Mongabay.co.id

Apakah Menanam Pohon Memang Bermanfaat bagi Kelestarian Bumi? [Bagian 2]

 

 

Baca sebelumnya: Apakah Menanam Pohon Memang Bermanfaat bagi Kelestarian Bumi? [Bagian 1]

**

 

Nilai pembelajaran dari proyek mega-reforestasi

Menanggapi serangkaian bencana banjir akhir 1990-an yang menewaskan lebih dari 4.000 jiwa, Pemerintah China memulai upaya penanaman pohon terluas di dunia. Program Grain for Green [GFGP] diluncurkan tahun 1999 dengan tujuan utama mengurangi banjir, mengurangi erosi tanah, dan meningkatkan mata pencaharian masyarakat miskin pedesaan di China bagian barat. Dengan menggunakan skema pembayaran untuk jasa pengembalian ekosistem, pemerintah memberikan dukungan teknis, uang tunai dan makanan kepada rumah tangga sebagai imbalan untuk menanam pohon di area lahan pertanian yang terdegradasi. Terutama, yang paling rentan terhadap tanah longsor dan erosi.

Dari tujuan utamanya untuk mengurangi erosi dan limpasan air, GFGP dikatakan berhasil. Pada 2019, biaya proyek sekitar $73 miliar dan pesertanya telah menanam pohon di lahan pertanian seluas 32 juta hektar [79 juta acre], juga semak belukar tandus. Saat ini, lebih dari 23% daratan China tertutup pepohonan, naik dari 19% tahun 2000.

Sebuah studi tahun 2012 menemukan bahwa “limpasan air menurun dan erosi tanah menurun signifikan karena peningkatan area lahan hutan yang dikonversi menjadi lahan pertanian”. Banyak pohon menyediakan kayu, buah, dan hasil hutan lainnya, meningkatkan mata pencaharian masyarakat lokal. Sementara, tujuan untuk mitigasi perubahan iklim global yang bukan merupakan target utama program, berdasarkan penelitian menunjukkan, GFGP “meningkatkan sebagian besar” cadangan karbon organik tanah.

Namun secara keseluruhan, hasil dari upaya reforestasi yang ambisius ini jelas bercampur, bahkan memicu pernyataan bahwa “hutan” baru China sebenarnya bukanlah hutan sama sekali. Sebuah studi tahun 2018 yang dipimpin oleh Fangyuan Hua dari Universitas Beijing ketika dia berada di Universitas Cambridge di Inggris menetapkan bahwa, pada 2015, tutupan pohon bruto telah tumbuh hampir sepertiganya, dengan 1.935 kilometer persegi [747 mil persegi] baru ditanam.

Namun, peningkatan itu hampir seluruhnya disebabkan oleh lahan pertanian terdegradasi yang diubah menjadi perkebunan monokultur dari satu spesies tunggal seperti bambu, kayu putih, atau pohon cedar Jepang.

 

Tiga jenis monokultur umum yang ditanam dalam program reforestasi Grain for Green China, lahan pertanian miring [area utama yang ditargetkan untuk restorasi] dan hutan asli. Foto: Fangyuan Hua/Desain oleh Gwyneth Olson

 

Terlepas dari semua penanaman pohon, Hua dan timnya menemukan bahwa hutan asli telah menurun 6,6%, atau sekitar 138 km persegi, pada saat yang bersamaan. “Jadi, alih-alih memulihkan lanskap hutan dan menghasilkan manfaat lingkungan bersamaan, pemulihan hutan yang terlihat di kawasan ini telah secara efektif menggusur hutan asli. Termasuk, hutan yang secara alami dapat beregenerasi di lahan yang dibebaskan dari pertanian,” Hua dan kolega menjelaskan dalam studi mereka.

Hua mengatakan pada Mongabay, hilangnya hutan asli setidaknya sebagian disebabkan oleh orang-orang yang mengeksploitasi celah dalam peraturan kehutanan China untuk membuka jalan bagi perkebunan. Dia menambahkan, Pemerintah China memperbaiki situasi setelah Greenpeace Asia Timur menunjukkan bahwa orang telah secara ilegal menebangi 1.295 hektar [3.200 acre] hutan alam di dalam suaka raksasa utama untuk panda.

Perkebunan pohon, tentu saja, tidak dapat dibandingkan dengan hutan asli dalam hal kapasitasnya untuk mendukung kehidupan liar seperti panda dan untuk menyediakan jasa ekologis lainnya. Beberapa hutan GFGP adalah apa yang oleh para peneliti disebut sebagai “hutan campuran dengan komposisi sederhana” yang berisi dua hingga lima spesies pohon, dan ini mengalami sedikit peningkatan dalam jumlah spesies burung dan lebah dibandingkan dengan lahan pertanian yang mereka gantikan, menurut sebuah studi tahun 2016 yang Hua juga pimpin.

Sebaliknya, monokultur, yang mencakup sebagian besar hutan GFGP, menampung lebih sedikit spesies burung dan lebah daripada lahan pertanian. Baik monokultur maupun spesies campuran yang dijadikan hutan kembali, memiliki keanekaragaman lebah yang lebih rendah daripada lahan pertanian, para peneliti menemukan, mungkin karena kurangnya bunga. Dan tidak ada jenis hutan GFGP yang memiliki keanekaragaman hayati yang mendekati hutan asli.

“Sejauh ini argumennya adalah perkebunan efektif dalam menahan erosi tanah, dan menurut saya sebagian besar penelitian menunjukkan hal tersebut,” kata Hua kepada Mongabay. “Tetapi studi ini cenderung tidak mengevaluasi kinerja erosi tanah jika dibandingkan dengan tolok ukur referensi yang tepat, seperti hutan asli, yang selama ini kami pikirkan sebagai pakar dari keanekaragaman hayati.”

Kurangnya keanekaragaman hayati bukan satu-satunya kelemahan GFGP China pada lingkungan. Para peneliti menemukan bahwa banyak spesies pohon non-asli yang ditanam membutuhkan lebih banyak air daripada vegetasi asli. Artinya, hutan GFGP menyedot lebih banyak curah hujan dan mengurangi jumlah limpasan ke sungai. Hal ini tentu saja, merupakan hasil yang diinginkan dari program tersebut.

Tetapi karena pemanasan global menyebabkan iklim yang semakin kering, kekurangan air, ironisnya, dapat menjadi masalah di wilayah yang mengalami banjir dahsyat tahun 1998. Studi lain bahkan secara eksplisit memperingatkan agar GFGP tidak dilanjutkan karena alasan ini.

Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, terutama anggota masyarakat lokal, menjadi salah satu titik terang dalam rancangan program ini. Terdapat bukti bahwa program tersebut meningkatkan pendapatan, meskipun manfaat tersebut tampaknya tidak selalu didistribusikan secara merata. Di beberapa wilayah, rumah tangga yang lebih kaya ditemukan memiliki akses lebih besar ke program tersebut daripada rumah tangga miskin.

Para peneliti mengatakan, perubahan sederhana seperti mempromosikan hutan campuran dibanding monokultur dapat meningkatkan hasil keanekaragaman hayati, tanpa merusak pencapaiannya.

 

Petak-petak perkebunan yang telah dibuka secara bergantian dengan menanam akasia komersil di sebelah waduk di Provinsi Thua Thien-Hue, Vietnam. Foto: Michael Tatarski

 

Cara menanam hutan: Kuncinya pada konteks

Para ahli umumnya sepakat bahwa langkah pertama merestorasi hutan adalah memastikan bahwa penyebab utama kerusakan hutan di wilayah tersebut [dan idealnya di sekitar hutan], telah berhenti. Ini tidak selalu mudah dilakukan. Robin Chazdon dan rekannya menunjukkan dalam studi tahun 2020, banyak hutan yang ditanam kembali atau tumbuh alami tidak memiliki perlindungan hukum.

Namun, selain melindungi waktu dan uang yang diinvestasikan dalam sebuah proyek, ada insentif ekologis yang kuat untuk melakukannya: “Semua hutan baru akan membutuhkan bantuan, seperti bantuan biologis, bagi sisa-sisa hutan, dan kita harus yakin bahwa sisa-sisa ini akan berada dalam situasi yang baik untuk berkontribusi pada pemulihan,” kata Brancalion.

Langkah selanjutnya yaitu melibatkan semua pemangku kepentingan untuk bekerja sama, dan yang paling penting masyarakat lokal yang harus hidup dengan hutan yang dipulihkan, untuk menentukan hasil yang diinginkan dari proyek dan pendekatan terbaik demi mencapai tujuan tersebut.

Salah satu keputusan penting yang harus diambil adalah perlu tidaknya tindakan aktif seperti penanaman pohon, karena dalam kondisi tertentu hanya melindungi lahan dan membiarkan hutan tumbuh kembali dengan sendirinya, yang disebut regenerasi hutan alami, bisa menjadi cara yang termurah dan solusi paling efektif. Keputusan lain juga termasuk siapa yang akan merawat hutan yang dipulihkan dan siapa yang akan memiliki akses ke manfaat yang dihasilkan.

Jika penanaman pohon akan dilakukan, Brancalion mengatakan bahwa untuk mendapatkan manfaat yang diinginkan dari sebuah proyek, Anda harus memastikan menanam pohon yang tepat di tempat yang tepat. Pohon yang tidak cocok dengan iklim lokal, misalnya, akan berumur pendek, dan pohon yang membutuhkan terlalu banyak air dapat menguras permukaan air, seperti di Afrika Selatan.

“Jika Anda menanam pohon invasif, Anda akan dapat menyerap karbon, tetapi Anda dapat merusak keanekaragaman hayati,” kata Brancalion. “Jika Anda menanam pohon di tempat yang salah, Anda dapat menggeser produksi pertanian, Anda dapat menciptakan masalah ekonomi bagi pemilik tanah lokal. Anda dapat menghancurkan keanekaragaman hayati asli saat Anda menanam pohon di ekosistem non-hutan.”

 

Penanaman bibit asli untuk memulihkan hutan di bekas padang rumput untuk domba di Victoria, Australia, pada Agustus 2018. Foto: Greenfleet Australia via Flickr [CC BY-NC-ND 2.0]

 

Brancalion mengatakan, proses negosiasi mungkin adalah aspek paling diabaikan. “Sebelum menanam pohon apa pun atau melakukan intervensi lapangan, Anda harus bernegosiasi, untuk melibatkan pihak lain, memahami apa yang mungkin atau tidak berhasil di lokasi tertentu,” katanya.

Reforestasi adalah “aktivitas yang bergantung pada konteks” dan tidak ada pendekatan tunggal yang cocok untuk semua area. Brancalion berkata: “Dalam satu kondisi tertentu, menanam beberapa spesies eksotik dengan beberapa spesies asli untuk mendukung produksi kayu bakar di sebuah desa bisa menjadi proyek yang sangat sukses, meskipun Anda mungkin tidak akan dapat memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Hal itu tergantung pada tujuan akhir Anda.”

Sebagai contoh, reforestasi dalam konteks spesifik yang berhasil, Brancalion mengutip proyek yang dia kontribusikan dalam program Black Lion Tamarin Conservation program, yang dipimpin para peneliti di Institute for Ecological Research [IPÊ]. Singa Hitam Tamarin [Leontopithecus chrysopygus] terdaftar sebagai spesies terancam punah [Kritis] dalam Daftar Merah IUCN pada 1970-an.

Populasinya menyusut, hanya 100 individu karena fragmentasi dari satu-satunya habitat yang diketahui di Hutan Atlantik Brasil akibat aktivitas pertanian besar-besaran. Setelah program konservasi memulihkan koridor hutan seluas 1.000 hektar [2.500 acre] antara dua sisa koridor penting Hutan Atlantik dilakukan, populasi Singa Hitam Tamarin pulih kembali menjadi sekitar 1.800 individu, dan IUCN meningkatkan status konservasi spesies tersebut menjadi “Genting” tahun 2008.

Menurut IPÊ, program tersebut melibatkan ribuan anggota masyarakat pedesaan dan keluarga nomaden yang baru-baru ini menetap di daerah tersebut. Para peneliti telah menemukan, tidak hanya keterlibatan penduduk setempat yang penting bagi keberhasilan program, tetapi masyarakat juga mendapat manfaat dari program ini seperti halnya satwa liar.

Sebuah studi tahun 2020 menunjukkan, dengan menanam pohon serta berpartisipasi dalam kegiatan terkait konservasi lainnya, “Para petani memperoleh pengetahuan, pendapatan, dan ketahanan pangan, serta mengembangkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama untuk melindungi satwa liar, melestarikan fragmen hutan, dan memulihkan hutan.”

Fakta bahwa keterlibatan dan dukungan masyarakat untuk mata pencaharian lokal dimasukkan ke dalam rencana program Black Lion Tamarin Conservation program adalah kunci keberhasilannya. Kembali lagi, jika proses perencanaan yang salah terus dilanjutkan, “Tidak peduli berapa banyak pohon yang Anda tanam, karena kebanyakan dari mereka akan mati, dan dalam beberapa kasus jika mereka bertahan, mereka dapat melakukan lebih banyak mengakibatkan kerusakan daripada keuntungan,” kata Brancalion.

 

Black lion tamarin di sisa hutan di Teodoro Sampaio, Negara Bagian São Paulo, Brasil, pada tahun 2014. Foto: Miguelrangeljr via Wikimedia Commons [CC BY-SA 4.0]

 

Ilmu pengetahuan tentang hasil penanaman pohon

Mongabay meluncurkan seri Efektivitas Konservasi [Conservation Effectiveness series] tahun 2017, berupa mengumpulkan bukti ilmiah tentang seberapa baik berbagai strategi umum yang benar-benar bekerja. Termasuk, kawasan lindung darat dan laut, sertifikasi hutan, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, dan pembayaran untuk jasa ekosistem [ ConservationEffectiveness.org].

Dalam database Reforestasi dan Restorasi Hutan, kami mengumpulkan temuan ilmiah tentang efektivitas proyek yang mencakup setidaknya beberapa penanaman pohon. Kami mengecualikan studi yang berfokus pada tindakan silvikultur, seperti penipisan pohon dan penebangan liana, bahkan jika hal itu dapat mempercepat regenerasi hutan.

Demikian pula, kami mengecualikan studi yang berfokus pada rehabilitasi hutan atau wanatani [penanaman pohon bersama tanaman pangan], dan studi yang berfokus pada regenerasi alami, karena banyak studi proyek penanaman pohon menggunakan regenerasi alami sebagai kontrol.

Kami menggunakan pendekatan dari banyak sumber untuk mengumpulkan temuan ilmiah yang telah dipublikasikan dan telah ditinjau sejawat [peer-review] untuk disertakan. Untuk memulai basis data, beberapa ilmuwan menambahkan temuan sesuai dengan teknik snowball mereka sendiri, mereka akan membaca publikasi yang relevan dan mengikuti referensi di dalamnya untuk menemukan publikasi yang lebih relevan.

Kami juga meminta satu kelas mahasiswa sarjana di University of Wisconsin – Madison menambahkan satu publikasi masing-masing sebagai tugas untuk kursus “Hutan Dunia” mereka. Seorang editor memeriksa apakah peneliti atau siswa telah menambahkan temuan sesuai dengan standar Efektivitas Konservasi. Pendekatan ini memang tidak lengkap, tetapi sejauh ini menghasilkan 66 studi, dengan variabel berskala dan teliti. Tim peneliti kami memeriksa untuk menentukan seberapa efektif proyek reforestasi memberikan berbagai hasil lingkungan dan sosial ekonomi.

Kami telah membuka database reforestasi dan restorasi hutan, serta strategi lain di platform ini, sehingga siapa pun dapat menyumbangkan penelitian tambahan, dengan mengikuti proses editorial yang serupa.

 

Tahapan dari proyek penanaman pohon di Provinsi Lampang, Thailand. Foto: Siam Cement Group dan SE via RBG Kew

 

Ada beberapa peringatan penting yang perlu diperhatikan tentang badan penelitian reforestasi yang ada. Salah satunya adalah proyek yang gagal, jarang dilaporkan atau dipublikasikan; yang lainnya adalah bahwa bahkan bukti keberhasilan mungkin tidak dilaporkan, jika proyek itu sendiri tidak menyertakan standar pemantauan dan pelaporan yang kuat.

Akhirnya, banyak proyek yang dipimpin oleh pemerintah, LSM dan perusahaan tidak berkewajiban untuk melaporkan hasil mereka kepada siapa pun kecuali orang atau badan yang mendanai mereka.

Hasilnya adalah banyak upaya reforestasi yang tidak diperiksa dalam studi peer-review dan oleh karena itu tinjauan literatur kami kemungkinan besar melewatkan pelajaran yang dapat dipetik dari program-program tersebut.

Peringatan penting lainnya adalah bahwa, hutan yang berhasil dipulihkan dapat membutuhkan waktu puluhan tahun atau lebih untuk memberikan manfaat seperti hutan tua alami. Artinya, manfaat dari inisiatif reforestasi yang lebih baru mungkin belum sepenuhnya terwujud, sehingga tidak akan tercermin dalam studi saat ini.

[Terlebih lagi, kita mungkin tidak pernah mengetahui apakah hal itu benar-benar terwujud, atau bahkan jika hutan baru dapat bertahan lebih dari beberapa tahun, karena pendanaan untuk proyek reforestasi jarang digunakan untuk perawatan atau pemantauan jangka panjang].

Terakhir, perubahan atribut studi pada penanaman pohon memiliki arti yang berbeda, tergantung pada apakah lokasi regenerasi merupakan alami, padang rumput, atau hutan dewasa berfungsi sebagai kontrol untuk perbandingan.

Baca lebih lanjut tentang metodologi kami di sini: Anda juga dapat mengakses semua 66 studi yang kami ulas di sini, serta studi lainnya yang telah ditambahkan sejak kami menerbitkan cerita ini. [Selesai]

 


 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Is planting trees as good for the Earth as everyone says? Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

 

Exit mobile version