Mongabay.co.id

Benyamin, Ubah Bukit Tandus jadi Hutan Pinus

Benyamin di hutan pinus yang dia tanam puluhan tahun lalu. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Namanya Benyamin. Dia lahir di kampung nan indah, 15 menit dari pusat Mamasa, Sulawesi Barat, 58 tahun lalu. Tigapuluh tiga tahun silam, Benyamin muda, mengubah bukit belukar, di Tondok Bakaru, Mamasa jadi hutan pinus. Dia tak pernah membayangkan akan jadi tujuan wisata sekaligus menambah pundi-pundi warga sekitar.

“Padahal, tujuan dulu selain penghijauan untuk bahan bangunan,” katanya membuka cerita.

Pada 1986, Benyamin diterima menjadi pegawai negeri sipil, lantas bertugas di Departemen Penerangan. Beberapa bulan kemudian, dia digeser ke Kantor Bupati Polewali Mamasa (Polmas)—saat Mamasa masih bagian administrasi Polewali.

Kala itu, penghijauan adalah program pemerintah Orde Baru. Di pelosok negeri, lahan yang dianggap pemerintah “terlantar” atau “rusak” ditanami ribuan bibit pinus jenis pinus merkusii. Flora yang tumbuh alam di ujung selatan Pulau Sumatera ini dipasok hingga ke Sulawesi.

Di Mamasa, banyak bibit yang disemai berakhir terlantar. “Saya inisiatif ambil bibit itu, saya tanami di lahan kosong,” kata Benyamin.

“Nenek kami mengatakan, bukit di sebelah kalau kau mau tanami kayu, tanami saja.”

Bukit itu tak sepenuhnya kosong. Rumpun paku-pakuan (Dicksonia blumei) tumbuh liar, menjulang dan berserakan di antara belukar. Di Tondok Bakaru, orang menjuluki bukit itu Lenong, merujuk pada fungsi suatu bukit, tempat orang bertahan dari gempuran musuh. Semacam benteng.

Di Lenong, banyak gundukan tanah memanjang di tepi punggungan bukit. Parit yang meliuk serupa labirin. Melihat itu, seperti membayangkan pertempuran sedang berlangsung. Kelompok orang sedang menenteng senjata dan bersembunyi, berlari dan berlindung di balik parit.

“Zaman dulu itu masih sering saling menyerang antar kampung. Juga pada waktu zaman Jepang. Orang selalu mencari ketinggian, di mana bisa bertahan dan berlindung. Tempat ini biasa ditempati orang-orang tua, utamanya para pemberani dulu untuk bertahan,” katanya.

 

Pemandangan indah perkampungan dan lahan pertanian warga dari Bukit Lenong. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Bukit inilah yang diubah Benyamin. Dia mengajak keluarganya membantu, dengan imbalan upah harian hasil dari menyisihkan gaji Benyamin. Sebagai PNS, Benyamin dapat gaji Rp16.000, saban bulan.

Selain sebagai PNS dia juga urus sawah dan kebun kopi. “Kita upayakan cukup. Di Mamasa, rata-rata jadi pegawai, jadi petani juga. Bagaimana berupaya cari tambahan.”

Pinus yang dia tanam tumbuh cepat. Tegak dan tinggi. Benyamin membolehkan warga Tondok Bakaru, mengolah pinus ini buat keperluan papan dan balok rumah. Dia juga menjual papan dan balok siap pakai.

Meski kerap ditebang, pinus di Lenong tak berkurang. Ia tanaman ekspansif. Bunga yang jatuh ke tanah kelak jadi anakan baru. Beberapa tahun kemudian, pinus tak hanya menyesaki Lenong.

Dua puluh tahun lalu, saat kemarau tiba, entah kena sulut atau apa, kobaran api muncul di sekitar Lenong melahap ratusan pinus dan menyisakan arang hitam di atas bentangan bukit. Hutan pinus pun menyusut.

“Kemudian masyarakat tidak pelihara. Dia babat saja. Dia butuh kayu. Barang satu, dia justru babat lima, enam pohon. Seenaknya.”

“Akhirnya, sekarang kewalahan mi. Mau ambil bahan bangunan, sudah sedikit.”

 

Terowongan buatan dari daun pinus di Kampung Natal. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Mengenal pinus…

Beberapa warga di Tondok Bakaru bilang, air berkurang sejak pinus menyesaki perkampungan. Namun sulit menguji klaim itu tanpa bukti penelitian. Saya masih melihat air meluncur melimpah melalui irigasi yang bermuara ke sawah-sawah dan rumah.

Pinus kerap dikaitkan sebagai tanaman rakus air. Konon, pinus ‘mengisap’ air tanah terlalu banyak.

Penelitian tahun 2004, mengatakan, kalau pinus ditanam pada daerah dengan curah hujan kurang dari 1.500 mm pertahun, bakal menyebabkan orang-orang sekitar kelangkahan air. Penelitian itu menyarankan, pinus baiknya ditanam di daerah curah hujan 2.000 mm pertahun.

Kenapa? Pinus adalah tanaman dengan evapotranspirasi tinggi. Ia lebih banyak menguapkan air kembali ke langit dibanding menjatuhkan dan meresap ke tanah. Alih-alih menambah persediaan air tanah.

Dalam penelitian itu, laju evapotranspirasi pinus 1.002–1.539 mm pertahun. Laju itu masuk tinggi, dibanding tanaman lain, macam damar, tanaman pangan, bahkan hutan alam.

Persoalannya, ada pada bentuk tajuk pinus. Pinus adalah tanaman dengan batang bundar dan bisa menjulang hingga 45 meter.Kepakan tajuk pinus cukup untuk menghalau hujan jatuh ke tanah, apalagi bila tumbuh saling rapat.

Bentuk tajuk inilah bikin laju intersepsi pinus begitu tinggi terlebih. ketika lantai hutan tidak memiliki vegetasi yang bisa menyebabkan erosi. Menariknya, pinus juga termasuk pohon yang menyimpan karbon cukup banyak.

Di Mamasa, curah hujan dalam setahun melampaui 2000 mm. Pada 2016, bahkan 3.358 mm.

Benyamin memilih tanam pinus. Bibit yang tersedia saat itu hanya pinus. “Tanaman pinus kan juga cepat sekali tumbuh untuk diolah jadi bahan bangunan.”

 

Lampu-lampu di Kampung Natal. Foro: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Wisata Hutan Lenong

Matahari baru saja jatuh di balik gunung. Langit mulai gelap. Sesekali, embun turun lalu menghilang. Rangkaian lampu warna-warni menyala. Berkelap kelip dan melilit pohon pinus. Kidung rohani dimainkan.

Saya duduk di replika buritan kapal, ujung bukit itu. Depan saya, tepi Kota Mamasa berpendar di kaki bentangan gunung raksasa yang memukau. Dingin makin menusuk, jaket tebal saya seakan tak berguna.

Suasana malam itu begitu meriah. Pengunjung silih berganti berdatangan. Anak muda. Orang tua. Setahun lalu, ketika kali pertama hutan ini dibuka untuk wisata, pengunjung lebih ramai lagi.

Saban minggu, warga datang beribadah di hutan ini, menyambut Natal dan tahun baru. Pandemi COVID-19 mengubah segalanya.

“Sekarang, pengunjung tidak kurang dari 100 orang. Rata-rata 100, 200, ada sampai 600 orang.”

Setelah jadi obyek wisata, Bulit Lenong ini dikenal dengan sebutan Kampung Natal. Ia dikelola Benyamin bersama keluarganya. Anak muda Tondok Bakaru yang militan membantu bikin dekorasi nan indah. Ada ayunan, jembatan sampai buritan kapal mini, meja dan kursi. Mereka menarik tiket Rp5.000 perorang.

Benyamin punya empat anak dan lima cucu. Masa tua akan dia habiskan bersama hutan ini. Dekat dengan hutan, bikin hati Benyamin senang. “Saya nikmati ketenangan di sini. Sejuk. Saya kasih tahu Ibu, biar mi kita tinggal di sini.”

 

****

Foto  utama: Benyamin di hutan pinus yang dia tanam puluhan tahun lalu. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version