Mongabay.co.id

Inovasi Produksi, Faktor Penting bagi Pengembangan Pala Nusantara

Sebagai eksportir pertama pala dunia, pala (Myristica fragrans Houtt) asal Indonesia memiliki keunggulan komparatif. Komoditas ini telah diekspor ke negara-negara seperti Belgia, Vietnam, Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Rusia, Perancis, Spanyol, Singapura hingga Italia (Sundari 2016).

Selain diekspor, pala juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang tinggi. Untuk itu, diperlukan peningkatan pengelolaan pala agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan memiliki kualitas yang tinggi.

Berdasarkan data statistik Ditjen Perkebunan 2018, dari total produksi pala 44,10 ribu ton, 20,20 ribu ton pala yang dikonsumsi nasional untuk keperluan industri dan rumah tangga.

Setelah sempat mengalami penurunan areal pala, berkat program pemerintah, areal pala rata-rata naik 4,09 persen. Terakhir, pada tahun 2020 luasnya 245.214 hektar, bertambah dari 244.826 hektar di tahun sebelumnya (BPS RI, 2021).

Namun, meski mengalami kenaikan luas areal lahan, kenyataannya nilai ekspor pala Indonesia sejak 2012 mengalami penurunan, meski pada tahun 2017 dan 2019 sempat mengalami kenaikan. Hal ini berkaitan dengan aturan yang diterapkan oleh Uni Eropa dalam isu keamanan pangan, higienitas, dan kebersihan (Comttrade  2020).

Pala yang diekspor ke Belanda sempat ditolak, dikarenakan dijumpai 10 kasus kandungan aflatoksin yang melebihi standart yang termuat dalam Peraturan Komisi Eropa (EC) Nomor 1881/2006 (Hadiyanto et al. 2017; Triwibowo dan Falianty 2018).

Baca juga: Mengenal Pala Papua

 

Mengenal kualitas biji pala dapat dilakukan lewat identifikasi warna. Biji yang berwarna gelapa lebih baik dibandingkan yang berwarna lebih pucat. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Pala dan Perspektif Sejarah Perdagangan

Tanaman pala telah dikenal selama berabad-abad sebagai rempah penting asal kepulauan Nusantara. Tanaman ini tumbuh subur dan berproduksi dengan baik pada lokasi dengan ketinggian kurang dari 700 mdpl, curah hujan 2.000- 4.500 mm per tahun, suhu 25-30°C, dengan kelembaban nisbi kurang dari 75 persen.

Pada abad ke-15, Indonesia pernah merajai perdagangan rempah dunia. Dikenalnya rempah asal Indonesia karena mempunyai cita rasa dan aroma spesifik yang diminati konsumen di pasar dunia.

Beberapa daerah di Indonesia Timur telah dikenal sebagai penghasil rempah utama, diantaranya Kepulauan Maluku dan Papua, hingga ia dijuluki sebagai “king of spices“, karena merupakan produk rempah-rempah tertua dan terpenting dalam perdagangan internasional (Peter 2001).

Saat ini Banda Neira di Kabupaten Maluku Tengah adalah pusat produksi pala terbesar di Indonesia (Fauziah 2013). Kabupaten Maluku Tengah juga menjadi sentra produksi tanaman pala unggul dengan hasil panen 2.480 ton dengan luasan areal 11.642 ha (Direktorat Jenderal Perkebunan 2019).

Baca juga: Menikmati Banda Naira: Dari Pala hingga Biota Lautnya

 

Buah pala yang telah dipanen. Dok: Yayasan INOBU

 

Pala Banda amat bernilai ekonomi karena kandungan minyak atsiri dan myristicin yang lebih tinggi dibandingkan spesies lainnya. Masyarakat Banda memanfaatkan biji dan fuli pala yang dikeringkan lalu diperjualbelikan dengan kualitas tinggi.

Pala di Banda umumnya berbasis perkebunan rakyat tradisional, yaitu menggunakan moda produksi yang sederhana, sistem poli kultur atau tanaman campuran dengan tanaman perkebunan seperti cengkeh, kelapa, kenari, tanaman pangan, bahkan hewan ternak yang dipelihara pada lahan yang sama (Siwalette 2017).

Petani saat ini merawat tanaman warisan yang diperoleh dari pendahulunya. Penanaman pala dilakukan tanpa menggunakan jarak tanam, hanya menggantikan tanaman yang telah mati atau menanam pada lahan yang masih kosong.

Pemeliharaan hanya sebatas pameri (menebas semak/tumbuhan penganggu) dengan peralatan seadanya parang, cangkul, linggis, dan kapak.

Hasil panen dalam jumlah banyak akan diproses ke tahap selanjutnya sebelum dijual, tetapi bila sedikit langsung dijual dalam bentuk pala mentah ke tengkulak. Pemrosesan pala bila tidak dijual dalam bentuk mentah yaitu, memisahkan biji pala dari fuli dengan cara mengupasnya menggunakan pisau atau sendok.

Pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh anggota keluarga yang ikut panen, selanjutnya dikeringkan dengan dijemur diterik matahari oleh ibu petani, dibantu anak-anak.

Penanganan pasca panen, khususnya pengeringan ini, masih menggunakan peralatan seadanya yaitu karung atau terpal yang diletakkan di jalan atau di samping rumah. Jika hari hujan dilakukan pengasapan di dapur tempat masak atau tempat pengasapan tersendiri di lahan.

Cara pengolahan pala tradisional inilah yang sering berdampak pada kualitas hasil pala yang kurang optimal, tidak higenis, belum memenuhi standar, berjamur dan tidak aman dikonsumsi.

Selain itu, akses informasi pasar dan kualitas rendah diduga mengakibatkan nilai ekonomi yang diperoleh petani jauh yang diharapkan sehingga menimbulkan persoalan yang dihadapi oleh petani pala di Provinsi Maluku (Siwalette, 2020).

Pada prinsipnya, sebenarnya petani bebas memilih saluran pemasaran yang dianggap paling menguntungkan. Pembayaran proses jual beli biji dan fuli pala diterima langsung oleh petani yang dibayarkan secara tunai. Namun, kerapkali berlaku sistem ijon, yaitu memperjualbelikan pala dan fuli dalam keadaan basah atau belum dikeringkan.

Hal ini umum terjadi saat kondisi cuaca yang membuat potensi gagal panen yang disebut sebagai ombong mei (Lawalata et al 2017).

Ombong mei sendiri adalah keadaan iklim dan angin kencang disertai uap udara yang dingin. Biasanya terjadi pada bulan Mei hingga Agustus, yang membuat buah pala muda berguguran.

Untuk menyiasatinya potensi kegagalan panen pada bulan Mei, petani terpaksa melakukan sistem ijon atau saat buah masih belum panen sempurna.

Baca juga: Perempuan Dalam Rantai Perdagangan Pala

 

Pohon dan buah pala. Dok: Yayasan INOBU

 

Pentingnya Inovasi

Untuk memaksimalkan hasil pengelolaan pala, sebaiknya para petani harus bertransformasi sebagai satu produksi melalui agribisnis. Proses bermula pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai pemasaran produk yang dihasilkan oleh usaha tani. Tentu saja, hal itu dapat berjalan baik, jika memenuhi syarat sebagai berikut (Siwallete 2017):

Pertama, pemberian insentif kepada para petani pala, yang dapat membantu produktivitas petani, termasuk didalamnya kemudahan perizinan usaha. Kedua, adanya dukungan ketersediaan sarana dan prasarana dari Dinas Pertanian untuk kebutuhan petani pala melalui kelompok.

Ketiga, perlunya koperasi desa sebagai badan usaha yang diharapkan sebagai penyalur sarana produksi, pemasaran, pengolahan hasil, media informasi pasar, dan media penyedia kredit yang mendapat pendampingan dari Dinas Koperasi.

Di samping itu penulis berpendapat bahwa tidak hanya sekedar pemberian bantuan alat, namun petani harus didampingi dengan pelatihan agar segala bantuan yang diberikan dapat dimanfaatkan sesuai dengan asas manfaatnya.

Faktor lain adalah peluang dan daya saing komoditas pala di pasar internasional. Di sini market intelligence diperlukan untuk memastikan agar mutu pala dapat diterima dalam standard internasional, mendapat nilai tambah, dan pada akhirnya meningkatkan devisa.

Untuk itu, pengolahan dan teknologi pasca panen penting diperhatikan agar pala yang akan diekspor tidak lagi hanya dalam bentuk raw material (bahan mentah/baku), namun dalam bentuk produk olahan. Hal ini tentulah menguntungkan para petani lokal.

Kedepannya, wirausahawan muda dapat diajak untuk berkontribusi dalam meningkatakan inovasi produksi. Sebagai contoh dengan produksi mesin pemisah fuli biji pala tipe rotari yang dilakukan oleh Walidan (2021).

Berinovasi untuk menghasilkan beragam olahan berbahan dasar pala dengan kualitas tinggi pun dapat dimasukkan sebagai program kreativitas mahasiswa (PKM). Dengan olahan tertentu, kadar aflatoksin yang tinggi dapat dikurangi, sehingga produk pala bisa lolos standar pasar ekspor dalam negeri maupun luar negeri.

Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, petani, dan wirausahawan muda sangat esensial untuk mengembangkan potensi pala sehingga nilai pala akan terus meningkat serta dapat menyejahterakan masyarakat dan negara.

 

Referensi

Buku Statistika Perkebunan, 2019-2021

Fauziah M. 2013. Ekspor Pala IndonesiaTerganjal Isu Aflatoksin. Jakarta (ID): Republika.

Hadiyanto, Juli, Suminto. 2017. Daya saing produk pala Indonesia di pasar Uni Eropa. Prosiding PPI Standarisasi 2017 Makassar. 85-98.

Lawalata M, Tamaela M, Thenu S. 2017. Kajian pengembangan potensi perkebunan pala Banda di Kecamatan Banda Neira Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Agribisnis Kepulauan.  5(2): 132-150.

Peter KV. 2001. Harbs and Species. Cambridge (GB): woodhead. Publishing limited and CRC press LLC.

Siwalette J (2020). Potensi produksi dan rancangan sistem agribisnis pala di Provinsi Maluku. Universitas Pattimura.

Sundari A. 2016. Analisis kinerja dan pola perdagangan pala Indonesia [skripsi]. Institut Pertanian Bogor.

Triwibowo, K. dan T.A. Falianty. (2018). Analysis of the Implementation of Sanitary and Phytosanitary (SPS) measures in the European Union (EU) on the Export of Indonesian Pepper and Nutmeg. Adi and Achwan (Eds.). Competition and Cooperation in Social and Political Sciences. London: Taylor & Frabcis Group. Pp: 267-280.

Walidan F. 2021. Konsep desain mesin pemisah fuli biji pala tipe rotari [skripsi]. Institut Pertanian Bogor.

 

* Indriani Widya Wati, penulis adalah mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB University. Tertarik dengan komoditas pala dan jalur rempah. Artikel ini adalah opini penulis.

 

 

Exit mobile version