Mongabay.co.id

Orang Tobelo Dalam: Hutan Tergerus, Hidup Dalam Stigma Buruk

 

 

 

 

 

 

Suku Tobelo Dalam, atau biasa dikenal dengan O Hongana Manyawa, dan sebagian orang masih menyebut Togutil. Ini komunitas adat yang mendiami hutan Pulau Halmahera dengan kondisi sangat terancam. Mereka mendapatkan stigma buruk dan terancam atas kehadiran tambang-tambang perusahaan. Stereotip sering muncul pada mereka seperti orang jahat, pembunuh dan banyak cap buruk lain.

Orang Tobelo Dalam yang hidup di dalam dan tak berhubungan dengan dunia luar menambah stigma buruk di masyarakat. Kehidupan mereka kian terdesak kala sungai tercemar, daerah buruan mengecil hingga perebutan ruang kapling hutan dengan masyarakat. Berbagai persoalan ini belum jadi perhatian para pihak. Bergitulah hal yang mengemuka saat pertemuan Komnas HAM bersama peneliti, organisasi masyarakat sipil dan media di Ternate, belum lama ini.

Kehadiran Tim Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM  ke Malut ini sebagai tindak lanjut laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, soal dugaan diskriminasi terhadap Orang Tobelo Dalam. Dalam sejumlah kasus pembunuhan yang terjadi, seolah-olah pelaku diarahkan pada kelompok ini.

AMAN dalam laporan beberapa waktu lalu ke Komnas HAM, menyebutkan, kasus pembunuhan di hutan Halmahera Tengah dan beberapa kasus sebelumnya di Halmahera Timur mengarahkan tudingan pembunuhan ke O Hongana Manyawa.

Bagi AMAN, tindakan ini merupakan perlakuan tak adil masyarakat dan diskriminasi negara.

Tim diketuai Nurjaman, ada juga Arief Rahman Thamrin dan Nina Cahyoini. Selain meminta masukan berbagai pihak juga bertemu polisi dan Pemerintah Halmahera Tengah maupun Maluku Utara.

Pada Maret lalu, terjadi pembunuhan ketika tujuh warga masuk hutan Halmahera Tengah. Dari informasi berkembang, mereka akan mendulang emas di aliran Sungai Goanle, Patani Timur, Halteng.

Kawasan ini adalah bekas operasi perusahaan kayu yang ditengarai ada potensi emas. Warga masuk hutan itu kalau bukan ambil kayu gaharu, pala hutan, atau mendulang emas. Saat itu, sedang ramai pengkaplingan hutan dan dijual ke perusahaan tambang nikel.

Dalam perjalanan ke hutan itu, mereka diserang orang tak dikenal dan tiga orang meninggal dunia.     Mereka yang diserang dan meninggal dunia itu Masani, Yusuf Kader dan Risno. Sedangkan Jahid Hamid, Martawan Abdullah dan Anto Latani dan Kopda Zen Tehuayo, anggota Koramil 1512/02, Kecamatan Patani, lolos dari maut.

Polisi belum bisa membuka tabir di balik peristiwa ini. Dugaan mengarah ke komunitas ini karena warga yang meninggal diserang dengan panah dan parang. Kedua alat ini digunakan masyarakat adat O Hongana Manyawa untuk berburu.

 

Baca juga: Orang Tobelo, Benteng Terakhir Hutan Halmahera

Hutan Halmahera, tempat hidup Orang Tobelo Dalam, yang terus tergerus. antara lain jadi tambang-tambang skala besar. Foto: Opan Jacky

 

Nurjaman bilang, Komnas HAM mengumpulkan informasi, data, dan fakta lebih dulu serta mendatangi Polres Halmahera Tengah untuk memastikan kesimpulan polisi soal pembunuhan di hutan Halmahera itu.

“Apakah betul polisi melakukan proses pemeriksaan sesuai prosedur? Apakah betul ada keterangan saksi itu apa saja? Ada keterangan bukti itu apa saja? Ada petunjuk, petunjuk apa itu dan saksi ahli menerangkan apa?” katanya.

Apabila polisi menyebut tersangka adalah orang Togutil, tanpa merunut prosedur, katanya, sematan atas dugaan pembunuhan itu terdapat unsur diskriminasi. Orang Tobelo Dalam yang disebut jahat, kasar dan suka membunuh itu merupakan stigma bagian dari diskriminasi ras. “Itu sangat berbahaya.”

Komnas HAM meminta, dalam penetapan tersangka perlu dilandasi prinsip-prinsip HAM, apalagi berkaitan dengan konsep masyarakat adat. Dia meminta polisi berhati-hati, terutama dalam memberikan keterangan tanpa disadari memberi bingkai hingga melahirkan stigma.

Kondisi ini, katanya, akan berdampak pada masyarakat adat. “Basis prinsipnya, masyarakat adat itu harus dihormati, konstitusi sudah mengatur dan pemerintah harus memiliki keberpihakan kepada mereka.”

 

Tergusur 

Munadi Kilkoda, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara menjelaskan, komunitas ini selain dapat stigma buruk juga tergusur dari ruang hidup mereka. Akhir 1970-an dan 1980, mereka tergusur karena datang program transmigirasi di Halmahera Timur.

Saat ini, mereka terus terdesak dengan begitu masif industri tambang di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah.

Dalam kehidupan, katanya, mereka sebenarnya jadi benteng bumi dan hutan Halmahera. Mirisnya, mereka terus tergusur dari hutan, rang hidup makin terdesak.

 

Orang Toblo Dalam di Tidore Kepulauan. Foto: Opan Jacky

 

Pada awal 1980 , masuk program transmigrasi dari Jawa menggusur Dusun Raja di Halmahera Timur. Dusun ini pusat pangan dengan hutan sagu.

Dusun Raja,    dengan hamparan hutan sagu sangat luas, jadi kawasan transmigrasi. Komunitas Tobelo Dalam ikut berpindah dan dimukimkan di Dodaga, Rai Tukur-tukur dan Totodoku, lewat program relokasi.

Ada juga program relokasi di Wasile Utara, Wale Ino Iga, Tanjong Lili. Upaya relokasi buat mereka ini tidak sesuai. Rumah yang diberikan tidak biasa mereka gunakan. Atap pakai seng tidak mereka tempati. Mereka buat lagi bivak di sekitar hutan.

Stereotip terhadap Orang Tobelo Dalam makin menyulitkan hidup mereka. “Kita dicuci otak sejak kecil [anggap buruk Orang Tobelo Dalam]. Saya curiga program relokasi itu karna mereka berpikir suku yang jahat hingga perlu dijinakkan,” katanya.

Meski begitu ketika ada kejadian pelaku tetap diarahkan ke O Hongana Manyawa.

Ada dua kelompok Orang Tobelo Dalam, yang menetap dan nomaden. Yang menetap sudah memperoleh seperti sekolah, pelayanan kesehatan dan pelayanan lain   serta tercatat oleh negara. Masuk data kependudukan bahkan dimobilisasi saat agenda politik.

Kelompok tradisional, pola hidup nomaden, tak terpengaruh faktor lain hanya memikirkan masalah makanan. Ada juga nomaden karena faktor kematian. “Jika mereka hidup di satu tempat dan famili meninggal maka mereka berpindah.”

Sekarang ini, industri tambang turut memberi andil mereka jadi nomaden.  O Hongana Manyawa Ake jira di Halmahera Tengah, misal, tergusur karena tambang. Mereka harus pindah ke lokasi lebih aman. Bahkan, kelompok di taman nasional awalnya ikut dilarang berburu. Karena ada negosiasi mereka dapat kelonggaran dengan tidak melibatkan pihak luar tetap pada aktivitas tradisional.

Syafrudin Abdurahman, peneliti O Hongana Manyawa juga dosen Program Studi Antropologi Universitas Khairun Ternate memaparkan, stigma pembunuhan kepada O Hongana Manyawa ini tak berdasar. Pengalamannya,  bertahun-tahun meneliti, tahu tradisi dan kehidupan yang mereka jalankan.

Soal sebutan Togutil, misal, mereka di dalam hutan tidak paham kalau mereka disebut Togutil. Yang mereka tahu orang yang tinggal di hutan atau biasa menyebut diri O Hongana Manyawa.

Ada tiga kategori kelompok. Masih nomaden, sudah menetap dan menetap sementara. Menetap sementara, kata Syafrudin karena mereka tiggal di suatu kawasan, satu atau dua tahun. Kalau ada kejadian luar biasa, seperti kematian atau wabah penyakit kemudian mereka berpindah.

Yang hidup nomaden, katanya, biasa hidup satu dua bulan di satu titik atau kawasan hutan kemudian pindah.

Kelompok ini, juga selalu menerima stereotipe jelek, jahat pembunuh hingga dianggap tuna budaya atau orang tidak berbudaya.

Padahal, katanya, semua manusia yang hidup itu pasti berbudaya. Stigma lain, seperti, sebut Tobelo Dalam sebagai orang jarang mandi temperamen dan hal-hal buruk lain.

Soal stigma sebagai pembunuh, katanya, sebenarnya   mereka membunuh itu karena kejadian luar biasa—ada hal-hal serius— dan   sesama Tobelo Dalam bukan orang luar.

Berkaca kasus pembunuhan pada 2013, kalau orang O Hongana Manyawa yang lakukan, ketika ada petugas masuk mencari pelaku, pasti tidak ada orang di kawasan itu. “Mereka akan lari.”

Saat petugas datang,   malah ada yang minta rokok dan lain-lain. Mereka malah bingung dengan kejadian itu.   “Membunuh itu karena ada kejadian luar biasa. Misal, karena merampas pasangan atau istri   orang atau melanggar janji serta adat dan tradisi. Saling bunuh juga antar kelompok mereka sendiri bukan dengan orang luar,” kata Syafrudin.

Di komunintas ini, seringkali ada persaingan hingga saling serang, salah satu rebutan perempuan atau pelanggaran adat antar kelompok.

Dalam hal alat saling serang yang digunakan berbeda dengan orang luar.  Mereka membuat panah dengan satu mata dan dua mata.

Dalam kasus Bokum dan Nuhu, yang   dipenjara karena kasus pembunuhan di Waci sampai sekarang sulit terbukti pasti mereka pelaku atau bukan.

“Orang luar (O Berera Manyawa) mencurigai mereka. Mereka juga mewaspadai orang luar. Secara interaksi sosial sebenarnya ada tekanan.”

 

Nohu (kiri) dan Bokum, Orang Tobelo Dalam, tanf didakwa membunuh. Foto: AMAN Malut

 

Soal sebaran O Hongana Manyawa, katanya, ada di tiga daerah, Halmahera Tengah, Halmahera Timur dan Tidore Kepulauan. Dari tiga lokasi sebaran terbesar ada di Halmahera Timur dengan 14 titik kawasan, Halteng enam kawasan dan Kota Tidore Kepulauan ada satu titik di Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata.   Mereka pecahan kelompok Akejira di Halmahera Tengah.

Saiful Majid, dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara yang meneliti khusus kelompok O Hongana Manyawa selama empat tahun bilang, terjadi politik penjinakan kepada Orang O Hongana Manyawa. Penjinakan  itu, katanya, karena ada industri pertambangan.

“Itu yang nampak. Soal tambang ini nanti ujung ujungnya negara berbenturan dengan orang O Hongana Manyawa,” katanya.

Dia selalu perangi stigma pada O Hongana Manyawa sebagai pembunuh. “Itu tidak benar.”

Serupa ucapan Syafrudin, dia bilang, antara mereka saling membunuh dan saling menyerang kalau ada tradisi dilanggar. “Mereka juga membunuh karena merampas atau magora istri orang lain. Ini bisa terjadi karena sebaran mereka di Halmahera itu perempuann sangat sedkit. Dari 21 kelompok atau mata rumah, terbanyak di Halmahera Timur dengan 14 mata rumah. Halteng enam dan satu mata rumah di Payahe Kota Tidore Kepulauan.”

Dia sudah menelusuri tempat mereka kecuali di Dote Weda. Saifultak bisa sampai. “Karena istri penunjuk jalan saya, dirampas orang Dote. Banyak contoh orang luar mencari hasil kayu gaharu dan bertemu mereka juga tetapi tidak ada tindakan apapun.”

Di Patani, katanya, ada pala hutan dan saat warga mencari pala tidak ada yang ganggu. Contoh kasus lain, karyawan pengebor eksplorasi tambang di Weda Bay Nikel bertemu mereka tidak pernah dibunuh.   Bahkan dajak bicara bahkan tidur di camp perusahaan.

Begitu juga kalau mereka membunuh jujur mengakui karena sebagai bagian dari kehormatan diri.

Setiap membunuh ada kode fisik. Ada ikatan rambut (konde). “Penunjuk jalan saya saat riset bernama Alekan miliki enam konde di kepala. Itu artinya sudah membunuh enam orang di dalam hutan. Dia mengakui siapa saja dan dimana saja dia bunuh antar sesama kelompok mereka.”

Kalau ada kasus melibatkan O Hongana Manyawa, katanya, karena ada sebab, seperti masalah adat, perempuan atau merampas barang milik mereka.

 

Orang Toblo Dalam. Foto: Opan Jacky

 

Tersisih

Saiful bilang, satu bentuk politik penjinakan itu karena masalah tambang yang menyebabkan ruang hidup mereka di belantara Halmahera makin sempit. Mereka tersisih karena ulah dua perusahaan besar. Yakni PT Weda Bay Nikel yang saat ini sahamnya dibeli PT Indonesia Weda bay Industrial Park (IWIP) dan PT Tekindo.

Dari enam titik rumah atau kelompok O Hongana Manyawa Halmahera Tengah dengan ruang hidup makin terdesak. Mereka dari Kelompok Mein dan Ake Sangaji terkurung perusahaan nikel, PT Tekindo. Terbaru, ada lagi perusahaan nikel asal Rusia PT Position, juga memiliki izin konsesi di Ake Sangaji, akan makin menghabiskan ruang hidup O Hongana Manyawa Ake Sangaji.

IWIP, masuk ke ruang hidup Ohongana Manyawa Tofublewen, Kao Rahae, Ake Jira satu dan Ake Jira Dua. Ruang hidup mereka terekspoitasi, ada beberapa orang direkrut perusahaan masuk sebagai satpam.

Dua perusahaan tambang nikel ini, katanya, sudah mengurung ruang hidup dan ikut merusak badan sungai   yang sebenarnya mengancam kehidupan O Hongana Manyawa.

“Hidup kelompok ini tidak bisa jauh dari sungai. Saat PT Tekindo beroperasi telah menghancurkan sungai-sungai yang menjadi tempat hidup mereka.”

Banyak izin perusahaan masuk dan akan beroperasi di Halmahera Tengah. Hal ini akan membuat mereka makin tersisih,” kataya.

Kelompok ini bisa hidup memperoleh makanan tergantung hutan. Sedang hutan makin mengecil hingga ada yang harus meminta makan ke perusahaan.

“Lima bulan lalu saya di hutan, beretemu saudara di hutan dan mereka menyampaikan, ada orang yang suruh mereka mencari babi dan jual ke PT IWIP. Mereka   lalu bertemu. Itu artiya, orang luar juga berebut makanan mereka,” kata Saiful.

Intinya, meski tersisih oleh perusahaan mereka tidak pernah membunuh orang perusahaan.

Dia juga bilang O Hongana Manyawa menjaga bumi dan hutan Halmahera. Dalam mengelola hutan, saja membagi hutan untuk industri (kongana),   hutan lindung (hongana) dan hutan yang disakralkan (raja maamoko).

Dalam pandangan Ohongana Manyawa hutan itu rumah. Karena itu merawat hutan sama dengan merawat rumah. Di situ sumber makanan, air dan tempat melanjutkan kehidupan turun temurun.

Dalam kosmologi orang Ohongana Manyawa, penghargaan mereka terhadap hutan sungai dan bambu begitu tinggi. Hutan sebagai rumah kehidupan menjadi tempat mencari makanan. Hutan juga tempat hidup dan mati mereka.

Karena itu, katanya, dalam pembagian hutan ada untuk urusan hidup dan mati, ada hutan untuk pangan atau industri, juga hutan lindung dan hutan sakral.

Hutan yang disakralkan itu, kata Saiful karena di hutan jadi tempat roh para leluhur. Di hutan itulah, mayat bersemayan ketika meninggal dunia ditempatkan. Hutan yang disakralkan itu, katanya, juga tidak bisa dimasuki.

Sungai juga sumber hidup Orang Tobelo Dalam. Orang O Hongana Manyawa mengatur tempat tinggal, tetap sementara atau nomaden, selalu memilih daerah dekat sungai sebagai sumber air. Sungai juga tempat penting proses melahirkan turunan ayau bersalin.

Kosmologi O Hongana Manyawa juga sangat menghargai hutan bambu simbol alat   kehidupan. Bambu, katanya, adalah bahan penting alat makan, masak dan papan. Bambu juga untuk membagun rumah. Karena itu, O Hongana Manyawa begitu menghargai bambu air.

“Ketika ekstraksi tambang masuk tiga sumber kehidupan  mereka ini ikut dirusak, hutan digusur sungai dirusak, bambu juga tergusur. Sama artinya, membunuh kehidupan mereka tidak langsung.”

O Hongana Manyawa juga tidak mengenal kepala suku atau kepala adat. Yang ada, adalah orang yang dituakan atau dihormati dikenal dengan dimono. Karena tidak ada ketua adat, kekuatan mempertahankan hutan lemah. Ketika masuk orang luar atau korporasi menggusur, mereka tidak berlawan dan lebih memilih berpindah atau menghindar.

****

Foto utama: Orang Tobelo Dalam di Ake Jira, di dalam bivaknya. Foto: AMAN Malut

Exit mobile version