Mongabay.co.id

Nestapa Orang Sakai Berhadapan dengan Perusahaan Kayu

Alat berat dan kendaraan perusahaan di lahan adat Sakai. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Nurlaila hanya dapat menidurkan badan sebelah kiri. Pinggang perempuan ini masih sakit bila telentang, apalagi miring ke kanan. Dia sudah berobat ke bidan dekat rumah, dibekali tiga bungkus tablet obat nyeri. Dada juga sakit kalau bernapas bahkan sempat demam tinggi. Waktu itu, dia tak puasa karena harus rutin konsumsi pil tiga kali sehari.

Siang itu, awal Mei, Nurlaila berusaha duduk menyambut saya di sudut rumah meski mengernyitkan dahi menahan sakit.

Nurlaila, satu dari 20-an perempuan Suku Sakai korban penganiayaan sekuriti raksasa perusahaan kayu, PT Arara Abadi, anak usaha PT Asia Pulp and Paper (APP). Selasa pagi, 27 April lalu, mereka tengah berkumpul di pertigaan koridor perusahaan, sambil menunggu kedatangan temannya bawa batang ubi mangalo. Tepatnya, Distrik Duri II, Dusun Suluk Bongkal, Desa Koto Pait Beringin, Kecamatan Talang Muandau, Kabupaten Bengkalis, Riau.

Para perempuan adat Sakai sudah janjian, hari itu, mereka hendak menanam bersama. Sebelumnya, dua sekuriti berboncengan sepeda motor lewat depan kerumunan. Selang beberapa menit, ratusan personil keamanan laki-laki dan perempuan datang dengan dua truk dan satu mobil barang kabin ganda.

Humas Arara Abadi, Sutrisno, yang dikenal Nurlaila, langsung turun dari kendaraan dan berdiri paling depan di antara rombongan.

Dengan nada membentak, dia memaksa perempuan adat Sakai minggir dan meninggalkan tempat, supaya rombongan termasuk sejumlah pekerja bisa masuk ke lokasi.

Perempuan adat Sakai tadi tak serta-merta manut dengan perintah Sutrisno. Mereka beri sedikit perlawanan, menghadang rombongan dengan duduk dan guling di depan kendaraan yang coba beringsut maju. Kontak fisik tak terelakkan. Mereka terdorong, ditarik, dipelintir, diseret, dikepit serta diangkat dengan kedua kaki dan tangan.

Kalah jumlah, sekitar setengah jam, Sutrisno dan pasukan keamanan dan pekerja harian berhasil menerobos. Perempuan adat Sakai tergeletak di tempat karena kehabisan tenaga dan menahan sakit.

Ridwan, Ketua Adat Batin Beringin Sakai, buru-buru bertolak dari Pekanbaru menuju ke lokasi setelah dapat telepon dari anaknya.

 

Baca juga: Mau Tanam Ubi di Lahan Sengketa dengan Perusahaan, Orang Sakai Terjerat Hukum Merusak Hutan

Perempuan adat Sakai korban penganiayaan sekuriti Arara perusahaan perkebunan kayu di Riau. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Sambil menenteng sebilah parang, dia berusaha memboyong perempuan adat Sakai ke pondok untuk istirahat. Jarak sekitar 1,5 kilometer dari tempat kejadian, persis berhadapan dengan areal yang tengah dikerjakan Arara Abadi.

Karena dihadang sekuriti, Ridwan terpaksa mengacung parang. Seorang polisi di situ beri aba-aba buka jalan. “Emosi saya naik lihat mereka ramai. Sementara, wajah ibu-ibu ini sudah memerah, lemas dan kelaparan. Saya bawa ke pondok supaya mereka berteduh,” katanya.

Nurlaila cerita, didorong empat kali karena berusaha maju dan mendekati truk. Dia tak kuasa lagi setelah dorongan terakhir perut kena bamper kendaraan besar itu.

Seketika dia tumbang. Penglihatan gelap dan telinga mendenging. Hampir saja dia terinjak kalau anak perempuannya dan beberapa orang terlambat mengangkatnya. Tangan kanan anak perempuannya pun ikut terkilir karena kena pelintir.

Putih, perempuan adat Sakai lain juga beberapa kali kena tarik karena hendak menahan kendaraan. Sampai beberapa sekuriti perempuan memegang kedua kaki, tangan dan kepala mereka untuk diangkat ke parit. Dia bangkit tetapi diseret lagi. Begitu terus sampai empat kali. “Kami tetap tak bisa melawan. Mereka ramai, ratusan orang. Kami cuma 20 orang. Itupun sama anak-anak kecil juga.”

Putih mengalami luka gores di atas tumit kiri. Dia juga sudah berobat dan merasa sembuh. Senin siang, 3 Mei, dia menunjukkan luka yang mulai tertutup. Meski begitu, badan Putih masih pegal kena kepit kuat-kuat dari belakang saat peristiwa itu.

Lain lagi dengan Ipuk. Dia mengalami banyak bentuk penganiayaan. Dia kena tarik, dorong dan kena seret ke gundukan tanah. Saat itu, dia menggendong bayi satu tahun yang masih menetek. Karena tak kuat lagi menahan sakit pada jahitan sesar yang memerah, dia tiba-tiba tak sadarkan diri pada pukul 17.00.

Kerabatnya langsung bawa ke klinik tetapi perawat di sana merujuk ke rumah sakit. Sekitar pukul 2.00 dini hari, dia baru siuman. Ipuk minta pulang karena tak punya biaya pengobatan. Ongkos membawa dia saja sudah habis Rp1 juta lebih antara lain, buat sewa mobil Rp700.000, daftar klinik Rp25.000, obat Rp180.000 dan cek darah Rp250.000. Biaya itu iuran dari warga Sakai.

Baca juga: Bongku Bebas dari Penjara, Akankah Bebas Pula Kelola Lahan Adat?

Begini hidup orang Sakai, di tengah investasi skala besar. Investasi menjsejahterakan masyarakat? Masyarakat yang mana? Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

Sebenarnya, Ipuk disarankan rontgen tetapi enggan karena tak punya biaya lagi. “Dada saya masih sakit, “ katanya, di gubuk kayu berlantaikan tanah, awal Mei lalu.

Selain perempuan, pemuda adat Sakai yang lihat kejadian itu juga tak tinggal diam. Mereka ikut jadi korban karena berulangkali kena seret dan dorong. Jummadel, Ketua RT Dusun Suluk Bongkal pun mengalami luka gores pada perut dan jempol. Dada kanan lebam hingga sedikit sulit bernapas, apalagi angkat benda berat.

Awali Syahri, meski tak ikut kontak fisik, tetapi tak luput dari kejaran beberapa orang sekuriti karena mengabadikan peristiwa itu. Dia lari keliling seputar lokasi demi mengamankan ponsel yang menyimpan sejumlah foto dan video. Beruntung, dia berhasil selamatkan diri.

Tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru yang mendapat kiriman video, langsung ke lokasi dan menjumpai beberapa warga adat Sakai yang jadi korban. Tiba sekitar pukul 8.00 malam, mereka dampingi Jummadel buat laporan Ke Polsek Pinggir.

“Jummadel diminta klarifikasi sekitar pukul 10.00 malam. Kami juga sampaikan delapan nama warga Sakai yang juga jadi korban. Sekarang, kami menunggu panggilan lanjutan dari kepolisian,” kata Samuel Sandi Giardo Purba, Tim LBH Pekanbaru.

Bripka Juanda Marpaung, PS Kasi Humas Polsek Pinggir, benarkan laporan itu. Katanya, Jummadel sudah visum karena mengalami penganiayaan. Laporan ini masih dalam penyelidikan dan polisi telah panggil dua saksi, seorang diantaranya sudah diminta keterangan.

Menanggapi kejadian ini, Kepala Departemen Sosial dan Sekuriti Region Riau APP Sinar Mas Deny Wijaya, lewat pesan Whatsapp yang dikirim melalui Media Affairs Manager APP Sinar Mas Emmy Kuswandari, 17 Mei, membantah sejumlah keterangan.

Pertama, peristiwa itu terjadi di Distrik Duri II, tetapi terletak di Desa Sebanga, Kecamatan Pinggir, Bengkalis. Kedua, penghadangan terhadap tim operasional Arara Abadi yang akan melakukan kegiatan di areal rencana kerja tahunan (RKT) 2021, oleh Charles Situmorang beserta keluarganya yang merupakan warga pendatang di Sebanga.

“Dalam peristiwa yang terjadi, kami tegaskan tidak ada tindakan kekerasan dari sekuriti termasuk anggota keamanan perempuan kami terhadap masyarakat. Juga tidak benar, jika disebutkan sampai ada jatuh korban yang dilarikan ke rumah sakit,” kata Deny Wijaya.

Ismail Dolek, Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Batin Beringin Sakai, balik membantah semua keterangan Deny Wijaya. Dia menegaskan, lokasi kejadian ada di Desa Koto Beringin, sebelum dipisah bagian dari Desa Koto Pait. Dia juga meyakinkan, Charles Sitomurang, tak ada di lokasi apalagi terlibat dengan keributan saat itu.

Ismail, anak dari Nurlaila, perempuan adat Sakai yang jadi korban. Dia yang menghubungi Ridwan, ayahnya, segera pulang dari Pekanbaru melihat kondisi ibu dan perempuan adat Sakai lain yang menghadapi pasukan keamanan Arara Abadi.

“Saya tak pernah jumpa dengan Charles, sering dengar namanya karena beberapa kali beli lahan orang Sakai lewat Batin Penaso. Bukan dari kami, Batin Beringin.”

 

Truk yang mengangkut pekerja perusahaan untuk tanam eukaliptus di lahan yang bersengketa dengan wilayah adat Sakai. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Jalan terus

Satu hari pasca kejadian, Arara Abadi langsung tancap gas tanam ulang eukaliptus. Dua alat berat pun dikerahkan. Eskavator kerja diawasi dua sampai tiga sekuriti. Sedangkan ratusan lain siaga di bawah tenda darurat. Mereka gantian siang dan malam, diantar dan dijemput dengan truk.

Seorang sekuriti bilang, semua personil keamanan dari seluruh distrik dikerahkan di sana. Soal cek-cok dengan masyarakat adat Sakai, dia bilang hanya jalankan tugas dan perintah. “Semua areal Arara Abadi berkonflik. Tidak hanya distrik dua ini saja. Bahkan di kampung saya yang ada konsesi Arara Abadi juga sering ribut dengan masyarakat. Maka, saya tak mau tugas di sana. Tak enak kelahi dengan warga yang kita kenal.”

Deny mengatakan, lokasi itu areal penanaman daur kelima yang dilakukan penundaan tanam sejak Agustus 2020, karena klaim dari Batin Beringin pimpinan Ridwan. Di areal itu, katanya, sudah ada kerjasama dengan Batin Beringin dan Batin Penaso, dengan kesepakatan tanaman kehidupan seluas 750 hektar, termasuk lahan yang diklaim seluas 205 hektar saat ini.

“Periode kerjasama pertama sudah dibayar pada 2015/2016. Karena terdapat pergantian batin sebelumnya yang meninggal, pimpinan adat yang baru menolak perpanjangan kerjasama kemitraan,” kata Deny.

Sebelum penanaman, katanya, sejak Januari 2021, mereka beberapa kali berunding dengan pihak terkait termasuk komunikasi pada Batin Beringin, antara lain Ridwan, Ronal, Amat S, Khalifah Ismail dan Waren difasilitasi unsur pimpinan kecamatan. “Perusahaan masih terus pendekatan dengan pihak terkait.”

Kini, 10 pemuda adat Sakai berjaga di pondok tak dapat berbuat apa-apa, kecuali menonton sekuriti dan alat berat bekerja di depan mereka. Dua puluh empat jam di sana hanya untuk menyaksikan sedikit demi sedikit eukaliptus ditanam.

Seakan tak ada harapan, Ridwan mohon paling tidak areal sekitar kuburan orangtua mereka terdahulu tidak terganggu tanaman kayu itu.

Kondisi itu jadi momok bagi masyarakat adat Sakai. Sudah banyak kuburan nenek moyang mereka tergusur dan terlindas begitu saja oleh alat berat. Masyarakat adat Sakai kini berupaya menandai kembali kuburan-kuburan dengan gundukan batu bata. Itupun masih sering ditimpa batang-batang eukaliptus yang ditebang saat musim panen.

“Tak dapat kami lahan itu, jangan sampai kuburan orangtua kami juga dibongkar. Kami tak mau saban tahun melihat tulang belulang nenek moyang kami berserakan. Kami dah sering memohon, tapi tak pernah digubris. Kuburan ini obyek vital orang Sakai,” kata Ridwan. Dia mengajak saya mendatangi beberapa kuburan, awal Mei itu. Eukaliptus hanya beberapa jengkal saja dari kuburan yang ditunjuk Ridwan.

Kuburan masyarakat adat Sakai tak menumpuk pada satu tempat. Ia ada di mana-mana, mengikuti pola peladangan berpindah-pindah. Di mana bercocok tanam, di situ pula mereka mendirikan tempat tinggal sementara dan menguburkan keluarga bila menghembuskan napas terakhir di lokasi itu.

 

Jagung, salah satu tanaman pangan orang Sakai di Riau. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Lahan pangan yang terancam

Sebenarnya, satu tahun belakangan, terlebih selama pagebluk Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) menyerang, BPAN Batin Beringin Sakai sedang kelola lahan pangan sekitar 10 hektar. Lokasi mereka di seberang kanal Arara Abadi, persisnya sebelahan dengan kebun sawit PT Adei Plantation and Industry.

Di atasnya, mereka tanam jagung, pisang berangan, ubi mangalo, semangka dan cabai rawit. Mereka juga sudah menikmati panen padi.

Rencana pemuda adat Sakai, hendak perluas areal tanam ke dataran lebih tinggi karena tempat semula rawan banjir. Beberapa bibit pisang, ubi bahkan jengkol sudah mulai tumbuh tinggi di lokasi baru yang mereka siapkan.

Malangnya, belum sempat menikmati hasil penuh, kecuali semangka, pertikaian pun kembali terjadi dengan Arara Abadi. Bibit terbuang begitu saja, tanaman-tanaman yang mulai tumbuh rata oleh alat berat dan berganti dengan eukaliptus. Beberapa masih nampak tumbuh berdampingan. Ismail Dolek, khawatir tanaman mereka akan mati seiring penyemprotan pupuk pada eukaliptus itu.

Ada satu lagi rencana pemuda adat Sakai tak terwujud. Mereka ingin hasil panen jual ke pasar, terlebih saat ramadan lalu. Belajar dari hasil penjualan semangka sebelumnya, mereka hendak kembangkan ekonomi masyarakat adat Sakai. Gara-gara tindakan sekuriti Arara Abadi, mereka pun tak bisa bergerak banyak termasuk menuai hasil dari beberapa tanaman yang belum sempat panen.

Ismail Dolek, khawatir areal yang sudah mereka tanami dan kelola lebih kurang satu tahun akan rata dan ganti eukaliptus. “Pemerintah katanya sedang menggalakkan tanaman pangan. Sekarang tanaman kami malahan terancam.”

“Ini untuk membangkitkan ekonomi masyarakat adat Sakai. Ini cukup untuk kebutuhan sehari-hari kami dan tak bergantung dengan bantuan pemerintah.”

“Katanya, perusahaan hadir untuk pembangunan ekonomi, beri kepastian penghidupan, ternyata sebaliknya,” kritik Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Hingga kini, katanya, belum ada pengakuan dan perlindungan kepada Orang Sakai, malah yang terjadi sebaliknya, ladang-ladang mereka dihancurkan.

Rukka sentil program Presiden Joko Widodo, yang giat membangun ‘lumbung pangan’ lewat pengembangan pangan skala besar (food estate), tetapi masyarakat adat Sakai tak dilindungi ketika menciptakan kemandirian pangan.

Dia menyerukan, perusahaan tarik sekuriti dan tak mengerahkan pasukan untuk menghadapi masyarakat adat yang tak berbadaya. Dia juga minta pemerintah cabut izin Arara Abadi.

 

Alat berat perusahaan terus bekerja menyiapkan lahan untuk tanam eukaliptus. Tanaman pangan warga Sakai pun kemungkinan kena pembersihan… Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Rukka sebut, Suku Sakai masuk daftar kategori masyarakat adat terancam punah. Kini, mereka berupaya mengkonsolidasi masyarakat adat dan kader-kader di kampung, dengan beri pelatihan bahkan sekolah formal dan mendidik beberapa antara lain jadi pengacara.

Sembari menguatkan peran pemuda dan para tokoh adat untuk jadi penggerak, AMAN juga sedang merencanakan pembentukan pengurus daerah di lingkup Sakai. Saat ini, baru ada BPAN dan segera bentuk perempuan AMAN juga di sana.

Pekerjaan lain, AMAN juga menyelesaikan pemetaan wilayah adat Sakai. Rukka bilang, peta adat penting untuk mengenal orang Sakai, luas wilayah, termasuk yang masih dikuasai orang-orang Sakai maupun oleh pihak lain, seperti Arara Abadi.

Pekerjaan itu, katanya, sekaligus mengidentifikasi status pangan masyarakat adat Sakai.

Selama pandemi, AMAN bikin gugus tugas di masyarakat adat Sakai untuk kedaulatan pangan agar mereka tak kelaparan di tengah kelangkaan sumber makanan. Keadaan ekonomi masyarakat adat Sakai sempat bangkit di tengah wabah, karena mampu menghasilkan pangan sendiri dengan gotong royong. Kemandirian pangan ini tak bertahan lama setelah muncul Arara Abadi.

“Mereka tak lagi membeli di pasar. Mereka berusaha wujudkan kedaulatan atas pangan tanpa bantuan perusahaan dan pemerintah. Justru inisiatif itu dihancurin.” Kata Rukka.

Dia bilang, di masa pandemi dan bulan puasa pun, perusahaan tetap beringas dan tak melindungi masyarakat adat Sakai maupun ladang-ladang penghidupan mereka.

Mayoritas Orang Sakai hanya jadi pekerja dengan tingkat pendidikan rendah, layanan kesehatan paling terbelakang jadi kalau terjadi bencana seperti corona, mereka termasuk paling rentan. Masyarakat Sakai juga mengalami krisis air bersih. Wilayah adat mereka kaya akan sumberdaya, tetapi orang-orangnya susah.

 

Kuburan orangtua masyarakat adat Sakai yang terancam oleh tanaman kayu Arara Abadi. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

***

Sampai 17 Mei lalu, Ismail Dolek bilang, pasukan keamanan Arara Abadi masih bertahan di lokasi. Dia dan beberapa pemuda adat Sakai masih berjaga di pondok.

Dalam kebijakan kelestarian sosial, Arara Abadi komitmen antara lain, mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat lokal dan adat di dalam dan sekitar konsesi, menerapkan asas keterbukaan, kesetaraan dan keadilan dalam proses pengambilan keputusan. Juga melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat adat maupun lokal yang didesain terbuka dan partisipatif bersama para pihak penerima manfaat.

Tak hanya itu, Arara Abadi juga berjanji menyelesaikan konflik dan keluhan secara bertanggungjawab dan tanpa kekerasan, menerapkan prinsip-prinsip free prior informed consent (FPIC) dalam pengambilan keputusan terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal.

Deny Wijaya bilang, Arara Abadi komitmen menghormati hak-hak masyarakat sekaligus juga legalitas lahan dan berharap tidak menimbulkan konflik yang berkelanjutan.

“Dalam jalankan kegiatan operasional bisnis, Arara Abadi senantiasa mengikuti seluruh hukum dan perundangan yang berlaku. Kami juga berupaya mengedepankan dialog untuk mencapai kesepahaman dalam sengketa lahan yang mungkin terjadi dengan masyarakat setempat.”

 

Bercermin kasus Orang Sakai, bagaimana implementasi komitmen perusahaan dengan kenyataan lapangan?

 

****

Foto utama: Alat berat dan kendaraan perusahaan di lahan adat Sakai. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version