Mongabay.co.id

Cerita Aeshnina, ‘Duta’ Anti Sampah Plastik dari Gresik

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

 

 

 

 

Namanya Aeshnina Azzahra Aqilani. Sejak kecil, gadis 13 tahun ini sudah dekat dan memahami isu-isu lingkungan hidup, seperti persoalan sampah.

“Ini dari orangtua saya. Mereka yang mendidik saya untuk lebih peduli lingkungan,” kata Nina, sapaan akrabnya. Siswi kelas 8 sekolah menengah pertama di Gresik ini adalah putri ketiga pasangan aktivis lingkungan, Prigi Arisandi dan Ndaru Setyorini.

Sejak kecil, dia sering diajak kedua orangtuanya melihat sungai, memasuki hutan, hingga ke pantai. Ketika berunjuk rasa pun, Nina ikut dalam gendongan orangtuanya.

Nina juga sejak kecil membiasakan diri tak gunakan plastik sekali pakai. Ke mana-mana, selalu membawa wadah makanan atau minuman dari rumah. Di sekolah, kalau air di botol habis, cukup mengisi di kantin.

Pada awal 2019, dia diajak ke sebuah desa di Mojokerto. Kebetulan, sungai di desa itu tercemar limbah kertas perusahaan. Sungai keruh dan berbau. Langit-langit desa kerap berwarna gelap karena asap dari perusahaan itu.

Setelah dari sana, dia ikut unjuk rasa ke Konsulat Jenderal Amerika Serika di Surabaya, Juli 2019. Saat itu, tengah ramai pemberitaan sampah plastik impor asal Amerika.

 

Baca juga: Bahaya Mikroplastik! Bukan Hanya Ikan, Manusia Juga Terpapar

Nina kala aksi protes sampah plastik di Jawa Timur. Foto: dokumen pribadi

 

“Sebelum berangkat saya ditanya kalau ikut demo mau ngapain? Saya mikir untuk buat surat ke Presiden AS melalui konsulat di Surabaya. Saya ceritakan desa yang saya datangi itu. Sungai keruh, Asapnya juga hitam. Setiap hari kayak mendung, langit abu-abu,” kata Nina.

Melalui surat yang dia buat dengan tulisan tangan itu, Nina juga meminta kepada negeri Paman Sam tak lagi mengirim sampah ke Indonesia. Nina begitu senang ketika surat itu berbalas.

Balasan surat dari Amerika Serikat sedikit mengecewakan, terkesan enggan bertanggung jawab atas sampah plastik impor ke Indonesia. Sebaliknya, mereka justru menyalahkan pemerintah Indonesia yang begitu saja menerima sampah-sampah itu.

Hobinya menulis kembali dia wujudkan dengan berkirim surat kepada negara-negara lain yang sampahnya masuk Indonesia, seperti Jerman, Kanada, dan Australia.

Isinya kurang lebih sama. “Saya meminta negara-negara itu tidak lagi mengirim (menyelundupkan) sampah plastik ke Indonesia. Gara-gara sampah mereka, sungai-sungai kami tercemar.”

Nina pernah mendatangi lokasi satu perusahaan tak jauh dari rumahnya. Perusahaan itu importir sampah kertas. Sampah plastik ikutan impor itu menggunung di sekitar perusahaan.

Saking tingginya gunungan sampah, sebagian jatuh ke badan sungai. Nina khawatir sampah-sampah plastik itu merusak ekosistem sungai. Mikroplastiknya dikonsumsi ikan dan bisa berujung ke manusia.

Ikan tidak bisa membedakan mana plankton, mana mikroplastik karena bentuk sangat kecil. Ketika dimakan ikan, senyawa-senyawa berbahaya juga pasti masuk. Akhirnya ikan dimakan manusia. Kan membahayakan kesehatan,” kata Nina.

Gambaran kondisi sungai itu dia ceritakan dalam suratnya. Kanada, Jerman dan Australia menyambut baik surat kiriman Nina ini. Melalui surat balasan, pemerintah ketiga negara itu tak pernah tahu bila di antara kertas bekas ekspor, terdapat sampah plastik.

Mereka berjanji memperketat ekspor sampah. “Selama ini, mereka tahu cuma kertas bekas yang ekspor. Tidak tahu kalau di dalamya ada sampah plastik. Mereka janji pengetatan, pengecekan sebelum dikirim.”

Selain empat perwakilan negara asing, sejumlah kepala daerah di Jawa Timur juga dikirimi surat Nina, seperti Bupati Gresik, Sidoarjo, sampai Mabes Polri.

 

Kurangi pakai plastik

Berkirim surat kepada wakil negara-negara pengeskpor sampah bukanlah satu-satunya yang dilakukan Nina. Di usia remaja ini, Nina banyak terlibat dalam berbagai kampanye baik dilakukan Ecoton—organisasi pimpinan ayahnya– maupun di sekolah.

Bersama rekan-rekan di sekolah, dia berhasil mendorong pihak sekolah membuat kebijakan larangan penggunaan plastik sekali pakai, di kantin maupun seluruh sekolah. “Yang melanggar ya dapat sanksi,” katanya.

 

Baca: Ekspedisi Susur Sungai, Perjuangan Kaum Perempuan Bebaskan Sungai Surabaya dari Pencemaran

Aeshnisa Azzahra Aqilani (paling kiri), bersama Doni Monardo (paling kanan) saat menjadi Kepala BNPB. Foto: dokumen pribadi

 

Meski saat awal dia banyak mendapat cibiran teman-temannya karena dinilai terlalu ribet, akhirnya berhasil mempengaruhi mereka. Sampai kemudian, bersama teman-teman di Organiasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), dia bisa mewujudkan kebijakan bebas penggunaan plastik sekali pakai di sekolah.

Nina punya trik menarik menggugah kesadaran teman-temannya itu. Salah satunya, dengan memberikan informasi akan bahaya sampah plastik.

“Plastik, kalau dibuang akan memunculkan mikroplastik. Kalau dibakar, akan melahirkan dioksin dan senyawa berbahaya lain. Kalau dibuang, akan mencemari lingkungan. Lingkungan akan rusak.”

Kini, ada sekitar 12 teman di sekolah bergabung dalam Brigade Sampah, komunitas peduli lingkungan yang fokus menangani persampahan.

Kendati baru beberapa tahun terbentuk, komunitas ini cukup aktif aksi memerangi sampah.

 

Andalkan media sosial

Brigade Sampah banyak kegiatan. Sebelum pandemi, hampir seminggu sekali Nina dan teman-teman turun ke jalan berkampanye, seperti di car free day Surabaya dan lain-lain. Sejak pandemi, kegiatan semacam itu dihindari. Solusinya, mereka banyak bergerak melalui platform digital.

Sebuah akun instagram: info.mistik, akronim dari informasi mikroplastik ini mereka buka sebagai sarana kampanye dan membangun kesadaran tentang bahaya mikroplastik.

“Akun itu ceritain semua bahaya tentang mikroplastik.”

Prigi Arisandi, sang ayah bangga dengan apa yang dilakukan Nina. Sebagai aktivis lingkungan, dia paham betul bagaimana situasi lingkungan hidup saat ini. Pengetahuan soal lingkungan hidup ini, katanya, penting diketahui anak-anak sejak dini. Dengan begitu, ketika dewasa nanti, mereka punya pengetahuan cukup buat mengelola lingkungan hidup lebih baik.

 

****

Foto utama:  Aeshnisa Azzahra Aqilani, saat aksi dan berkirim surat soal sampah plastik impor yang masuk ke Indonesia di  Kedutaan Australia. Foto: dokumen pribadi

 

Exit mobile version