Isu perubahan iklim nampaknya tidak bergeming walaupun hampir dua tahun ini dunia disibukkan dengan pandemi COVID-19. Dampak dari Perjanjian Paris 2015 yang meminta setiap negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK)-nya telah bergeser dari National Determined Contribution (NDC) atau komitmen setiap negara untuk menurunkan emisi GRK nasional, ke isu teranyar yang lebih ambisius, namanya climate neutrality yang sering disebut carbon neutrality atau netral karbon.
Netral karbon adalah suatu keadaan dimana emisi karbon dioksida (CO2) dianggap netto nol. Dalam hal ini jumlah emisi CO2 yang dilepaskan ke atmosfir lebih kurang sama dengan yang diserap melalui berbagai kegiatan/tindakan manusia. Tindakan yang dimaksud adalah aksi-aksi iklim yang bisa mencakup mitigasi, aturan pajak karbon, perdagangan karbon, maupun aturan/kebijakan/tindakan lainnya.
Isu netral karbon semakin gencar dibicarakan ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang tidak percaya akan isu perubahan iklim, digantikan oleh Joe Biden yang pro lingkungan. Lokomotif dunia seakan akan berubah arah menuju ekonomi hijau yang rendah karbon. Bulan-bulan pertama setelah pelantikannya, Joe Biden mengundang 40 Kepala Negara, termasuk Presiden Jokowi, dalam acara Leaders Summit on Climate pada tanggal 22 dan 23 April 2021 yang lalu.
Pertemuan itu kemungkinan akan berdampak terhadap agenda perubahan iklim global dan akan menjadi tonggak penting dalam perjalanan sejarah negosiasi perubahan iklim (UNFCCC – COP) ke-26 di Glasgow bulan Nopember yang akan datang.
baca : Perubahan Iklim dan Tantangan Netral Karbon
Posisi Negara-negara Emitter
Selang beberapa waktu sebelum dan setelah Leaders Summit, beberapa negara menyampaikan kembali komitmen penurunan emisi GRK yang lebih ambisius. Umumnya semua negara mematok tahun 2050 sebagai target netral karbonnya.
Beberapa negara maju menyampaikan rencana aksi penurunan emisi yang lebih ambisius agar netral karbon bisa tercapai sebelum 2050. Perancis, Italia, Jerman, Inggris dan Amerika Serikat sudah menyampaikan rencananya ke Sekretariat UNFCCC. Namun beberapa negara lainnya seperti Australia, Rusia dan Brazil, karena berbagai alasan, menyampaikan target yang justru lebih rendah, atau sama dengan sebelumnya.
Tiongkok, pengemisi terbesar selain Amerika Serikat, walaupun baru mengusulkan target penurunan emisi yang lebih tinggi, tetapi mematok netral karbonnya pada tahun 2060. Brazil yang memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia dan memiliki potensi serapan karbon sangat besar, juga tidak antusias untuk meningkatkan ambisinya. Sebaliknya, Swedia lebih ambisius dengan menyatakan tekadnya untuk mencapai netral karbonnya pada tahun 2045.
Para ilmuwan dunia yang tergabung dalam Inter-Governmental Panel on Climate Change (IPCC) merekomendasikan tahun 2050 sebagai batas waktu ideal kondisi netral karbon dunia untuk mencegah terjadinya bencana iklim global yang lebih besar.
baca juga : Indonesia dan Wacana Netral Karbon
Dalam lingkup nasional, menurut skenario Bappenas, Indonesia bisa mencapai netral karbon nasional asalkan paling lambat tahun 2027 sudah terjadi ‘peak’, artinya jumlah emisi CO2 mencapai jumlah maksimal pada tahun tersebut, dan setelah itu harus turun. Keterlambatan satu tahun saja dalam menurunkan emisi, bisa menyebabkan netral karbon mundur 5 – 10 tahun. Bila peak baru dicapai tahun 2033-2034, maka netral karbon terjadi pada tahun 2060-2070.
Dukungan dana, teknologi, dan kualitas sumberdaya manusia diperlukan untuk keberhasilan netral karbon. Bersamaan dengan the Leaders Summit, beberapa negara maju membentuk koalisi penggalangan dana yang disebut LEAF (Lowering Emission by Accelerating Forest Finance). LEAF ditargetkan untuk tahun ini dapat mengumpulkan dana sebesar satu juta USD untuk mendukung aksi iklim di seluruh dunia.
Norwegia, Inggris dan AS adalah motor penggerak LEAF. Koalisi yang merupakan kemitraan antara Pemerintah dan pelaku bisnis di negara maju tersebut bertujuan untuk meningkatkan aksi iklim global. Sesuai namanya, sasaran utama LEAF adalah menekan laju deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang.
Namun Indonesia, pemilik hutan hujan tropis terbesar nomor tiga setelah Brazil dan Republik Demokratik Kongo, menyatakan belum dapat bergabung dengan LEAF. Alasan utamanya karena LEAF menggunakan perhitungan lepasan dan serapan karbon yang berbeda dengan metode yang dipakai Indonesia, sehingga berpotensi merugikan Indonesia.
perlu dibaca : Target Netral Karbon Lemah, Indonesia Bisa Lebih Ambisius, Caranya?
Hutan vs Energi
Mengacu pada dokumen NDC Indonesia, sektor kehutanan dan alih guna lahan merupakan pengemisi terbesar dibandingkan sektor lainnya lainnya (industri, pertanian, dan sampah). Namun kurang dari sepuluh tahun dari sekarang (2030), dengan asumsi kita tidak melakukan apapun (bussines as usual/BAU), emisi sektor energi akan bertambah secara signifikan, dari sekitar 400 ribuan giga ton menjadi 1,7 jutaan giga ton setara CO2, atau naik sekitar 4 sampai 5 kali lebih besar dari emisi tahun 2010.
Sebaliknya, emisi sektor kehutanan dan alih guna lahan terus menurun dari sekitar 650 ribu GT CO2 pada tahun 2010 menjadi 200 ribu GT. Dengan demikian pada tahun 2030, emisi sektor energi diperkirakan lebih dari dua kali lipat dibandingkan sektor kehutanan dan alih guna lahan. Wajarlah kiranya perhatian terhadap sektor energi terus meningkat hingga saat ini.
State dan Non-state Actors
Sudah banyak yang telah dilakukan Pemerintah (state actor), pelaku bisnis dan masyarakat (non-state actors) untuk mempertahankan agar kenaikan suhu bumi tidak melebihi 20 C bahkan 1.50 C seperti yang diminta dalam Perjanjian Paris.
Contoh kongkrit dari tindakan ini adalah penggunaan energi yang baru dan terbarukan, mengkonservasi hutan alam yang ada dan masih baik, melakukan reboisasi, penghijauan, dan rehabilitasi hutan-hutan alam, gambut dan mangrove yang rusak, penggunaan transportasi yang berbahan bakar bebas fosil seperti bio-fuel dan mengembangkan mobil listrik, menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan yang bersumber dari tenaga air, angin, dan nuklir; merancang pembangunan gedung-gedung hijau yang bebas emisi, serta seribu satu macam inisiatif ekonomi hijau lainnya dari masyarakat dan pelaku usaha.
Kemitraan antara state dan non-state actors adalah kunci keberhasilan menangani perubahan iklim. Keduanya saling mendukung dalam melaksanakan ekonomi hijau. Syaratnya adalah transparansi, saling keterbukaan dalam menyampaikan tujuan, sasaran, program dan aktivitas.
Inisiatif untuk membangun wadah kemitraan seperti Jejaring Indonesia Rendah Emisi (JIRE) perlu didorong dan dikembangkan agar bisa berperan secara maksimal. JIRE diinisiasi oleh Yayasan Mitra Hijau (YMH) pada tahun 2019, namun belum banyak memberikan kontribusinya karena keterbatasan sumber dana dan sumber daya.
baca juga : Konsekuensi Ekonomi dari Strategi Net Zero Emission Indonesia
Sudah saatnya kita juga memberi harga yang layak pada karbon; mengakhiri subsidi dan pembiayaan bahan bakar fosil, menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara yang baru, mengalihkan beban pajak dari pendapatan ke karbon dari pembayar pajak ke pencemar emisi (polluter pays principle), dan mengintegrasikan netral karbon ke dalam semua kebijakan ekonomi dan fiskal. Perbankan harus menyelaraskan pinjaman mereka dengan tujuan netral karbon, dan para pelaku usaha diwajibkan untuk mendekarbonisasi portofolionya.
Untuk melaksanakan ini semua diperlukan leadership dan governance (tata kelola) yang paripurna (extra ordinary) untuk tetap bertahan pada jalur yang aman dan bersih lingkungan. Dukungan peraturan, kebijakan dan insentif dari para birokrat amatlah diperlukan.
Kementerian LHK, ESDM dan Bappenas berada di garda terdepan untuk kelompok state actors. Namun tantangannya, sangat sulit membuat ketiga lembaga tersebut seiring sejalan, saling bergandengan dalam membuat dan melaksanakan kebijakan-kebijakannya.
Pemerintah tidak bisa melakukannya sendiri. Kemitraan antara state dan non-state actors, termasuk lembaga-lembaga keuangan, dan pelaku bisnis di wilayah provinsi/kabupaten/kota amatlah diperlukan. Kemudian dibuat perencanaan jangka panjang menuju netral karbon dan melanjutkan aksi iklim yang lebih ambisius lagi mulai dari sekarang.
Para pelaku usaha, asosiasi, peneliti dan universitas, LSM, dan masyarakat umum yang merupakan ujung tombak yang berada di lapangan dan paling banyak berperan dalam implementasi kebijakan dan melakukan praktek-praktek bersih lingkungan.
Saat ini sudah ada Jejaring Indonesia Rendah Emisi (JIRE) yang diprakarsai Yayasan Mitra Hijau dan merupakan wadah untuk mempertemukan state dan non-state actors. Jejaring semacam ini seyogyanya medapatkan dukungan penuh dari kedua kelompok aktor tersebut agar cita-cita bersama dapat tercapai dengan lebih baik dan lebih cepat.
Indonesia yang memiliki sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM) yang superior, sesungguhnya dapat berbuat maksimal. Semoga komitmen Indonesia bersih dapat diwujudkan lebih cepat, sebelum batas waktu yang telah dijanjikan.
*Doddy S. Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau, mantan negosiator Delegasi RI untuk Konferensi Perubahan Iklim.