Mongabay.co.id

Apakah Menanam Pohon Memang Bermanfaat bagi Kelestarian Bumi? [Bagian 1]

 

 

Manusia telah menanam pohon untuk merimbunkan kembali hutan sejak waktu sangat lama.

Pada abad ke-16, misalnya, konglomerat tanah di Inggris dan Eropa mendirikan perkebunan pohon untuk memasok kayu untuk pembuatan kapal. Pada abad ke-13, Raja Portugal Afonso III menanam hutan pinus, yang dikenal sebagai Pinhal do Rei, untuk menahan perambahan bukit pasir [dan menyediakan kayu untuk angkatan laut kerajaan]. Pada abad ke-5, para biksu di pantai Adriatik dilaporkan menanam hutan pinus untuk memasok diri mereka sendiri dengan kayu bakar dan makanan.

Bahkan, sebelum hutan ini mulai berakar, senator dan sejarawan Romawi Cato the Elder, meninggal pada 149 SM, menanam tumbuhan runjung untuk pasokan kayu bagi kapal. Sebelumnya, Kekaisaran Zhou, yang memerintah Tiongkok dari 1100 SM sampai 256 SM, menyediakan jasa pengelolaan hutan yang secara khusus didedikasikan untuk melestarikan hutan alam dan penanaman kembali hutan yang ditebang. Terdapat bukti, penanaman yang dilakukan oleh masyarakat adat, sebelum hadirnya permukim dari Eropa yang memengaruhi komposisi Hutan Hujan Amazon yang kita kenal sekarang, jauh lebih banyak dari yang disadari para peneliti sebelumnya.

Ini adalah contoh awal penanaman pohon yang bertujuan sebagai layanan atau produk. Penanaman pohon merupakan cara untuk menggantikan fungsi hutan asli, sebagai usaha yang jauh lebih baik. “Reforestasi dalam hal restorasi ekologis, yaitu membangun kembali hutan yang serupa dengan keadaan ekologis sebelumnya, adalah tujuan yang relatif baru bagi masyarakat Barat,” Kate Hardwick, ilmuwan konservasi di Royal Botanical Gardens, Kew, mengatakan pada Mongabay, “Meskipun telah dipraktikkan oleh komunitas adat selama ribuan tahun.”

Dalam 20 tahun terakhir, kami hanya sedikit mengetahui tentang cara membudidayakan sebagian besar spesies pohon dalam skala besar, menurut Robin Chazdon, profesor riset restorasi hutan tropis di University of the Sunshine Coast Australia. Beberapa negara, seperti Brazil, telah “membuat langkah besar” mengenai cara mengumpulkan jutaan benih asli, menyimpan, dan menanamnya dengan perkembangan akar yang cukup setelah ditanam. Sementara yang lain, menurutnya, masih tertinggal.

 

Pembibitan di Concepción Chiquirichapa, Guatemala. Kota ini menanam pohon untuk program reforestasi di Gunung Siete Orejas. Foto ini diambil tahun 2018. Foto: Jorge Rodríguez untuk Mongabay

 

Saat ini, ketika dunia mencari solusi untuk perubahan iklim global, kegiatan penanaman pohon menjadi lebih populer dari sebelumnya. Ini adalah tanggapan sederhana sekaligus tantangan: siapa pun dapat keluar dan menanam pohon untuk membantu memulihkan keseimbangan iklim Bumi. Tetapi, untuk banyak inisiatif penanaman pohon skala besar, fokusnya adalah pada jumlah pohon baru yang berakhir di tanah. Bukan pada penanaman yang tepat di tempat yang tepat, atau merawatnya untuk memastikan hidup.

Meskipun mitigasi perubahan iklim merupakan pendorong utama dari banyak inisiatif menanam pohon, proyek-proyek ini pun memiliki tujuan lingkungan lainnya, seperti mengatur siklus air, menghentikan erosi tanah dan degradasi kekeringan, dan untuk memulihkan habitat satwa liar. Sementara tujuan sosial ekonominya adalah mengentaskan kemiskinan, serta meningkatkan kesehatan dan mata pencaharian masyarakat lokal.

Tetapi seberapa efektifkah upaya menanam pohon dalam mencapai semua ini? Untuk mengetahuinya, Mongabay melibatkan tim peneliti yang melakukan tinjauan non-exhaustive terhadap literatur ilmiah yang relevan. Kami merinci hasilnya dengan berbagai temuan data yang ada.

Namun, sebelum melihat hasil studi, perlu dijelaskan kembali apa yang kami maksud dengan reforestasi. Beberapa proyek reforestasi bertujuan untuk memulihkan ekosistem hutan yang sebelumnya sudah ada atau rusak, biasanya berfokus pada penanaman spesies asli, atau memfasilitasi pertumbuhan kembali hutan secara alami -kegiatan yang termasuk dalam istilah restorasi hutan.

Reforestasi tidak serta merta mengarah pada restorasi hutan. Misalnya, menanam tanaman monokultur dari spesies non-asli. Kadang, reforestasi menanam campuran spesies asli dan non-asli untuk mendorong pemulihan ekosistem dan menyediakan kayu atau hasil hutan lainnya yang dapat meningkatkan ekonomi lokal, serta mengurangi tekanan penebangan di hutan asli. Jadi, reforestasi dan restorasi hutan adalah istilah yang terkait erat, tetapi definisi tepatnya masih berkembang dan bergeser, bergantung pada siapa yang menggunakannya dan dalam konteks apa.

Kami mendefinisikan reforestasi sebagai penanaman pohon untuk mengisi kembali hutan yang habis atau ditebang habis, terlepas apakah lanskap yang dihasilkan adalah perkebunan monokultur atau ekosistem hutan dengan keanekaragaman hayati. Sebaliknya, kami mendefinisikan restorasi hutan sebagai upaya aktif untuk mengembalikan suatu area ke keadaan hutan alami sebelumnya; prioritasnya adalah pemulihan ekosistem hutan, bukan hanya tutupan pohon.

Dalam basis data temuan kami, kami hanya memasukkan penelitian yang mengevaluasi keefektifan proyek yang mencakup penanaman pohon, meskipun mungkin juga telah menggunakan tindakan restorasi hutan lainnya, seperti membersihkan spesies invasif atau memulihkan tanah yang terdegradasi.

 

Penanaman pohon yang penting dilakukan di sekitar tambang batubara di Kalimantan, Indonesia. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Reforestasi adalah tren baru di dunia kita yang semakin memanas

Reforestasi semakin populer, dengan semakin dikenalnya banyak krisis lingkungan yang kita hadapi. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendeklarasikan sejak 2021 hingga 2030 sebagai Dekade Restorasi Ekosistem PBB [U.N. Decade on Ecosystem Restoration].

Contoh paling awal reforestasi moderen adalah Gerakan Sabuk Hijau, didirikan oleh pemenang Penghargaan Nobel Perdamaian 2004, Wangari Maathai di Kenya pada 1977. Gerakan tersebut sekarang telah menanam lebih dari 50 juta pohon untuk membantu memulihkan lingkungan dan mengentaskan kemiskinan. Proyek-proyek seperti Tembok Hijau Besar di 20 negara di Sahel Afrika dan Program Hutan Penampungan Tiga Utara di Tiongkok utara [kadang dikenal sebagai Tembok Hijau Besar Tiongkok] telah menanam ratusan juta pohon selama beberapa dekade terakhir sebagai benteng melawan kekeringan.

Sementara itu, kampanye besar-besaran yang dipimpin oleh LSM terkenal seperti Trillion Tree Campaign, 1t.org, Trees for the Future, One Tree Planted, dan Plant a Billion Trees telah berkembang, sebagian besar menargetkan penyerapan karbon untuk mengurangi pemanasan global dan manfaat lingkungan. Dan perusahaan seperti raksasa teknologi Microsoft dan perusahaan minyak Italia, Eni, juga menanam pohon untuk offset emisi gas rumah kaca mereka.

Berbagai institusi di seluruh dunia berkomitmen untuk memulihkan hutan dan ekosistem alami lainnya di bawah naungan berbagai perjanjian internasional. The Bonn Challange, misalnya, diluncurkan 2011 oleh Pemerintah Jerman dan IUCN, telah mencatat janji dari pemerintah dan LSM di 60 negara untuk merestorasi 210 juta hektar [hampir 520 juta hektar] tanah, dengan tujuan akhir memulihkan 350 juta hektar [865 juta acre] pada 2030. Reforestasi dan restorasi hutan juga menjadi rencana banyak negara untuk memenuhi target pengurangan emisi yang mereka janjikan dalam meratifikasi perjanjian iklim Paris.

 


 

Ledakan inisiasi penanaman pohon telah didukung penelitian, seperti sebuah studi tahun 2019 yang memperkirakan ada ruang untuk menanam 900 juta hektar [2,2 miliar acre] dengan pohon di area di seluruh dunia yang secara alami cocok untuk mendukung hutan dan perhutanan. Studi tersebut menemukan, bahwa menanam hutan baru in dapat menyimpan sebanyak 205 miliar metrik ton karbon, sekitar 25% dari karbon aktivitas manusia yang telah dilepaskan ke atmosfer hingga saat ini. “Hal ini menyoroti restorasi pohon global sebagai salah satu solusi penyerapan karbon paling efektif hingga saat ini,” terang laporan tersebut.

Meskipun menanam pohon tampaknya memiliki manfaat yang jelas, tanpa perlu memitigasi keuntungannya, namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Faktanya, studi tersebut mendapat banyak kritik, antara lain, mengabaikan kondisi lokal di banyak kawasan yang diidentifikasi layak untuk restorasi. Ada sejumlah faktor kompleks yang harus dipertimbangkan untuk menentukan di mana, kapan, dan jenis penanaman pohon apa yang diperbolehkan.

“Saat ini proyek reforestasi pada dasarnya hanya mementingkan jumlah pohon yang ditanam. Seakan hanya itulah tujuan akhirnya,” kata Pedro Brancalion, seorang profesor di Universitas São Paulo yang merupakan peneliti dan praktisi restorasi hutan, mengatakan kepada Mongabay. “Tetapi, jumlah pohon yang Anda tanam hanyalah awal dari sebuah proses jangka panjang.”

 

Para perempuan tampak merawat bibit pohon di Kenya. Foto: Green Belt Movement

 

Proyek reforestasi dapat gagal mencapai hasil yang diinginkan jika tidak direncanakan dengan baik. Sebuah studi tahun 2017 tentang inisiatif restorasi hutan bakau di Sri Lanka menemukan bahwa, 9 dari 23 lokasi proyek, tidak ada satu pohon pun yang bertahan. Hanya tiga lokasi yang memiliki lebih dari setengah pohon yang bertahan hidup dan, pada akhirnya, hanya sekitar seperlima dari lebih dari 1.000 hektar [hampir 2.500 hektar] yang ditanam berhasil dipulihkan sebagai ekosistem mangrove sehat.

Ada juga kasus-kasus penanaman pohon yang memiliki konsekuensi lingkungan yang tidak diinginkan, bahkan negatif. Mulai abad ke-19, Afrika Selatan menanam akasia non-asli dari Australia untuk menstabilkan bukit pasir dan menghasilkan kayu. Tapi, akasia dengan cepat menyebar ke petak luas padang rumput dan padang rumput asli Afrika Selatan, sehingga menurunkan permukaan air dan mengurangi ketersediaan air. Negara itu sekarang menghabiskan jutaan dolar setiap tahun untuk menebang pohon-pohon bermasalah. “Itu adalah contoh nyata, spesies eksotik yang digunakan di perkebunan monokultur menjadi lepas kendali, menjadi invasif, dan menyebabkan masalah,” kata Kate Hardwick.

Program reforestasi juga dapat berdampak negatif pada mata pencaharian masyarakat. Program “10 Miliar Pohon Tsunami” Pakistan dilaporkan menyebabkan penyewa diusir dari tanah sewa mereka oleh pemilik tanah yang ingin membangun perkebunan untuk pohon, dan juga ada kehilangan lebih dari $3 juta karena korupsi.

Kita bisa belajar banyak dari masalah seperti ini, tetapi analisis ilmiahnya masih jarang. Kami pada akhirnya tidak memiliki cara untuk mengetahui berapa banyak proyek reforestasi yang gagal secara langsung.

“Menurut saya, kesenjangan pengetahuan utamanya adalah kita tidak mengetahui tingkat keberhasilan proyek restorasi, karena biasanya orang hanya melaporkan hasil dan memiliki data tentang proyek yang berhasil,” kata Brancalion. Sumber daya yang digunakan untuk menanam pohon yang salah di tempat yang salah akan terbuang percuma dan akan lebih baik digunakan untuk intervensi berbeda, tambahnya. [Bersambung]

 

Penanaman pohon di distrik Ankazobe, Madagaskar, pada 19 Januari 2020, sebagai bagian dari kampanye penanaman pohon nasional negara tersebut. Madagaskar kehilangan sekitar seperlima tutupan pohonnya antara 2001 dan 2018. Foto: Valisoa Rasolofomboahangy/ Mongabay

 

 

Exit mobile version