengah proses dialog antara perusahaan, masyarakat, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), serta stakeholders lain.

Lokasi penanaman itu, katanya, merupakan konsesi yang memasuki masa rotasi penanaman keenam, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.493/Kpts-II/92 tertanggal 1 Juni 1992.Jo SK.307/MenLHK/Setjen/HPL.P/7/2020 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.

TPL, katanya, akan mendorong dialog dan solusi damai dengan masyarakat guna mencari jalan keluar.

 

 

*****

Foto utama  Masyarakat Adat Natumingka di Kabupaten Toba, berusaha mempertahankan wilayah adat yang diklaim masuk konsesi PT TPL. Sekitar 12 warga adat luka-luka. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version