Mongabay.co.id

Mengunjungi Tongole, Kampung Bambu dengan Situs Cengkih Tertua

 

 

 

 

Siang itu, cuaca agak terik setelah hampir sepekan hujan mengguyur Kota Ternate, Maluku Utara. Meskipun mentari menyengat kala memasuki kawasan Ekowisata Cengkih Afo Pulau Ternate, langsung terasa sejuk.

Ekowisata di Kelurahan Tongole atau Ake Tege-tege di Ternate Tengah ini rimbun dengan hutan cengkih, pala dan bambu pada sisi kiri kanan jalan. Pepohonan rimbun inilah penyejuk kampung.

Nama Tongole atau Ake Tege-tege dalam bahasa Ternate berarti air yang menetes. Nama ini merujuk sumber mata air Ake Tege-tege yang jadi satu-satunya kampung di Ternate memiliki mata air di puncak.

Mata air Ake Tege-tege ini masih dipakai sebagian warga sampai saat ini. Sumber mata air ini masih tetap terjaga, meski tidak sederas dulu. Ia masih jadi sumber air minum sebagian warga Tongole.

 

Berbagai hiasan dari bambu di Kampung Tongole, Ternate. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Di sepanjang jalan menuju perkampungan ini, tidak hanya pepohonan cengkih, pala, durian serta bambu. Pekarangan warga tanami ragam jenis pisang, pepaya bahkan sayur mayur. Kampung ini juga dikenal dengan kampung bambu.

Bebeberapa fasilitas warga di tepi jalan bahkan terbangun dengan bahan bambu tutul atau warga sebut bambu China.

Beberapa warga menjadi perajin bambu. Mereka masih mempertahankan tradisi turun temurun dalam membuat berbagai peralatan rumah tangga semisal kursi, meja dan beragam kerajinan bambu lain.

Kampung ini berada 600 meter di atas permukaan laut. Untuk menjangkau Lampung Tongole dari pusat kota cukup 10 menit. Kampung di lereng Gunung Gamalama itu menghadap ke timur Pulau Halmahera.

Alam kampung ini juga masih terjaga. Rumah warga dibangun berjejer mengikuti lereng. Ditutupi rerimbunan hutan cengkih, pala dan bambu, kampung ini begitu sejuk. Di tepi jalan penduduk menjemur biji pala dan fuli.

Kalau musim cengkih tiba, kampung ini juga bau harum cengkih yang dijemur di tepi jalan usai panen.

 

Cengkih afo generasi kedua, pohon sudah mati pada 2000-an. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Cengkih tertua

Untuk cengkih Tongole masuk  dalam situs penting sejarah masa lalu yang berhubungan kejayaan rempah di negeri ini. Di kampung ini, tumbuh cengkih yang diklaim tertua di dunia. Bernama cengkih afo.

Afo di kampung ini tumbuh sudah tiga generasi. Cengkih Afo pertama dan turunan kedua ketiga berada tak berjauhan di satu lokasi tepat di puncak Kampung Tongole. Cengkih afo pertama dan kedua sudah mati.

Afo pertama dikenal sebagai cengkih tertua berumur sekitar 416 tahun. Tinggi mencapai 36,6 meter dengan diameter 1,98 meter. Cengkih tertua ini sekali musim berbuah dan panen sampai selesai, sampai 600 kilogram.

Cengkih ini mati sekitar tahun 2000. Afo turunan kedua, berusia 250 tahun  memiliki diameter batang 3,97 meter. Dalam satu musim berbuah dan panen mencapai 340 kilogram. Pohon cengkih afo kedua juga mati pada 2000- an.

Saat ini, masih ada afo turunan ketiga  yang sudah dilindungi. Meski demikian, kondisi percabangan cengkih ini juga sudah ada  yang mati. Cengkih afo turunan ketiga ini  lingkar tengah batang 3,90 meter dengan umur sekitar 200 tahun, hasil panen setiap musim berbuah mencapai 250 kilogram.

Sebagai situs alam bersejarah, cengkih memiliki hubungan dengan perdagangan masa lalu, dibuatlah kawasan ekowisata di sini.

Ekowisata cengkih afo dikemas bergaya alam memadukan tradisi lokal Ternate, menawarkan kepada pengunjung tak hanya menikmati tempat asri dan sejuk, juga kembali ke alam sambil menghirup  udara  dengan bau harum hutan serta bunga  cengkih dan pala.

 

Memasuki Ekowisata Cengkih Afo di Tongole. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Adalah Kris Samsudin, anak muda Ternate yang mencoba menginisiasi pembuatan kawasan wisata Cengkih Afo.  ‘

Kris bilang,  cengkih afo adalah cerita yang menarik  dan jadi aset wisata penting. Ia menarik karena memiliki sejarah hingga sekarang.  “Bahwa negeri dan bangsa ini  dijajah karena hubungan dengan rempah-rempah  terutama cengkih,” katanya.

Kalau orang datang ke Ternate, hanya mendengar cerita negeri ini sumber cengkih berasal. “Bagi saya yang ada orang hanya mendengar cerita. Di mana cengkihnya?”

Dengan ekowisata ini, katanya, tak hanya jadi ikon cengkih yang diburu bangsa Eropa, China dan Arab juga bisa menyaksikan langsung pohon itu. “Jika, musim panen orang bisa mencium bau harum cengkih.”

Kalau pengunjung atau  wisatawan datang ke tempat ini,  manfaat masyarakat rasakan langsung.

Dia pun mencoba mulai dari nol menginisiasi pembuatan kawasan ekowisata ini. Berkat dukungan berbagai pihak, tempat ini jadi destinasi ekowisata di Ternate dengan  luas sekitar empat hektar.

Di sini, juga  terbangun berbagai fasilitas. Ada sawung atau rumah-rumah kecil di bawah rerimbunan cengkih dan pala. Ada juga semacam aula untuk pertemuan. Pengunjung bisa menikmati makan dan ngopi  atau bersantai sambil menikmat suasana alam  perkebunan cengkih dan pala.

Kalau mau menuju  ke lokasi cengkih afo pertama  juga sudah ada jalur sekitar 300 meter.

 

Suasana Kampung Tongole nan rimbun. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

***

Ekowisata Cengkih Afo berada di bukit di seberang kanan jalan dari arah kota. Menuju kawasan wisata ini dengan mendaki, menaiki tangga.  Kiri kanan ada pagar dari bambu dihiasi  dekorasi lampu juga dari bambu nan menarik. Semua  bahan serba dari alam.

Bangunann dari kayu dan bambu, atap dari bambu,  tempat makan dan minum juga dari bambu serta batok kelapa. Makanan, maupun minuman hangat tersaji semua  serba tradisonal dengan bahan-bahan alami.

Ada makanan kobong (pangan lokal)   diolah dan disajikan warga. Makanan khas Ternate ini dibuat dan dikonsumsi masyarakat   turun temurun.

“Ekowisata ini kita kelola berbasis masyarakat. Jadi, tidak tidak hanya wisatwan datang menikmati alam dan rempah. Masyarakat sekitar juga diberdayakan.  Tujuannya cengkih afo ini memiliki manfaat lebih bagi komunitas  masyarakat setempat,” katanya.

Kris menghimpun dan memberdayakan warga setempat guna menghidupkan ekowisata Cengkih Afo ini.

Irvan Ahmad, dosen ilmu sejarah Universitas Khairun Ternate bilang, wisata sejarah yang merupakan kekayaan Ternate, sejauh ini belum terkelola baik. Benteng tersebar memenuhi Kota Ternate, sebenarnya punya kaitan dengan cerita cengkih afo.

Apalagi, katanya, sudah ada Hari Rempah di mana Maluku Utara jadi titik tolak penetapan hari itu. Rempah dan benteng ini akan jadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

“Wisatawan jauh-jauh  datang itu mau melihat jejak nenek moyang mereka di masa lalu. Karena itu, narasi tentang rempah dan benteng benteng itu harus diperkuat,” katanya.

 

 

Kampung bambu di Ternate

Kampung Tongole, berada dalam status kawasan hutan produksi konversi (HPK). Hampir semua lahan adalah perkebunan yang berisi cengkih, pala, bambu, durian dan kayu manis. Mayoritas tanaman ini diusahakan dan jadi sumber pendapatan utama warga.

Ibrahim Tuhateru, Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (KP) Ternate Tidore di Ternate menjelaskan, hutan Tongole menyediakan hasil kayu dan non kayu. Meski begitu, katanya hutan di Tongole memiliki kelebihan terutama bambu dan cengkih. Ada cengkih afo dan pusat bambu tutul atau bambu China.

Untuk pengembangan ekowisata ke depan, katanya, mereka mempertimbangkan beberapa potensi Tongole yang punya cengkih afo, bambu dan Mata Air Ake Tege-tege.

“Perencanaan KPH ke depan intervensi ekowisata. Saat ini, di Tongole ada beberapa pihak sudah mengelola beberapa ekowisata. Kita akan dorong melalui bentuk kolaborasi dengan melibatkan kelompok tani hutan yang ada.”

Tongole, katanya, tak hanya  jadi pusat awal cengkih di Maluku Utara. Kampung ini juga terkenal dengan bambu tutul atau warga sebut bambu China. Bambu ini bisa jadi bahan kerajinan.

“Saya bikin kerajinan bambu sejak 1957,” kata Salasa, warga Tongole.

Dia tetap bikin kerajinan hingga kini. Dalam sehari, dia bisa bikin satu produk lalu jual berkeliling kampung. Ada bangku besar, box anak atau kursi. Rata-rata harga satu kerajinan Rp400.000. Penghasilan lain dia dapat dari pala dan cengkih serta kayu manis.

Untuk kerajinan bambu ini, kata Salasa, mulai ditinggalkan anak muda di kampung itu. Mereka yang jadi perajin tinggal empat orang sudah berusia sepuh.

Anak muda, katanya, lebih senang menarik ojek atau jadi pekerja bangunan.

“Ini yang torang (kami) kuatir jangan sampai ikon kampung bambu dengan perajin bambu ini suatu saat akan hilang. Saat ini, tidak ada lagi anak muda yang mewarisi dan belajar membuat kerajinan ini. Kalau kami sudah tidak ada maka kerajinan ini juga ikut hilang….”

 

****

Foto utama: Pemandangan dari atas Kampung Tongole. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version