Mongabay.co.id

Panen Raya Warga Natumingka, Bertahan Jaga Lahan Adat

Masyarakat At Natumingka, tengah panen raya. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Pagi itu, udara terasa dingin membuat sebagian orang enggan untuk keluar rumah. Tidak begitu bagi Masyarakat Adat Natumingka di Kabupaten Toba, Sumatera Utara ini, mereka turun untuk panen raya.

Natal Simanjuntak, Ketua Komunitas Adat Natumingka mengayunkan langkah kaki menuju ladang. Tak berapa perempuan-perempuan adat datang membawa makanan untuk santap bersama di ladang.

Op. Leonardo, tak ketinggalan. Kakek berusia 70 tahun ini begitu bersemangat ke ladang dan panen. Op Leonardo, pada 18 Mei lalu alami luka-luka terkena pukulan sekuriti perusahaan kayu, PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Walau perban masih menempel di dekat pelipis kiri dengan sejumlah jahitan, namun tak menyurutkan langkah opung.

Senyum begitu lepas ketika melihat anak-anak, muda mudi berlarian dan bermain.

Di tengah perjalanan menuju ladang, puluhan pemuda adat duduk dan berjaga mengantisipasi kalau sewaktu-waktu pekerja TPL datang penanaman di tanah adat mereka.

Ketika sesepuh adat Natumingka ini melintas, ramai-ramai para pemuda berteriak memanggil namanya. Dia tersenyum, melambaikan tangan sembari terus berjalan membawa alat pemotong.

Di ladang, ada yang memotong padi, ada yang di kebun panen kopi dan jagung.

Natal bercerita, sejak dulu mereka petani kopi dan jagung. Hasil panen mereka bawa ke kota melalui Barus dan berbagai wilayah di Sumatera Utara.

 

Baca juga: Mempertahankan Lahan dari PT TPL, Warga Adat Natumingka Luka-luka

Natal Simanjuntak, Ketua Komunitas Adat Natumingka Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Sumber ekonomi mereka bergantung sektor pertanian beragam dari padi, jagung, kopi dan lain-lain.

Dari sektor pertanian, mereka menyekolahkan anak-anak adat sampai perguruan tinggi. Ketika lahan adat terancam karena masuk dalam izin konsesi, mereka pun bertekad mempertahankan.

“Hancurlah sumber perekonomian masyarakat adat jika tanah ulayat kami diambil paksa TPL dengan alasan mengantongi konsesi dari pemerintah,” kata Natal.

Dia bilang, komunitas mereka sudah hidup turun menurun di wilayah adat itu hingga kini. Mereka meminta, pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) mengeluarkan wilayah adat dari konsesi TPL.

Pemerintah Kabupaten Toba juga diminta segera verifikasi Masyarakat Adat Natumingka agar ada pengakuan sah hingga tidak lagi diganggu perusahaan.

“Segera keluarkan pengakuan terhadap Masyarakat Adat Natumingka, ” kata Natal.

Kasus dengan TPL, katanya, laporan mereka di Polres Toba, seperti tidak ditanggapi serius hingga naik ke Polda Sumut. Ada empat pekerja TPL mereka laporkan karena diduga menganiaya ketika masuk lahan sengketa.

Harapannya, kepolisian mengusut kasus ini hingga tuntas dan memberikan hukuman berat terhadap para pelaku.

 

Baca juga: Konflik Lahan dan Kerusakan Lingkungan Terus Terjadi dalam Operasi PT TPL


***

Bupati Toba, Poltak Sitorus dan Wakil Bupati Tony Simanjuntak, mendatangi Desa Natumingka. Kapolres Toba, AKBP Akala Fikta Jaya, Kejaksaan Negeri Balige diwakili Kasidatun Hamonangan Sidauruk, Kodim Tarutung, KPH IV Balige, Kapolsek Habinsaran tampak hadir.

Aparatur pemerintah ini mencoba dialog dengan masyarakat adat mencari solusi terkait konflik lahan antara Masyarakat Adat Natumingka dengan TPL.

Pada awal pertemuan bupati memberikan kesempatan kepada warga untuk menyampaikan beberapa hal yang jadi persoalan, seperti menuntut tanah adat kembali.

“Sikap kami tegas seperti disampaikan ketika kedatangan Anda pada 24 Mei lalu. Kami tetap meminta tanah dikembalikan seutuhnya, menolak diberikan kepada TPL dengan alasan apapun,” kata Jusman Simanjuntak, seorang tetua adat.

Jonny Simanjuntak, juru bicara Masyarakat Adat Natumingka mengatakan, ada beberapa tuntutan mereka sampaikan di hadapan Pemerintah Toba, aparat kepolisian dan perwakilan Dinas Kehutanan. Pertama, pengembalian hak tanah adat Natumingka seluas 2.409,70 hektar. Kedua, mereka dapat jaminan keamanan untuk bekerja di wilayah adat.

Ketiga, menindaklanjuti Peraturan Daerah (Perda) No. 1/2020 di Kabupaten Toba yang mengakui dan melindungi masyarakat adat, dengan menjalankan tim verifikasi independen dan indentifikasi masyarakat adat di Toba.

Keempat, menghentikan proses hukum kepada tiga orang adat Natumingka di kepolisian. Kelima, melampirkan sejarah, data sosial dan peta yang membuktikan keberadaann masyarakat adat di Desa Natumingka.

Mendengar penjelasan dan tuntutan itu, Bupati Poltak mengatakan, tuntutan poin keempat, untuk menghentikan proses hukum kepada tiga orang adat Natumingka yang diadukan TPL jadi fokus utama.

Usulan bupati agar masyarakat berdamai dengan TPL melalui pencabutan laporan kedua belah pihak langsung mereka tolak. Mereka bilang, tindakan warga bukan tindak pidana melainkan mempertahankan tanah adat. Apa yang dialami ketiga warga adat itu merupakan kriminalisasi.

Warga meminta, pemerintah fokus pengembalian hak tanah adat seluas 2.409,70 hektar sebagai implementasi Perda No. 1/2020, tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Toba.

Menurut Natal, tim identifikasi harus datang ke desa mereka untuk verifikasi hingga bisa segera memberikan surat keputusan.

 

Aparat berjaga di  wilayah adat Natumingka yang bersengketa dengan PT TPL. Foto: Ayat S Karoakro/ Mongabay Indonesia

 

Bupati kembali menawarkan, agar mereka fokus tuntutan mengenai pemberhentian proses hukum ketiga warga.

Dia berikan tiga tawaran kepada warga. Pertama, mengusulkan permohonan dengan tanah obyek reforma agraria (TORA). Kedua, pengajuan masyarakat adat dengan berpedoman pada Permendagri No. 52/2014 yang berhubungan dengan Perda No.1/2020. Permendagri itu soal pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Ketiga, melalui kerjasama kemitraan perseroan yang bersedia menyediakan bibit, pupuk atau tumpang sari.

Masyarakat tetap memilih pengembalian tanah adat sesuai Perda No. 1/2020.

Kasidatun Kejaksaan Negeri Balige, Hamonangan Sidauruk mengatakan agar kasus segera selesai maka kedua pihak berdamai.

Pandapotan Lumbangaol, dari KPH Wilayah IV Dinas Kehutanan Sumatera Utara mengatakan, mendukung Perda No. 1/2020, sebagaimana program kehutanan mengenai pengakuan hak atas tanah adat.

Sesuai perda itu, KPH berada dalam posisi anggota. Harapan KPH, kejadian seperti ini tidak berkepanjangan dan sama-sama menang.

AKP Nelson JP Sipahutar, Kasat Reskrim Polres Toba bicara hukum. “Kami tetap mengedepankan proses perdamaian, bila tidak lagi memiliki keputusan, akan kami serahkan ke pengadilan.”

AKBP Akala Fikta Jaya, Kapolres Toba bilang, akan bantu mediasi supaya ada kedamaian dan tidak ingin memojokkan atau memihak siapapun.

“Kepolisian ingin melindungi rakyat. Kami harap masyarakat menahan diri, selagi bisa kita bicarakan dengan baik tanpa melanggar aturan-aturan hukum.”

Pada sesi akhir pertemuan Sekretaris Daerah Toba, Audi Murpy Sitorus membacakan beberapa poin kesepakatan antara lain, melaksanakan proses penetapan Masyarakat Adat Natumingka bepedoman pada Perda Toba No.1/2020 dan merujuk pada Permendagri No.52 Tahun 2014. Selama proses, semua pihak menahan diri dan tidak melakukan tindakan melawan hukum.

“Tanah adat ini sumber kehidupan kami. Pemerintah harus mengakui kami dan mengeluarkan tanah adat kami dari konsesi TPL. Kami akan terus mempertahankan sampai kapanpun agar ini tak direbut paksa investor yang tidak berpihak rakyat,” kata Natal.

 

Ladang jagung warga adat Natumingka. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia
Kopi, hasil panen warga adat Natumingka. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

*****

Foto utama: Masyarakat At Natumingka, tengah panen raya. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version