Setiap Bukit di Bangka adalah Wilayah Larangan, Mengapa?

 

  • Hampir setiap bukit atau hutan yang berada di perbukitan di Pulau Bangka, dijadikan wilayah larangan oleh masyarakat lokal di Pulau Bangka.
  • Setiap bukit yang menjadi wilayah larangan ini, bukan hanya diperlakukan oleh Suku Lom, yang menyebar di Kabupaten Bangka, juga Suku Jerieng di Kabupaten Bangka Barat, dan Suku Melayu Muda di Kabupaten Bangka Selatan.
  • Larangan itu sebagai upaya menjaga sumber air dan mencegah longsor, serta sebagai tempat ritual masyarakat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan setelah panen.
  • Sejak masa prasejarah, wilayah tinggi seperti gunung dan bukit, sudah dijadikan wilayah suci. Sebab wilayah ini dipercaya sebagai wilayah asal [awal] atau ilahi.

 

Meskipun tidak memiliki gunung berapi, tapi Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, memiliki puluhan bukit. Gunung Maras yang tingginya 705 meter, merupakan bukit tertinggi di pulau granit ini. Bagaimana hubungan bukit dengan masyarakat Bangka?

“Pada setiap wilayah permukiman Suku Lom dipastikan ada bukit yang menjadi wilayah larangan atau hutan larangan,” kata Toha [68], tokoh masyarakat adat Suku Lom di Dusun Pejem, Kecamatan Belinyu, kepada Mongabay Indonesia, Selasa [08/6/2021].

Bagi masyarakat Suku Lom di Dusun Pejem, ada dua bukit yang disakralkan atau menjadi wilayah larangan, yakni Bukit Pelawan dan Bukit Tabun. “Hutan di bukit tersebut sangat dilarang bagi kami untuk dimasuki,” jelas mantan Ketua Masyarakat Adat Dusun Pejem [1982-2020].

Sementara Suku Lom yang menetap di Dusun Tuing, menjadikan Bukit Tuing sebagai wilayah larangan, yang menetap di Dusun Air Rabik, Bukit Codong sebagai wilayah larangan, serta Bukit Bayur menjadi wilayah larangan bagi masyarakat Suku Lom di Dusun Mapur.

“Sementara Gunung Maras merupakan wilayah larangan bagi semua orang Lom, apalagi jaraknya begitu jauh dari tempat kami,” kata lelaki yang disapa Akik Butun ini.

Baca sebelumnya: Menjaga Suku Lom, Menyelamatkan Pulau Bangka dari Kerusakan Lingkungan

 

Gunung Maras yang dilihat dari Desa Pangkalniur, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mengapa dilarang?

“Sebab jika hutan di bukit tersebut rusak, akan datang bencana, seperti tanah longsor dan banjir. Itu yang saya pahami dari amanah para leluhur kami untuk tidak masuk [dilarang] ke hutan tersebut, sehingga tidak rusak,” katanya.

Toha menjelaskan, hampir semua bukit di sekitar Dusun Pejem menjadi wilayah larangan. “Tapi yang paling dilarang adalah Bukit Tabun,” jelasnya.

Masyarakat Suku Lom sangat sayang pada pohon. Tidak ada bagian dari pohon dibuang. “Makanya, kulit kayu pohon pun kami gunakan untuk dinding rumah,” ujarnya.

“Pohon-pohon yang berfungsi baik sebagai penjaga air, seperti pohon ara [beringin] tidak pernah kami tebang. Selain itu, setelah menebang pohon, kami juga wajib menanam. Makanya, hutan yang sudah kami gunakan untuk berladang, akhirnya menjadi kelekak yakni kebun yang ditumbuhi buahan seperti durian, manggis, dan lainnya,” lanjutnya.

Baca juga: Perairan Tuing yang Dijaga Suku Lom, Kini Terancam Tambang Timah

 

Bukit Penyabung Desa Pelangas, Kabupaten Bangka Barat, menjadi hutan larangan Suku Jerieng. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ali Alfandi [48], tokoh muda masyarakat adat di Dusun Pejem, menjelaskan tidak ada ritual khusus di bukit-bukit larangan tersebut. “Tidak ada ritual, tapi kita tidak berani mengganggu hutan di bukit tersebut. Dilarang pasti ada hal negatif yang perlu dihindar,” ujarnya.

Dusun Pejem berada di pesisir pantai. Mereka hidup sebagai orang bahari. Mereka bukan hanya mencari ikan di laut, juga berkebun dan bertani. Mereka menanam padi [ladang], berkebun lada, dan sebagian mulai berkebun sawit dengan luasan terbatas.

Namun maraknya aktivitas penambangan timah dan perkebunan sawit, membuat banyak ruang hidup Suku Lom terampas atau hilang.

Berdasarkan pemantauan Mongabay Indonesia, di sekitar Dusun Pejem terlihat lahan eks penambangan timah, juga pertambakan udang dan perkebunan sawit.

“Lahan kami untuk berkebun dan bertani ini mulai berkurang,” kata Ali.

Baca: Suku Lom dan Legenda Akek Antak yang Menjaga Perairan Tuing Ratusan Tahun

 

Bukit Nenek dilihat arah Pantai Tudung Akek Antak, Kabupaten Bangka Selatan. Setiap masyarakat melakukan ritual rasa syukur kepada Tuhan setelah panen padi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tentang hutan di bukit yang dilarang untuk dimasuki, juga disampaikan Sukardi [51], tokoh masyarakat Dusun Tuing yang merupakan keturunan Suku Lom. “Semua hutan bukit di Dusun Tuing, mulai Bukit Tuing, Bukit Bumbun, Bukit Kayu Bulan, Bukit Keliding, Bukit Kupak, Bukit Kampan hingga Bukit Payung dilarang dimasuki. Tapi yang paling dilarang Bukit Tuing ini.”

“Masyarakat hanya mengaksesnya untuk kebutuhan seperti obat-obatan. Kami tidak merusak hutan atau menebang pohon, sebab yang diambil hanya kulit, daun, atau sedikit akar,” kata Sukardi.

Pada musim kemarau panjang tahun 1997 atau 1998, terjadi kebakaran di Bukit Tuing. Diperkirakan, akibat ulah para pencuri kayu dari luar dusun. “Semua warga, dari anak-anak hingga orang tua, turun memadamkan api. Bayangkan semua orang bergotong royong mengangkut air dari laut hingga ke atas bukit. Luar biasa cinta dan sayangnya masyarakat di sini dengan Bukit Tuing,” katanya.

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia di sejumlah bukit di Pulau Bangka, selalu ditemukan pohon pelawan, ara, dan bambu. Terjaganya pohon pelawan ini karena adanya madu pelawan yang diyakini memiliki khasiat bagi kesehatan, serta terjaganya pohon ara dan bambu karena fungsinya sebagai pengendali air tanah.

Baca: Jejak Suku Lom, Perlahan Hilang Akibat Tergerus Tambang

 

Lada merupakan tanaman yang dikelola masyarakat Suku Lom di Dusun Pejem. Namun, sebagian warga juga telah menanam sawit, meskipun mereka mencemaskan hutan adat diambil perusahaan sawit. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Bukan hanya Suku Lom

Tidak hanya Suku Lom yang menjadikan hutan di bukit menjadi wilayah larangan. Bagi Suku Jerieng yang sebarannya banyak di Kabupaten Bangka Barat, hutan di Bukit Penyabung di Desa Pelangas, merupakan areal larangan.

Sejumlah warga masih melakukan ritual rasa syukur kepada Tuhan setelah panen [padi] ke bukit yang tingginya sekitar 380 meter tersebut. Hutan di bukit dilarang diakses masyarakat, selain berfungsi sebagai penjaga sumber air, juga sebagai apotek atau sumber obat-obatan dari tanaman di hutannya.

“Jika hutan ini habis, sulit bagi kami mendapatkan bahan obat-obatan,” kata Miya [58], dukun obat dari Desa Pelangas, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, kepada Mongabay Indonesia, beberapa waktu lalu.

 

Empat generasi Suku Lom yang di Kabupaten Bangka mencoba mempertahankan bukit larangan yang terancam ekonomi ekstraktif. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Hutan di lanskap Perbukitan Permisan di Kabupaten Bangka Selatan, juga merupakan wilayah hutan larangan bagi masyarakat. Bukit-bukit itu misalnya Bukit Nenek, Bukit Batu Kepale, Bukit Nangka, Bukit Putus, Bukit Meninjon Muda, Bukit Meninjon Tue, Bukit Mengkubung, Bukit Jering, dan Bukit Cek Antak.

Di Bukit Nenek di Desa Gudang, setiap tahun dilakukan ritual rasa syukur terhadap Tuhan setelah panen. Tradisi ini kemudian dilestarikan dengan tradisi Ketupat Gong, yakni membawa ketupat berukuran besar hingga ke puncak Bukit Nenek yang tingginya sekitar 380 meter.

“Hampir semua hutan di Permisan ini dulunya merupakan hutan larangan. Makanya setiap bukit memiliki legendanya, khususnya terkait legenda Akek Antak,” kata Kulul Sari [50], pegiat budaya dari Desa Gudang, kepada Mongabay Indonesia.

Meskipun dijadikan kawasan larangan, penebangan liar tetap terjadi di Permisan. “Dulu banyak orang dari luar daerah ini melakukan pencurian kayu. Tapi, sejak tiga tahun terakhir, para penebang liar ini hilang. Kami jelas sangat melarang kegiatan tersebut. Semoga benar-benar hilang,” kata Kulul.

 

Hutan di Bukit Penyabung ini merupakan hutan larangan. Hutan ini menjadi sumber obat-obatan. Saat ini dikembangkan sebagai ekowisata. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bukit sebagai wilayah suci

Sigit Eko Prasetyo, arkeolog dari Balar [Balai Arkeologi] Sumatera Selatan, yang wilayah kerjanya meliputi Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Kepulauan Bangka Belitung, menjelaskan wilayah perbukitan, seperti gunung, bukit, atau hulu sungai, sejak masa prasejarah sudah dikenal masyarakat sebagai wilayah suci.

“Wilayah tinggi ini dipahami sebagai daerah asal atau ilahi. Jadi, jika wilayah tinggi atau hulu ini rusak, maka wilayah di bawahnya akan terganggu. Menerima dampak negatifnya. Sehingga wilayah tinggi atau hulu sejak masa prasejarah hingga masa masehi,” katanya.

Oleh karena itu, gunung atau bukit menjadi kiblat dalam ritual-ritual suci. Misalnya, Gunung Dempo di Sumatera Selatan. Hampir semua situs-situs megalitik berorientasi atau menghadap Gunung Dempo.

“Jika memang hampir semua bukit di Pulau Bangka menjadi wilayah larangan [hutan larangan] itu artinya merupakan upaya masyarakat untuk melindungi wilayah tinggi atau hulu yang dipahami sebagai wilayah suci,” katanya.

Pemahaman tersebut dapat saja dimulai dari masa prasejarah maupun masehi. “Jika pemahaman ini dimulai dari masa prasejarah tentunya dilihat dari berbagai bukti megalit, seperti menhir, dolmen, dan lainnya menghadap bukit di Pulau Bangka. Ini butuh penelitian. Selain batuan granit, di wilayah perbukitan di Bangka masih terjaga juga hutannya,” papar Sigit.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,