- Suku Sawai di Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara, merasakan perubahan hidup setelah industri nikel masuk. Berawal dari perusahaan tambang nikel, kini tambah kawasan industri yang lengkap dengan pabrik-pabrik pengolahan nikel beserta pembangkit listrik batubaranya. Kehidupan warga pun perlahan berubah dari bertani dan melaut jadi buruh di perusahaan tambang. Ketergantungan ekonomi uang makin tinggi. Sebelum ini, warga hidup sangat bergantung pada alam.
- Warga yang bertahan tak ingin menjual tanah mereka menghadapi kesulitan. Salah satu dialami Yulius Burnama, tetua di Desa Lelilef Sawai. Lahan dua hektar beserta tiga kolam tambak ikan miliknya tergusur, ludes tanpa sisa. Dia menyaksikan langsung, pagi-pagi, 29 Januari 2019, sebuah bouldozer melibas sumber kehidupannya itu.
- Kondisi sungai besar yang terdapat di areal perusahaan seperti Ake Wosia, Ake Sake, Seslewe Sini, dan Kobe, kini sudah tak seperti dulu dengan air nan jernih. Alat-alat berat keluar masuk-keluar menyebrang sungai. Pengairan Sungai Ake Wosia dibikin pipa dan tersendat-sendat. Jalur aliran sungai pun terpisah-pisah. Di dekat sungai sekitar 50 meter ada beberapa lubang besar bekas galian untuk timbunan.
- Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Maluku Utara juga anggota DPRD Halmahera Tengah mengatakan, masyarakat Lelilef dan Gemaf sudah kehilangan akses pada sumber daya alam karena lahan dikuasai IWIP. Ketimpangan penguasaan ruang ini dia perkirakan akan terjadi konflik yang tinggi kalau tidak diantisipasi lebih awal. Sejak IWIP masuk dan membangun industri smelter, daya dukungan lingkungan juga terganggu dan makin menurun.
Jalan utama menuju Desa Lelilef, Waibulen dan Sawai, Weda Tengah, Halmahera Tengah, ini beraspal tetapi penuh debu. Warung makan dan toko-toko kecil di sisi jalan harus menyiram air agar debu tak masuk dalam ruang dagangan mereka. Orang lalu lalang mengenakan masker. “Selain takut virus korona, debu juga tiap hari.”
Pada sisi kanan jalan ada Mesjid Raya Desa Lelilef Waibulen berdiri megah tepat di tikungan jalan utama. Kurang lebih 200 meter ke arah utara, sisi kiri ada Gereja Pentakosta, terletak di pemukiman Desa Lelilef Sawai. Dua desa ini hanya dibatasi lorong kecil.
Di bagian ujung Desa Lelilef Sawai, sekira 10 meter ada bandara udara milik PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Jalan-jalan di pemukiman berkelikir dan sebagian berlubang. Bila hujan, ada genangan air.
Pada bagian lain, sungai kecil yang disebut Ake Doma, dengan air tidak pernah terlihat jernih selama perusahaan beroperasi. “Sungai itu biasa dipakai mandi, cuci pakaian, bahkan minum. Sekarang sudah tidak bisa, air kabur (keruh),” kata Remus Kibrob, warga Lelilef Sawai.
Rumah Remus tidak jauh dari Ake Doma. Di bagian hilir sungai itu, limbah hasil pembukaan lahan bahkan setinggi sekitar 50 centi meter.
Kondisi lebih buruk terjadi di beberapa sungai besar yang terdapat di areal perusahaan. Sungai yang disebut Ake Wosia, Ake Sake, Seslewe Sini, dan Kobe, kini paling tercemar. Selama kurang lebih dua minggu disana, saya jarang sekali melihat sungai-sungai ini dalam kondisi jernih.
Dahulu, warga biasa memancing di sungai dan mengambil kayu bakar di tepiannya, “Sekarang tidak bisa lagi. Mau ambil apa semua sudah jadi milik perusahaan.”
Saya mengendarai sepeda motor dan memasuki areal Ake Wosia. Kondisinya buruk sekali. Alat-alat berat keluar masuk-keluar menyebrang sungai. Pengairan Sungai Ake Wosia dibikin pipa dan tersendat-sendat. Jalur aliran sungai pun terpisah-pisah. Di dekat sungai sekitar 50 meter ada beberapa lubang besar bekas galian untuk timbunan.
Warga biasa mengambil batu dan kerikil di daerah situ kerap diusir bila ada operasi perusahaan. Sungai Ake Sake bahkan dibuat bendungan dan hilir beralih karena ada bangun smelter perusahaan.
Remus mengatakan, air bersih sulit sekali. Warga tidak lagi memanfaatkan dari alam macam sungai atau sumur, tetapi harus bayar. Rata-rata warga di sekitar tambang menggunakan air galon untuk minum dan mencuci pakaian dari air keran (tap water).
Dua desa ini termasuk dalam Komunitas Suku Sawai. Mereka termasuk yang paling terdampak bersama Desa Gemaf, terletak di bagian utara Kecamatan Weda, Halmahera Tengah. Rata-rata desa dihuni sekitar 350 keluarga dan bermukim di pesisir. Tiga desa ini paling dekat dan paling mungkin terusir. Kawasan industri IWIP ini terletak di bagian tengah antara Desa Lelilef dan Desa Gemaf.
Sejak 1998, warga Suku Sawai sudah menghadapi ancaman serius saat perusahaan tambang nikel, PT Weda Bay Nikel, hadir. Eksplorasi sejak 1996 dengan konsesi 120.500 hektar, setelah melalui penciutan jadi 54.874 hektar. Mereka mendapatkan izin kontrak karya (KK) berdasarkan Keputusan Presiden Indonesia No.B.53/PRES/1/1998.
Awal kehadiran ini pula perlahan mengubah pola hidup warga dari bertani dan melaut jadi buruh di perusahaan tambang. Ketergantungan ekonomi uang makin tinggi.
Yulius Burnama, tetua di Desa Lelilef Sawai ini cerita kehidupan Suku Sawai di bagian pedalaman dan pesisir Kecamatan Weda, sebelum ini sangat bergantung pada alam.
Untuk makan, katanya, ada ikan di laut dan sungai, hanya perlu hohati, alat pancing sederhana. Begitu pula dengan kebutuhan pangan, cukup dengan pergi ke kebun semua bakal terpenuhi. Suku yang bermukim, setidaknya sekitar pesisir Teluk Weda, tak perlu bangun rumah beton. Papan kayu dan beratapkan anyaman sagu sudah cukup melindungi mereka dari panas matahari dan deras air hujan.
Warga tak kesulitan atas mendapatkan sagu, beras, cabai, tomat, dan kebutuhan pangan lainnya. Jika satu diantaranya belum punya, atau hasil panennya tidak cukup, dengan rendah hati mereka saling berbagai. Nilai-nilai budaya dan adat seatorang suku Sawai diilhami dan menjadi pijakan kuat membangun kultur masyarakat.
“Itu dahulu, sekarang sudah tidak lagi. Semua sudah hilang,” katanya.
Ruang hidup terampas
Yulius tak bisa menyembunyikan sedih. Air matanya menetes saat menceritakan bagaimana lahan dua hektar beserta tiga kolam tambak ikan miliknya tergusur, ludes tanpa sisa. Dia menyaksikan langsung, pagi-pagi, 29 Januari 2019, sebuah bouldozer melibas sumber kehidupannya itu.
Lelaki kelahiran 1949 ini, menceritakan, ada ribuan ikan di tambak musnah. Dia susah payah bangun sejak 1995. Dalam sekejap, tambak tertimbun berganti bandara udara.
Dia protes, istrinya naik ke bouldozer dan mencabut kunci. Tak berapa lama, dari perusahaan dan sekuriti perusahaan sampai aparat keamanan datang menghadang.
“Kalau ada masalah begini bukan orang perusahaan, tapi dia kirim tangan besi: sekuriti, tentara dan polisi.”
Dia dipanggil dan sempat adu mulut dengan seorang dari perusahaan karena perkara cabut kunci alat berat.
“Kenapa orang cabut kunci doser? Kalau tidak ada angin, daun-daun tidak akan bergerak. Kalau tidak ada api berarti tidak ada asap. Orang pande kong model begini,” kata Yulius .
Lahan Yulius itu terletak tepat berada kini di lokasi bandara udara IWIP. Bandara udara yang diberi nama Bandara Cekel ini saat itu target rampung awal 2020. Fasilitas ini dibangun setelah kawasan industri IWIP resmi 30 Agustus 2018.
Peletakan batu pertama oleh Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, dan beberapa menteri lain beserta Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba, Sultan Tidore, Husain Syah, dan pejabat daerah.
Akhir tahun lalu, perusahaan belum ganti rugi dan permintaan tidak digubris sama sekali. Awalnya, permintaan Yulius sederhana. Dia ingin ikan-ikan dalam kolam dipindahkan melalui keramba.
Karena sudah tergusur, sebagai ganti rugi lahan, Yulius minta material berupa seng (atap rumah), semen, paku, besi, tehel dan tambahan uang Rp50 juta.
Kehadiran tambang kemudian kawasan industri di Weda, menimbulkan berbagai macam persoalan. Data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (KATR/BPN) menyebutkan, di Teluk Weda masuk kawasan strategis provinsi dan mengelola bahan tambang feronikel termasuk membangun smelter.
Data itu juga menyebut, sebagai wilayah yang jadi pusat pertumbuhan industri, IWIP bakal perlu lahan seluas 867,44 hektar. Ada dua tahap, yakni, pertama perlu lahan 3.250,92 hektar dan kedua 5.356,42 hektar.
Kawasan Industri ini juga bakal menyerap tenaga kerja tambang sampai 100.000 orang. Tahap pertama perlu 55.362 orang, kedua 44.638 orang.
Hernemus Takuling, warga Lelilef Sawai mengatakan, kebanyakan mereka terpaksa menjual lahan kepada perusahaan karena ketiadaan pilihan. “Bertahan atau digusur, ya terpaksa kasih [jual] saja,” katanya.
Harga lahan pun ditentukan perusahaan, bukan dari warga. Lahan-lahan warga dibayar dengan harga sangat murah, rata-rata Rp8.000-Rp9.000 perm2. Harga ini bukan atas dasar kesepakatan, namun perusahaan mengklaim angka itu berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Halmahera Tengah.
Tak jarang, perusahaan meminta angka itu turun lagi. Ada juga warga dengan lahan tergusur paksa namun bertahun-tahun belum mendapat ganti rugi, macam Yulius Burnama.
Perangkat desa, orang-orang terdekat dan aparat TNI-Polri juga kerap digunakan perusahaan untuk memaksa warga menjual lahan.Tak jarang warga mengalami tekanan dan intimidasi bila masih mempertahankan lahan.
Hernemus pernah mendekam di penjara selama satu tahun pada 2013 karena membawa sebilah pisau saat memblokir jalan WBN. “Lahan itu memang belum dibayar jadi wajar saya diblokir.”
Pisau di pinggang, katanya sama sekali tidak digunakan hanya untuk menakut-nakuti. Namun keputusan Pengadilan Negeri Tidore, bulat. Dia dianggap mengacam karyawan saat pembebasan lahan.
Saat ini, lahan produktif Hernemus tersisa empat hektar setelah sekitar 12 hektar sudah dijual ke perusahaan.
Di Lelilef Sawai, ada sebagian warga masih mempertahankan kebun mereka.
Atriyani Goslaw, bersama suaminya Alfret akhir tahun lalu cerita, lahan garapan mereka pernah diserobot perusahaan April 2019 untuk pembukaan jalan.
Dia baru tahu sehari setelah itu. Lahan garapan bersama orangtuanya itu seluas tiga hektar lebih.
Baca juga: Kala Masyarakat Adat Sawai Kehilangan Ruang Hidup
Mereka pernah menahan sekitar tujuh alat berat dan menghentikan proses penyerobotan, lantas didatangi puluhan aparat TNI-Polri, satpan dan perusahaan. Aparat ancam mereka dan bilang akan berhadapan dengan proses hukum bahkan dipenjarakan karena menghalang-halangi aktivitas perusahaan.
“Lahan saya itu sudah diukur, tapi kami rasa proses ganti rugi kecil, maka tidak dijual,” kata Atriyani.
“Kami minta besar, perusahaan tidak mau, hingga sekarang belum juga dibayar.”
Padahal, kata Alfret, lahan garapan mereka sudah tanami pala, cengkih, hingga kebutuhan pangan.
Saya kunjungi Desa Gemaf, bagian utara Kecamatan Weda, bertemu dengan Max Sigoro. Lelaki berusia 50 tahun ini gigih pertahankan lahan. Di kebun sejauh satu kilometer dari pemukiman itu terdapat berbagai macam tanaman. Ada pala, cengkih, kelapa, kakao, dan kebutuhan pangan lain.
Kebun miliknya terletak sangat strategis. Berada di tengah-tengah lokasi yang tergusur di daerah pegunungan. Perusahaan sudah delapan kali datang membujuk agar Max mau lepaskan lahan. Dia bersikukuh menolak.
Max ingin menikmati hasil kebunnya. Dia bahkan diiming-imingi dengan jaminan anak bisa kerja di perusahaan. Dia tetap menolak.
Pemodal yang Yulius, Max dan warga Weda, hadapi bukan perusahaan kecil. Ini salah satu perusahaan patungan dari tiga investor Tiongkok, yaitu Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi yang sedang bergegas menyelesaikan kawasan industri terpadu pertama yang akan mengolah sumber daya mineral dari mulut tambang menjadi produk akhir berupa baterai kendaraan listrik dan besi baja.
Luas kawasan industri 2.000 hektar, termasuk dalam areal hutan dan lahan warga di Desa Lelilef Waibulen, Lelilef Sawai dan Gemaf, Kecamatan Weda. Kawasan industri ini menelan total investasi US$10 miliar yang merupakan realisasi dari perjanjian antara Eramet Group (asal Prancis) dan Tsingshan.
IWIP digadang-gadang akan menjadi kawasan industri terpadu pertama di dunia yang akan mengolah sumber daya mineral dari mulut tambang menjadi produk akhir berupa kendaraan listrik dan besi baja.
Kawasan ini juga akan dilengkapi infrastruktur pelabuhan serta bandara yang sejatinya untuk menunjang operasi produksi. IWIP juga bertujuan menarik berbagai kalangan investor untuk membangun fasilitas pengolahan industri hilir meliputi nickel sulfate (NiSO4), NCM/NCA, prekursor, sampai menghasilkan produk akhir berupa Li-ion baterai untuk kendaraan listrik.
Ia juga menggandeng rekanan lokal, perusahaan negara, PT Aneka Tambang (Antam) untuk mengembangkan deposit bijih nikel dan 30kt atau ni nickel pig iron smelter sebagai smelter pertama di dalam Kawasan Industri Weda Bay.
Sejak 2018, perusahaan ini memulai poses konstruksi dan jadi salah satu kawasan industri yang masuk prioritas nasional dalam RPJMN 2020-2024.
Dua smelter penghasil fenonikel beroperasi sejak Oktober lalu, yakni di WBN dan PT. Yashi Indonesia.
Saat ini, IWIP sudah bersiap mengembangkan industri bahan baku baterai. Kabarnya, mereka akan bekerja sama dengan PT Freeport Indonesia (Freeport) untuk menampung smelter tembaga di kawasan industri Weda Bay tetapi belakangan dinyatakan batal.
Baca juga: Kerukan Tambang, Sungai Tercemar dan Protes Warga Trans Waleh
Ancaman kerusakan dan bahaya
Supriyadi Sudirman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut mengatakan, Suku Sawai terutama di Desa Gemaf, sudah protes berulang dengan memasang plang putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 35/2012 terkait hutan adat bukan hutan negara.
“Plang itu dicabut terus dan masyarakat pasang terus. Lahan yang dipatok dan dipasang plang kini sudah digusur habis,” katanya.
“Tidak ada lagi yang tersisa.”
Sejak perusahaan hadir, kata Supriyadi, ruang hidup Suku sawai terampas perlahan. Warga di Desa Lelilef Sawai dan Lelilef Waibulen, menuju tunah kisma, sudah tak punya lahan.
Menurut Adi, pola-pola perampasan ruang seperti, lahan tergusur lebih dulu dan negosiasi harga dari belakang, dipaksa jual oleh warga yang jadi kaki tangan perusahaan, menggunakan aparat desa dan aparat keamanan perusahaan maupun permainan tengkulak tanah.
Alih-alih ganti rugi, katanya, warga terpaksa dan terima saja lahan tergusur biarpun ganti tidak adil.
Soal ini Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Maluku Utara juga anggota DPRD Halmahera Tengah mengatakan, masyarakat Lelilef dan Gemaf sudah kehilangan akses pada sumber daya alam karena lahan dikuasai IWIP.
“Orang Lelilef-Gemaf saat ini sudah tidak punya tanah dan wilayah. Semua menjadi milik IWIP,” katanya.
Ketimpangan penguasaan ruang ini dia perkirakan akan terjadi konflik yang tinggi kalau tidak diantisipasi lebih awal.
Sejak IWIP masuk dan membangun industri smelter, daya dukungan lingkungan juga terganggu dan makin menurun.
IWIP juga mengalihfungsi beberapa hutan mangrove maupun kawasan pesisir untuk reklamasi, mempengaruhi ekosistem di sekitar wilayah itubahkan, memutus akses masyarakat pada sumber-sumber kehidupan.
“Pemerintah jangan tinggal diam. Kita punya kesempatan di RTRW yang sedang revisi. Tidak boleh membiarkan IWIP menguasai seluruh wilayah di Gemaf-lelilef.” Dia bilang, kepentingan masyarakat harus ditempatkan dalam tata ruang itu. “Itu kewajiban konstitusional.”
Melky Nahar, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional mengatakan hal senada. Dia bilang, daya rusak IWIP dahsyat. Mulai dari kerusakan di daratan, pesisir, hingga laut, baik yang dialami manusia (buruh tambang dan petani atau nelayan) maupun ekosistem serta biota laut.
“Kerusakan itu, tak hanya akibat operasi penambangan, juga reklamasi pantai dan operasi PLTU batubara di IWIP.”
Kerusakan di daratan baik legal maupun ilegal berdampak pada kehilangan ruang produksi bagi petani, yang tentu berdampak pada pasokan pangan bahkan terancam lenyap. Kondisi ini, katanya, bakal menciptakan pengangguran dan warga terpaksa jadi buruh tambang atau mengadu nasib di kota.
“Dalam kaitan dengan urusan pangan, hal mendasar yang sudah dan tengah terjadi di Halteng, adalah perubahan pola produksi dan konsumsi warga. Sebelumnya, pangan dihasilkan sendiri, kini mulai beralih, bergantung ke ekonomi tambang (uang). Model ekonomi ini rapuh dan tak bertahan lama,” kata Melky.
Ancaman lain, katanya, lokasi IWIP itu berada di patahan gempa Sula-Sorong. “Itu menyimpan bom waktu, kapan saja meledeak. Maka, keselamatan warga benar-benar dipertaruhkan.”
Baca juga: Menyoal Pengembangan Baterai Nikel bagi Lingkungan Hidup dan Sosial
Pengaruhi kesehatan warga
Kondisi lingkungan Lelilef Waibulen, Lelilef Sawai dan Gemaf memprtihatinkan. Aktvitias pertambangan menimbulkan berbagai dampak bagi masyarakat dan kehidupan di sekitar tambang. Kerusakan lingkungan, seperti pencemaran (tanah, air laut dan udara) yang berujung gangguan kesehatan warga.
Munadi bilang, pembangkit batubara IWIP berbahaya bagi warga karena dekat pemukiman.
Menurut Melky, proses pembakaran batubara dari PLTU menghasilkan PM2.5, senyawa beracun yang jika terhirup dapat masuk hingga aliran darah manusia.
Apalagi partikel ini menetap di udara dalam jangka waktu lama dan mudah tertiup angin hingga ratusan mil. Dalam jangka panjang, katanya, ia dapat menyebabkan asma, infeksi saluran pernapasan akut, kanker paru-paru dan memperpendek harapan hidup.
Penelitian Universitas Harvard dan Greenpeace pada 2015 menyebutkan, dampak buruk polutan PLTU batubara. Dalam laporan terungkap, operasi PLTU batubara di Indonesia, membuat 6.500 jiwa meninggal dini.
Penyebab kematian, 2.700 jiwa kena stroke, 2.300 jantung insemik, 300 kanker paru-paru, 400 paru obstuktif kronik, 800 lain karena penyakit pernafasan dan kardiovaskular. Penyebabnya, karena paparan SO2, NOx dan PM 2,5 ditambah hujan asam, emisi logam berat seperti merkuri, arsenik, nikel, kromium dan timbal. Belum lagi, prediksi kematian negara tetangga Indonesia, mencapai 7.100 jiwa.
Angka ini diperoleh dari penelitian 42 PLTU di Indonesia, belum termasuk proyek 35.000 Megawatt yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.
Melky bilang, PLTU juga menghasilkan emisi nitrogen dioksida (NO2) dan sulfur dioksida (SO2) yang dapat meningkatkan risiko penyakit pernapasan dan jantung pada orang dewasa. Bahkan, emisi ini dapat menyebabkan hujan asam yang merusak tanaman dan tanah, serta membawa kandungan logam berat beracun, seperti arsenik, nikel, krom, timbal dan merkuri.
Tumpukan penyimpanan batubara bisa terlihat dekat sekali dengan jalan utama Weda Tengah menuju Weda Utara. Sama sekali tidak tertutup atau ada pembatas hingga memungkinkan debu berterbangan dan menyebabkan gangguan terhadap kesehatan.
Warga kerap mengeluhkan kondisi lingkungan tercemar baik aktivitas lalu lalang kendaraan bermotor, maupun operasi perusahaan pakai batubara. IWIP pakai fasilitas pembangkit listrik berkapasitas 750 mega watt sebagai pendukung aktivitas industri.
Kebutuhan setiap hari operasi perusahaan sekitar 5.000 ton batubara untuk masing-masing pembangkit. Rencananya, perusahaan menyiapkan tiga pembangkit dengan kapasitas masing-masing 250 mega watt.
Kini, warga sekitar mulai banyak sakit terkait pernapasan. Data 10 indikator penyakit terbanyak yang diterbitkan UPTD Puskesmas Lelilef, Weda Tengah, sepanjang 2018, 2019 dan Januari-September 2020, infeksi saluran pernapan akut (ISPA) dan common cold meningkat pada 2019.
Fahria, petugas Puskeskas Lelilef, Weda Tengah, mengatakan penyebab dari penyakit-penyakit ini, terutama ISPA dan common sold di Lelilef, karena pembukaan lahan dan hutan meningkat sejak dua tahun belakangan. Dia menduga, ada kaitan dengan operasi perusahaan yang menyebabkan debu, maupun pola hidup masyarakat.
“Karena 2018-2019 itu torang sudah banyak musnahkan torang punya pohon-pohon.”
Temuan-temuan ini juga saya tanyakan kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Maluku Utara, Fachrudin Tukuboya, terutama soal pengawasan mereka. Dia meminta saya menghubungi Wajihuddin Fabanyo, Kepala Bidang Penataan dan Pentaatan Lingkungan Hidup (PPLH) Maluku Utara.
Wajihuddin mengatakan, terkait dugaan pencemaran di kawasan IWIP harus melalui proses uji laboratorium terlebih dahulu dan melihat baku mutu lingkungan. “Untuk melakukan itu, butuh anggaran untuk pengujian,” katanya.
Yang dilakukan tim dari Dinas Lingkungan Hidup, katanya, sekadar pengawasan visual. “Paling setelah pengawasan kami verifikasi saja ke perusahaan,” kata Wajihuddin.
Biasanya, setelah pengawasan mereka merekomendasikan ke perusahaan terkait temuan-temuan itu. Rekomendasi itu, katanya, seperti normalisasi sungai, penyiraman jalan secara rutin, tempat terbuka harus ditutup dengan terpal dan lain-lain.
“Kami rata-rata pengawasannya begitu karena tidak ada laboratorium pengujian. Kalau gunakan pihak ketiga ‘kan itu bicara anggaran juga.”
Mengenai sungai keruh, dia bilang, air keruh itu tidak mesti terjadi pencemaran, mungkin saat-saat tertentu saja. “Misal, terjadi banjir saat hujan, setelah itu mungkin jernih lagi. Jadi fluktuatif.”
Seakan semua dia serahkan ke perusahaan. Dia bilang, biasa perusahaan punya hasil uji laboratorium terkait kualitas air laut, air permukaan, udara, dan tanah. “Ini pasti dia [perusahaan] punya. Perusahaan-perusahaan biasa kan melakukan pengujian itu secara berkala.”
Muammar Fabanyo, Media & Communications Team, External Department of Weda Bay Project, Indonesia Weda Bay Industrial Park merespon upaya konfirmasi berbagai permasalahan dan keluhan warga.
Dia bilang, dalam beroperasi perusahaan sudah memiiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dikeluarkan Gubernur Maluku Utara melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu pada 2019 dan 2020. Lingkup izin ini adalah pembangunan dan pengoperasian kawasan industri.
Muammar katakan, berbagai potensal dampak terhadap aspek lingkungan dan sosial telah mereka analisa dan sosialisasikan. Dia mengklaim satu bentuk mitigasi perusahaan lewat prosedur pembersihan lahan yang baik, maupun membuat kolam sedimen untuk mengelola air limpasan.
Dari segi sosial, kata Muammar, perusahaan membangun tempat mencuci kendaraan dan fasilitas toilet untuk masyarakat di dekat bandara. Dengan begitu masyarakat tidak gunakan sungai langsung, yang berguna juga untuk menjaga keselamatan mereka ketika memasuki kawasan.
Bagaimana dengan sungai-sungai dan laut yang tercemar? Dia bilang, dari hasil pemantauan tak ada pencemaran. Tanpa menjawab soal perubahan kondisi air sungai dari jernih ke keruh itu, dia nyatakan, perusahaan menerapkan hirarki mitigasi yang mencakup menghindari dampak, mengurangi dampak, mitigasi dan perbaikan.
Mengenai debu-debu yang menggangu warga, dia berdalih pengelolaan kualitas udara ambien, dengan penyiraman jalan berkala, pembatasan kecepatan kendaraan dalam kawasan industri 40 km perjam dan 20 km/ perjam kalau melintasi desa.
Perusahaan, katanya, juga gunakan teknologi electro static precipitator (ESP). merupakan teknologi standar dunia menyaring debu dan polutan lain sebelum kepas ke udara.
Dari hasil pemantauan kualitas udara ambient di Desa Lelilef, bandar udara, kawasan industri dan Desa Gemaf, katanya, konsentrasi debu menunjukkan masih memenuhi baku mutu.
***
Kini, lahan pertanian atau perkebunan dan pesisir termasuk laut terancam. Melky mengatakan, perlu upaya serius untuk menyelamatkan ruang hidup tersisa, sebelum semua jadi ‘milik’ korporasi.
“Harapan itu hanya ada di warga yang sadar, bahwa masa depan mereka, dan anak cucu ada di lahan pertanian, perkebunan dan pesisir atau laut.”
Tambang rakus lahan dan air, dengan daya rusak mengerikan, katanya, dan berlangsung lama, melampaui masa tambang itu sendiri. Tambang, bukan jawaban masa depan warga.
“Tak bisa berharap ke pemerintah, mereka jadi bagian dari problem, dan ikut menikmati remah-remah keuntungan dari industri ekstraktif ini,” kata Melky.
Supriyadi meminta perusahaan tak makin memperluas kawasan industri ke perkampungan. Sekarang saja, katanya, karak kawasan industri dan sudah cukup dekat dengan pemukiman warga tiga desa itu.
Bagaimana nasib Suku Sawai, yang hidup di tengah gempuran industri nikel ke depan? Akankah warga yang ingin tetap hidup dari perkebunan, pertanian atau perikanan seperti Yulius dan Max, bisa hidup dengan aman dan tenang?
“Saya pe hidup itu kebun, kalau saya sudah lepas [jual], saya mau harap apalagi saya punya kebun cuman itu[satu],” kata Max.
*****
Foto utama:Tambang PT WBN. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia